Sebagai falsafah, Pancasila bisa digunakan sebagai alat statis --- di dinding, di monumen, di barang cetakan --- di mana saja, begitu panca indra menemukan – secara abstrak --- mungkin manusia mendapat gagasan pancasila. Karena ia terlihat secara intuitif --- timbul apa. Itu tidak berarti apa-apa secara statis --- dia sama saja dengan ”ada” yang lain.
Untuk ia menjadi falsafah sekaligus way of life --- Pancasila harus menjadi kesadaran setiap orang Indonesia --- ia harus menjadi alat yang dinamis. Sebagai alat pemersatu --- bagaimana kalau perumusan yang tercantum dalam ”Preambule” Undang-Undang Dasar 1945 Amendemen --- hanya tercetak dan terbaca tanpa melekat spontan pada Kesadaran ?
”........Bagi mereka yang sudah terpadu di dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti Mulla Shadra,.......”
(Seri Tokoh Filsafat Mulla Shadra, Dr. Syaifan Nur. Penerbit Teraju, 2003)
Bung Karno, tidak sembarangan ”menggali” Pancasila --- tidak percuma para Wakil Rakyat di KNIP atau PPKI dan sejumlah tokoh --- memberikan antithese, sehingga jadilah kelahiran Pancasila --- dan masuk kedalam Preambule dan Batang Tubuh UUD 1945 , sampai di-amendemen oleh Gerakan Reformasi tahun 1998.
Pancasila harus masuk ke dalam semua produk hukum yang mengisbatkan Amanat Konstitusi --- secara dinamis falsafah itu harus pula ”menjadi kesadaran” pemegang amanat dalam melaksanakan kebijakan --- dalam pemerintahan dan tugas-tugas ke-Negara-an. Harus dan mutlak. Mengapa ?
Karena ”nilai” yang terkandung dalam Pancasila --- adalah kebenaran yang telah teruji secara dialektis.
”.......sebab wujud adalah aktualitas yang murni, sedangkan konsep universal berada dalam potensialitas, yang membutuhkan sesuatu untuk ditambahkan kepadanya agar ia menjadi aktual dan konkrit.........”
(idem)
Tetapi apakah manusia pelaksana amanat --- apakah manusia Indonesia mempunyai pengalaman --- karena semua Budaya harus diajarkan --- agar alam idenya terisi dengan input budaya --- yang akan menjadi sinthese --- yang bisa sesuai match dengan Id dan Super Ego-nya --- yang akan menjadi way of life --- yang menjadi ”alat” bulit-in dalam bersikap dan memutuskan.
Manusia Indonesia, setiap kali hasil perbuatannya --- setiap tindakannya harus sesuai dengan Nilai falsafah dan way of life Konstitusional. Bagaimana bisa ?
Itulah Budaya --- harus diterapkan Strategi Budaya. Apalagi Pancasila telah diuji dengan antithese orang-orang terbaik di negeri ini. Tidak ada keraguan harus dilaksanakan dengan kesadaran.
Inilah salah satu amanat dari paragraf Preambule UUD 1945 Amendemen :
« Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia......... »
Sebagai Anak Bangsa --- Apakah « Kesadaran-mu » tidak tergugah bahwa ini adalah tanggung jawab dan kewajiban sebagai Warga Negara Indonesia --- yang sangat manusiawi ? (lanjut ke 3/3).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H