[caption id="attachment_86459" align="alignright" width="300" caption="Indonesia membutuhkan Pemimpin yang Jujur, Adil, dan Tegas serta Cerdas"][/caption]
Mempunyai file Koran Tempo, 14 Maret 2006 dengan judul *) di atas --- semula terpikir tulisan politis semata, ternyata tulisan Abd. Gafur Sangadji, Analis Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia itu, berpangkal masalah gagalnya Menteri Perhubungan Hatta Rajasa menertibkan Rakyat penumpang diatas atap KA --- metode mengatur penumpang cara itu. Gagal !
Sebagai orang yang belajar Ilmu Management, waktu menonton Televisi --- kita geli melihat seorang menteri mengatur penumpang. Konon maksudnya agar Rakyat penumpang terhindar dari kecelakaan, setelah accident terjadi ambruknya atap kereta api Tanah Abang Serpong. Karena penumpang mempunyai kebiasaan, menaiki atap KA --- menuju tempat mencari nafkah atau keperluan lain.
Actionnya begitu itu --- menyedihkan, memilukan, dan memalukan.
Tulisan itu memuat dua hal : Kegagalan Pemerintah menyelenggarakan transpor dan keselamatan Rakyat-nya sebagai mana diamanatkan Undang-undang Dasar 1945 dan undang-undangnya. “Di sini pemerintah dianggap berbohong “ (jadi kaum cendekiawan pun telah mengatakan ada indikasi “kebohongan” sejak dulu-dulu. “Masyarakat menilai pemerintah hanya rajin mengumbar janji dan absen merealisasinya “. Di sini pemerintah dianggap berbohong.
Kilas balik, menonton Menteri Perhubungan KIB I Hatta Rajasa --- wajah dan mimiknya serta bahasa tubuh yang putus asa. Kita sedih ! Kemarin adegan itu terulang kembali, Menteri Perhubungan KIB II Freddy Numberi --- ada adegan pencanangan “Zero Accident” 2011, di bulan Desember 2010 itu ia dan para pejabat Kemenhub tampil --- dengan wajah dan bahasa tubuh yang tidak meyakinkan ! Betul saja, di awal tahun 2011 langsung dialami Kecelakaan tabrakan kereta api dan Kebakaran kapal ferry --- keduanya menelan korban Rakyat penumpang. Mau mengatakan apa mereka ?
Wapres mengatakan “ Benahi transpor laut !” Lho, kalau itu harus sejak awal dibenahi sebelum “menyatakan zero accident ataupun memperkecil risiko yang telah berulang kali terjadi”. Management mengajarkan : buatlah Sistem, Prosedur, dan Metode-nya. Dari sana bisa diukur risiko yang akan di-target atau kemungkinan akan dialami. Pemerintah dan Birokrat kini bekerja dengan cara mismanagement. Lho ?!
Mismanagement dalam operasionalnya --- mereka tidak bekerja sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Mereka harus mengerjakan itu di dalam ruang kerjanya. Mereka gagal dalam Organisasional, dalam Direktif, dalam Instruktif --- lho, atinya Leadership-nya gagal !
Masa sih, dimulai dengan fungsi Planning dan dikendalikan secara cybernatik dengan Controlling. Operasional-nya yang gagal !
Memang seperti konotasi tulisan referensi di atas bahwa Indonesia mempunyai kecendrungan mengarah menjadi Negara Gagal (failed state); “Dengan Negara dibiarkan bekerja tanpa control yang ketat, sudah sangat jelas bahwa Negara kita tengah menuju Negara gagal yang mungkin sebentar lagi akan menjadi Negara bangkrut (collapsed state). Semoga itu tidak terjadi.. Itu ditulis 14 Maret 2006.
Kini, Buya M. Syafi’i Maarif mengatakan: “ Negeri ini telah seperti Kampung tanpa Pemimpin “. Para Tokoh Lintas Agama pun menyatakan : Kebohongan Pemerintah, dan Presiden serta Pemerintah pun berdalih. Hanya itu ?
Seperti kata pepatah : Tersesak padang ke rimba; terentak ruas ke buku. Artinya, Habis akal budi bicara, sehingga tidak dapat berdaya lagi.
Ini ada pusaka pepatah Indonesia yang diwariskan Nenek Moyang sebagai ke-arifan lokal : “ Memahat di dalam baris, berkata dalam pusaka”.
Artinya, Mengerjakan sesuatu dengan aturannya, supaya selamat ( kata pusaka berarti hal yang benar ). Konon pepatah itu ternukil didalam Pantun berikut :
Hilir ke Teluk Karis,
mudik menengah kota.
Memahat di dalam baris,
berkata dalam pusaka.
Tampaknya para Profesor dan Doktor Indonesia perlu menyadari Pusaka ke-Arifan Lokal, agar mereka mantap dalam Manajemen Operasional --- agar Sumber Daya Waktu Indonesia tidak tersia-sia karena ulah mereka. Arang Habis Besi Binasa !
Kalau begini terus mengurus Negara ini, Amanat Reformasi 1998 yang merupakan sintese yang memberikan Direktif memperbaiki keadaan negeri, tidak dijalankan dengan seksama. Wah, kepada pemimpin yang dipercaya saat ini --- sebaiknya segera menyadari pepatah Jawa berikut ini : Lawas-lawas Kawongan Godhong.
Artinya, Orang yang dipercaya bekerja di pemerintahan, sebaiknya disuruh pergi --- sebab dipandang tidak cakap oleh Tuan-nya (Rakyat)
Kata Orang Romawi : Boni Pastoris est tondere pecus, non deglubere, tugas pengembala yang baik adalah mencukur ternaknya, bukan mengulitinya ( Suetonius, Vita Tiberii 32). Maksudnya : Tugas Penguasa adalah mensejahterakan Rakyatnya, bukan malah menyengsarakan..
Kini terserah pada-mu Indonesia-ku, ingin tetap dibohongi menjadi “Negara sedang berkembang selamanya” ; Negara gagal, atau menjadi Negara Proklamasi 17 Agustus 1945 --- Sekali Merdeka Tetap Merdeka !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H