[caption id="attachment_101683" align="alignleft" width="300" caption="Anak Sekolah meniti besi sling di atas sungai, belajar di alam terbuka karena ke-bebal-an APBN. Anggota DPR belajar "][/caption]
Dari Harian Kompas kemarin diperoleh, “Psikolog politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan, perilaku DPR yang cenderung bebal dan tak mau mendengarkan kritik publik seperti tercermin dalam kengototan membangun gedung baru, lahir karena masyarakat juga tak menghukum mereka. “.
Dalam periode ini, makin sering masyarakat menggunakan kata-kata “bebal” , sebagai predikat untuk Pembuat Kebijakan, Hasil Kinerja, baik secara perorangan maupun organisasi, terhadap manusia Indonesia yang bekerja di fungsi Ekskutif, Legislatif, Yudikatif maupun pada jajaran Birokrasi.
Mengapa mereka dikatakan bebal ?
Kalau mereka bersifat “tidak mau mendengarkan kritik” --- okay-lah mungkin mereka baru saja mempelajari dan menghayati jabatan yang demokratis --- mereka dipilih berdasarkan Undang-undang atau keputusan manajerial Atasannya.
Sementara dilupakan kemungkinan dalam prosesnya terjadi prilaku “budaya koruptif”. Yang pasti menghasilkan “Output Negatif”.
Apakah para calon Legislatif, Ekskutif , Yudikatif, dan jajaran Birokrat itu semuanya menyandang kompetensi yang dibutuhkan ?
Itulah yang saat ini dialami Negeri ini --- kata-kata “bebal” menjadi predikat kaum Elite yang menyandang wewenang dan gaji dari Negara..
Mengapa --- dan bagaimana akhir cerita Negeri ini (dengan kondisi output demikian) ?
Teringat masa kanak-kanak --- kategori di dalam atau antar keluarga dan tetangga. Anak-anak itu hanya dinyatakan sebagai pintar, cerdas, atau pandai, itu positifnya. Kalau negatifnya “bodoh kali kau ini !” Tidak pernah dikatakan “bebal”.
Selain bodoh --- anak-anak paling-paling dikatakan “ ah, nakal kali kau ini !” atau, “degil kali kau ini “ (maksudnya bengal)”
Belakangan --- generasi yang lebih baru, tidak boleh memberikan “nilai negatif “ terhadap anak-anaknya. Bagus !
Tetapi mengapa kita mendapatkan para pekerja Ekskutif, Legistlatif , dan Yudikatif atau pun Birokrat yang bebal ?
Mengapa mereka menjadi WNI yang cenderung bebal --- tidak menjadi WNI yang “terpilih secara positif dan ber-kinerja positif” ?
Jawabnya, Rakyat salah memilih --- dan para Atasan yang bebal, cenderung akan memilih secara manajerial orang-orang bebal.
Rugi dong Indonesia memilih dan menggaji mereka --- Tentu !
Orang bebal, ditandai --- kalau mereka bekerja dan dalam kesehariannya bersikap --- abug-abug-an, enggak karu-karuan. Mereka tidak responsif terhadap Nilai positif.
Enggak mempunyai “urat malu” atau “rasa malu” --- karena Ego, Super Ego; dan Id mereka yang mengendalikan Nilai itu, tidak peka menyentuh terhadap :
Amanat --- Amanat Penderitaan Rakyat.
Suasana Batin --- tidak bisa menghayati Suasana Batin kesejarahan, “Mengapa harus Ada suasana itu ” sejak sumber daya organisasi dan ideologi --- dari Boedi Oetomo sampai Teks Proklamasi 1945".
Harusnya "suasana batin itu" senantiasa meng-ilhami, sampai hari ini. Republik Indonesia Merdeka untuk Kesejahteraan Sosial.
Hati Nurani-nya tidak bergeming terhadap Tat Vam Asi, penderitaanmu penderitaanku.
Rakyat menderita, anak Sekolah ketimpa genting, belajar di alam terbuka --- masyarakat memakan nasi aking. Tidak menyentuh Ideologi-mereka.
Pertikaian antar warga merajalela. Tidak menimbulkan “antitese” bagi mereka --- dialektika mereka lumpuh, tuli, buta dan tak bergeming. Tidak mempunyai Visi di otak depan mereka.
Mereka tidak peka !
Ya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (on-line) :
be·bal a sukar mengerti; tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran); bodoh; ke·be·bal·an n kebodohan
Jadi, begitulah rasanya dalam sendi-sendi organisasi di dalam Negeri ini, memang terjadi : input – output ke-bebal-an. Menurut Ilmu Management --- ada langkah untuk dapat memperbaikinya, yakni Fungsi Contolling, melakukan tindakan Cybernatics.
Yang dinyatakan Ahli Psikologi Indonesia di atas , anggaplah “masukan untuk perbaikan proses manajerial, dalam sesuatu organisasi di dalam Pemerintahan dan ber-Negara.
Dari kamus lain --- untuk menambah informasi :
bebal, (a); sangat bodoh, pandir, sukar untuk bisa memahami dan mengerti terhadap suatu keterangan yang diberikan. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Penerbit Apollo – Surabaya.
Rasanya perumusan dua kamus di atas memperjelas arti kata-kata bebal --- kalau di terapkan pada Kasus Pembangunan Gedung baru DPR --- konon gagasan lama, ada proses ini-itu sampai Sidang Paripurna kemarin (ada yang memplesetkan Sidang Pariporno); dan satu lagi --- bagaimana Kebijakan Logistik Nasional, “Antrian macet truk distribusi ekonomi dari pulau Jawa ke Sumatera; bolak-balik”. Berhari-hari, berpekan-pekan, berbulan-bulan. Wah, Semua manusia di Dunia menyatakan, itu ke-bebal-an !
Ah, banyak kalilah input-output kebebalan di Indonesia, mak Jang !
Mungkin ini hari dan besok dan seterusnya Rakyat akan menyaksikan lagi, “output” Negeri ini yang cendrung masuk kategori “kebebalan” baru.
Dari kamus Bahasa Serumpun Bahasa Indonesia, singkat saja : bebal – bodoh, sukar memahami (Kamus Bahasa Melayu , Klasik-Modern, Penyusun Mohamed Kassim B. Abdul Latiff, Pilihan Smart, Vital Star Sdn. Bhd, Petaling Jaya, Malaysia ).
Ayo, arahkan kesadaran anda untuk bersikap, berbuat dan menghasilkan Kecerdasan !
Artinya bertindak Cerdas --- terkendali, melaksanakan fungsi Controlling. Setiap tindakan ada Nilai-nya, masuk kembali menjadi input untuk menghasilkan perbaikan..
Merdeka !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H