Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dua Bocah di Kampoeng Sebelah Tidak Bersekolah

16 Oktober 2011   00:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:54 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_137150" align="alignleft" width="200" caption="Indonesia Raya --- Subur Makmur --- Miskin karena Pemimpin Yang Dungu dan Serakah, para Bedebah --- Bodoh akan menjadi Negeri Penghasil TKW dan Koeli, para Kawula kaum Paria yang Hina Dina.."][/caption] Anak-anak dan bocah-bocah menjerit-jerit riang gembira --- dari bilik-bilik ruang tidur dan makan mereka --- kalau Sang ayah pulang membawa bekal pengganjal lapar dan dahaga. Biasa mereka kecewa; ayah tidak membawa apa-apa, biasa mereka mendengar suara gorengan, ributnya teman yang dapat rejeki di sebelah-sebelah bilik. Bergantian Suara dan aroma itu bergantian dari sebelah sana terkadang dari sebelah sini Biarpun mereka mendengar suara Adzan, suara Iqamat --- mereka tetap kecewa. Lama tidak mengunjungi sekolah seperti dulu lagi, alangkah hina dirasakan, bila Tidak ada yang dimakan atau pagi-pagi teman yang ceria bersekolah --- wajah yang kotor tidur di kasur palembang yang kotor, tadi malam makan sepotong tales dan keladi. Oh. Tidak sekolah karena kurang biaya dan sering berpindah-pindah --- seperti kucing-kucing dapur yang kurapan menenteng anak-anaknya mencari tempat perlindungan. Anak Orang Indonesia yang hina dina. Mengapa kamu sering pindah-pindah sayang ? Anak-anak dan bocah-bocah anak Orang Kampoeng Sebelah, bukan di Singapura atau di Malaysia. Mereka di tepi Istana Kaoem Kompeni, Di tepian kali antara Cikeas dan Ciliwung. Aduh mak. Aduh mak --- anak-anak Kampoeng Sebelah berlarian karena ceria, tiada tenaga, tiada kecerdasan; sekedarnya, sekenanya --- bocah-bocah harus tertawa 300 kali sehari, paman. Di antara Ciliwung dan Cisadane --- kalau Menteri Kebudayaan dan Pendidikan ingin mau tahu.--- datanglah ke Merauke sampai Pulau Sabang. Jangan bekerja serampangan dan gampangan seperti Orang Indonesia di Jaman Edan. Ih. Ketika halaman menjadi sepi, jam-jam sekolah di pagi hari, terasa sekali mereka adalah anak-anak Orang Rimba dari Sumatera --- adakalanya Anak-anak tidak bersekolah di Cirebon kota, membantu Orang Tua membuat batu bata. “Kami anak-anak Papua !” kata mereka. Aduh mak. Ya mereka adalah saudara kembar Anak-anak Papua, yang merdeka --- kadang makan makan ketela kadang makan bolet dan kelerut --- anak-anak di Atambua pun makan gadung dan ubi beracun tidak apa-apa, kami anak-anak merdeka. Mati dan kebodohan memang berdekatan. Uh, mengapa anak-anak merdeka di Kampoeng Sebelah kota Buitenzorg dekat Batavia. Tahun sudah 2011 tidak bersekolah. Mengapa anak-anak kota Cirebon yang papa di tepi Desa Arcapada membuat bata tidak sekolah di tengah kumandang Adzan pergi ke Mushala --- mengapa Anak-anak Orang Rimba Sumatera tidak bersekolah setelah mereka merdeka ? Mengapa anak-anak Orang Sakai yang meniti Pipa Minyak di Dumai tidak bersekolah ?. Ah mengangislah anak-anak-ku Orang Kubu orang rimba Sumatera . Mengangislah semua anak-anak Orang Jayawijaya di seluruh Papua. Hitunglah kapal memuat emas dan kapal tanki pengangkut migas. Tidak cukup cucuku untuk mengantarkan kamu ke sekolah. Menangislah. Karena sampai pagi ini banyak anak-anak dan bocah-bocah tidak bersekolah. Pagi tanggal 20 Oktober para Menteri dan Wakil-wakil Menteri akan menjemputmu dengan limosin untuk mengantarkan-mu mengunjungi Gedung DPR dan MPR, di dalam mobilnya yang mewah tercium bau durian dari kardus di bagasi. Tanyakan. “di mana sekolah teman-mu yang runtuh kemarin……….aduh anak-anak mengerang bersimbah darah seperti kisah Karawang Bekasi tahun empat lima. Bersimbah darah. Anak-anak dan Bocah-bocah anak Orang Kampoeng Sebelah Bukan si Upin dan si Ipin anak Malaysia yang bersekolah --- mereka menangis dalam lapar dan kebodohan --- tinggal di barak-barak di tepi kota Bogor Tegar Beriman. Tiap saat mendengar Adzan dan Iqamat, di antara ranting dan cabang pohon-pohon di Kebun Raya. Allahu Akbar ! Tetapi mereka tidak bersekolah --- mereka tidak bersalah; mereka calon masa depan Indonesia Raya di tahun 2035 menjadi Presiden RI yang dungu tetapi merdeka. Menjadi Menteri yang tidak cerdas, tetapi juga tidak bisa bicara di meja perundingan di Asean dan United Nation Organization. Mereka pemimpin-pemimpin Indonesia Raya yang gagu karena berasal dari Kampoeng Sebelah dan anak-anak Orang Rimba Pulau Sumatera. Oh. Anak-anak Rimba yang tidak bersekolah, anak-anak Kampoeng Sebelah yang tidak bersekolah akan menjadi Wakil Menteri Pemindah Tapal Batas yang mempunyai koordinat. Mereka bodoh, Koordinat tidak bisa dipindah-pindah. Oh. Anak-anak Papua menonton Pameran Dirgantara tetangganya Papua Niugini. Aih. Anak-anak Orang Kubu dan Sakai di Sumatera mengapa engkau menangisi si Upin dan Ipin menjadi Ostronot. Si Li Kwan Yu anak Singapura menjadi Orang terkaya di Asia Tenggara. Tidak berguna sayang Pagi ini si Imas dan si Dadang anak Orang Comberan di Bantar Gebang mendengar suara Adzan dan Iqamat, pergi sholat ke Mushala di tepi Lautan Sampah. “Ustadz, mengapa kita merdeka ?” --- “Karena Allah anak-anak-ku !” “Mengapa kami miskin ?” --- “Karena pemimpin-mu, bodoh dan dungu, Anak-anak-ku !” [MWA] (Puisi di atas Sofa – 04) *) Foto ex Internet

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun