[caption id="attachment_209608" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-Cermin 65"][/caption]
(1)
Di Jaman Belanda itu jabatan Kepala Stasiun di kota kecil, sudah sangat terpandang --- baik secara sosial di kalangan pribumi maupun oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Keluarga itu memiliki dokar atau sado untuk transpor dalam kota, memiliki jongos untuk urusan rumah tangga, tukang kebun dan tukang air, orang bertugas mengangkuti persediaan air.
Anak-anaknya berhak memasuki Sekolah Belanda atau sekolah untuk Kaum Ningrat atau Golongan Elite --- anak-anak yang masih kecil disediakan pula bedinde, pengasuh atau teman bermain ……………..
(2)
Anak ke-7 Kepala Stasiun itu bernama Syamsu, belakangan mendapatkan teman bermain, anak tukang kebun yang bernama si Kolok --- keistimewaan keluarga tukang kebun ini, ia, dan anak-anaknya berperawakan ala Portugis.
Mungkin mereka memiliki darah Portugis --- yang sebelum Belanda berkuasa di daerah itu, Kolonialis Portugislah yang hilir mudik menyinggahi pelabuhan dekat kota itu. Banyak orang pribumi yang bersuamikan Orang Portugis.
(3)
Syahdan, anak ke-7 itu menjadi pemuda yang terpelajar dan cerdas --- ia menjadi seorang saudagar yang hilir mudik, Palembang-Singapura-Pulau Jawa --- ia sudah menjadi pengusaha yang terpandang pada saat menjelang masa Pendudukan Nippon.
Pada saat Perang Kemerdekaan ia menjadi Pemasok senjata bagi perjuangan mempertahankan Republik Proklamasi --- Semenanjung Melayu dan Singapura menjadi basisnya ………………
Akhirulkalam, jadilah anak ke-7 itu Warga Jakarte yang kaye raye ………… ia teringat pada teman bermainnya, si Kolok --- anak-anaknya dan seluruh keluarganya memanggil orang itu, Wak Kolok.
Tidak tanggung-tanggung, sesuai dengan kemampuan dan bakatnya --- oleh Syamsu di Pengusahe Kaye Raye, wak Kolok dibelikan kebun 4 hektar --- untuk usaha dan hidupnya ………….. lengkap dikawinkan dengan perempuan setempat.
(4)
Untung tidak mudah diraih, malang pun pasti tidak dapat ditolak --- bukan karena kemiskinan struktural, mungkin oleh karena paradigma kemiskinan ……………….. si Kolok Orang Kaya Baru itu tidak cukup lama menikmati kemakmuran.
Ekonominya morat-marit --- keluarganya makin susah makin susah, ia terkena stroke dan mati dalam kemiskinan. Kebun telah lama terjual, sponsor sudah pula capai membantu.
Kemiskinan dan kesialan Wak Kolok disebabkan kebiasaannya berjudi --- ia menikmati hidup dengan berjudi dari gedung bertingkat, ke ruko-ruko, akhirnya ke warung-warung atau semak belukar.
Yang mengerikan…………..dalam silsilah keluarganya yang telah mencapai generasi ke-IV (dari tukang kebun di Jaman Belanda), kini mengalami kembali dalam jabatan : Pembantu Rumah Tangga, TKW, kenek, tukang usung barang, pedagang kaki lima, …………………..dan tidak berpendidikan cukup.
Apakah dosa dan nasib yang disandang keluarga ini, terbawa dari paradigma hidup spekulatif mengandalkan impian dengan berjudi ?
[MWA] (Cermin Haiku-65)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H