[caption id="attachment_111252" align="aligncenter" width="600" caption="Setelah Pak Harto --- adalah Keniscayaan tampilnya Pemimpin Indonesia yang melebihi-nya --- Seperti kemampuan Presiden Obama melebihi Presiden Bush --- karena masalah Bangsa memang kian krusial."][/caption]
Sangat mengesankan Catatan Goenawan Mohammad di awal buku. Ya dia adalah Wartawan Senior-Kolumnis, salah seorang terbesar yang dipunyai Indonesia --- dimulainya. “………..Khomeini. Gajah mati meninggalkan gading, Khomeini pergi meninggalkan milik yang tak sekemilau gading : sepetak tanah, sebuah rumah tanpa perabot, sepotong sajak………….”.
Membaca secara acak --- memang mengharukan “Imam Khomeini” ternyata hanya memiliki itu saja ……………….(h.164) “memasuki rumah Imam adalah kejutan yang lain buat kami. Pintu-depannya adalah pintu-besi sederhana. Di dalamnya terhampar halaman kira-kira sepanjang enam meter. Rumah itu memiliki tiga ruangan. Di dalamnya ada kasur dan sandaran-duduk, serta sofa sederhana tempat Imam duduk dan tidur………”
Kembali pada Catatan GM; “………Apakah definisi seorang besar ? Orang besar adalah orang yang mampu mengatasi ruangan jiwanya sendiri yang hendak diimpit benda-benda, karena ia menghendaki suatu kebebasan yang lebih punya arti. Orang besar adalah orang yang bekerja untuk akhirat seperti ia akan mati besok, dan bekerja untuk dunia seperti ia akan hidup selamanya--- tapi bukan dengan keserakahan untuk dirinya sendiri……….”
Selanjutnya.:“………..Bagaimanapun berbeda pandangan Khomeini dengan Gandhi dan Mao, ketiga orang ini punya satu hal yang sama: bagi mereka, cita-cita perubahan dunia adalah sesuatu yang teramat penting, yang begitu memukau, hingga milik dan kekayaan hanya terasa mengganggu. ‘Revolusi bukanlah sebuah jamuan makan’, kita ingat kata-kata itu.”.
Baru kita sadari perbedaan : Perubahan yang dijanjikan ……………….dilakukan secara Panta Rei evolutif ataukah secara radikal revolusioner !
Hayati paragraf yang dikutip berikut ini : “………….Dari suatu krisis yang gawat, memang biasa lahir seorang pemimpin yang dituntut untuk jadi komplet: bukan hanya seorang pemimpin politik, bukan hanya seorang manajer kebersamaan, tapi juga sebuah mercu suar moral……….”
Kita belum membaca isi buku lebih lanjut, kita baru menelaah Catatan Goenawan Mohammad pada buku tersebut, selanjutnya : “……….Disadari atau tidak, dengan itu semua kita menyusun sebuah dasar legitimasi tersendiri : para pemimpin, mereka yang berada di lapis atas kekuasaan, baru kita terima bila mengekspresikan kemurnian moral. Di tahun 1950-an Bung Hatta menghendaki ‘pemimpin-pemimpin yang jujur dan disegani’…………”
Malah di tahun ini periode ini ………..Indonesia menemukan kepahitan ………Negara mengalami Krisis Moral --- Ambrug kabeh ! Kebohongan dan Kejujuran mengkristal menjadi amuk yang memendam tenaga ledakan. Kemana harus Rakyat berteduh dan berlindung ?
Tidak ada pegangan, tiada pedoman --- kata-kata dan perbuatan serta tindakan para Elite…………..bukan mercusuar tetapi Lintas Kilat yang mengandung Gelegar Halilintar. Pemimpin yang bukan menjadi Leading Star. Mereka menjadi monster yang memamah dan memuntahkan masalah demi masalah.
Tetapi ini menjadi Tanda Tanya besar --- Risiko apakah yang harus ditanggung oleh Rakyat Indonesia ?
GM melanjutkan (dikutip) pada paragraph berikut : “…….Betapa bagusnya. Tapi dalam beberapa dasawarsa ini, kita, di negeri-negeri yang terguncang ini, toh bertambah tua dengan rasa kecewa dan sedikit arif. Kita kemudian tahu bahwa legitimasi kekuasaan yang bersandar pada moralitas adalah sebuah legitimasi yang belum selesai. Ia tak memadai. Ia bahkan punya kekacauannya sendiri…….”.
Ini ditulis GM pada tahun November 2001 yang lalu --- pokok pikiran yang tidak “ segera direstore “ oleh Indonesia. Kekuasaan itu di Indonesia kini digenggam oleh Budaya dan pembudayaan Korupsi --- jangan katakan Indonesia dalam Legitimasi Kekuasaan --- bukan, tetapi dalam sandera para mafia yang melumpuhkan Kekuasaan Negara. Kurun waktunya adalah satu dekade = 10 tahun sudah .
Terbuang percuma --- kalau tidak direstore untuk kembali pada Amanat Reformasi 1998. Kiamat-kah ?
Ayo renungkan Catatan GM berikut ; “…….Moralitas seorang pemimpin memang bisa punya kekuatan sebagai teladan. Tapi mungkin cuma sampai di situ. Sebab, tak semua orang Iran adalah Khomeini, sebagimana tak semua orang Cina adalah Mao dan tak semua orang India adalah Gandhi. Sebagian besar manusia, di mana pun, juga bukanlah orang 0rang besar, yang jujur, mulia, berbudi………..”
“……….Maka, tatkala orang besar pergi, dan yang ditinggalkan adalah sebuah negeri yang kehilangan, kita pun insyaf betapa kita abai; kita tak menyiapkan suatu sistem yang sedapat mungkin bisa mengatur apa dan bagaimana sesuatu bisa disebut ‘jujur’, ‘mulia’, atau ‘berbudi’. Pendek kata ; kita tidak mengembangkan dasar legitimasi itu dari moralitas menjadi hukum. ‘Hukum’ di sini, mau tak mau berarti hukum yang disepakati bersama secara sukarela…….”
Di Indonesia sekarang --- penguasa tidak mampu mengatur wewenang penegakkan hukum secara tegas dan jujur --- kembalilah pada Amanat Reformasi untuk penegakkan hukum. Agar semua orang “sepakat bersama-sama secara rela”. Menegakkan Supremasi Hukum.
“……..Tanpa itu, legitimasi yang ada hanya semu dan kacau. Tanpa itu, segala ketentuan bisa sangat bergantung hanya pada ketentuan moral yang diputuskan dari satu sisi. Kita mungkin juga akan lupa, selagi sibuk berbicara tentang moralitas pemimpin, bahwa kekuasaan bukanlah hal yang ‘sepi ing pamrih’. Kekuasaan juga bisa mengandung kepentingannya sendiri………….”
“…………Demokrasi dengan hukum yang pasti karena itu perlu. Hidup tak cukup dengan orang se-Khomeini………..”
Catatan Goenawan Mohammad itu kita tampilkan untuk menjadi renungan --- 10 tahun yang lalu “ke-arifan” seorang GM telah dituangkan sebagai pengantar sebuah buku : Wasiat Sufi – Ayatullah Khomeini, Penyusun Yamani, Penerbit Mizan, cetakan ke-2 Januari 2002.
Pesan Catatan GM relevan untuk Indonesia agar bersikap --- walau waktu telah pula tersia-sia 10 tahun. Indonesia sangat membutuhkan Pemimpin yang mempunyai Kaliber melebihi Bung Karno atau pun Pak Harto.
Sampai saat ini kita masih bicara pelanggaran Etika --- tetapi dalam kalutnya Krisis Moral --- Hanya Orang yang ber-jiwa Super, yang bisa merestore Indonesia.
Siapakah dia ? Apakah ia Seorang Ratu Adil ? Tetapi ia bukanlah seorang Satrio Piningit yang tidak mengerti Falsafah Nasional, karena ia harus bisa melakukan Gerakan Moral.
Ia haruslah seorang Revolusioner ! ( Romo Mangun – 1999 ).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H