(1)
Ia biasa mengendap-endap di pintu Kathedral --- ada saja pengurus gereja atau anggota jemaat yang bersimpati, pada orang berjenggot dan beruban itu.
Namanya dikenal mereka Jimbro --- walaupun ia dianggap gelandangan, atau orang miring, bahkan mungkin gila, tetapi postur tubuhnya bagus.
Badannya tegap, memang terkadang pakaiannya compang-camping --- ia berjenggot, entah siapa yang memberinya atribut “koplok haji”.
Ia senang dengan keramaian di sekitar gereja yang biasa ia sambangi --- ia nyaman di sekitar gereja itu. Ada seseorang yang selalu menghiburnya, bukan dengan pemberian uang atau bingkisan --- tetapi orang itu menggugah kenangannya. Ia dihayati Jimbro, sebagai pensiunan Asisten kebun.
(2)
Asisten Kebun --- dua kata-kata yang sangat indah di dalam otaknya yang dangkal.
Nomenklatur jabatan, yang bagi Jimbro --- puluhan tahun tidak pernah didengarnya lagi.
Asisten Kebun.
(3)
Jimbro telah 3 kali diusir dan diseberangkan petugas, entah polisi entah densus.
Kali ini Jimbro terduduk di bawah pohon asem --- ia mengurut betis sambil memainkan jempol kakinya.
Jempol kaki itu memerah, tadi dipijak manusia berseragam itu dengan sepatu-botnya. Jimbro kesal, kekejaman orang itu mengusik dendamnya.
Ia teringat Bandar Betsy --- betapa kejam orang bersenapang itu menembak mati 2 Asisten Kebun yang sudah mengangkat tangan, meminta-minta ampun.
Dret tet, tet, dor dor.
Jimbro menangis, ia teringat pada darah dan otak yang terlontar dan menempel di dinding bis sekolahnya.
(4)
Jimbro hanya tahu kalau gereja ramai --- pasti ia bisa berjumpa orang tua yang baik hati itu, bapak Sudung --- lansia berumur82 tahun .Ia gemar dan senang, bapak itu mau mengajak bercerita dengannya. Cerita bapak Sudung selalu membongkar ingatannya.
Ia jadi ceria dengan kenangan “hadiah natal dari Negeri Belanda” --- ia dan saudara-saudaranya serta teman-teman lain, tidak mengerti itu apakah hadiah natal atau apa. Bagi mereka setiap Desember berarti akan mendapat kiriman dari Deli Maatschapij.
Hadiah Deli Mij dari Negeri Belanda selalu menggembirakan --- ada mainan, cat air, baju kaos, dan coklat. Pokoknya anak-anak Staf dan Asisten Kebun sungguh bahagia di bulan Desember setiap tahun .
(5)
Air mata Jimbro menghalangi pandangannya --- ia tidak bisa mengenali lagi mobil atau perawakan bapak Sudung ---memang hari ini jemaat gereja lebih ramai. Ia baru diusir lagi oleh 2-3 pemuda yang berseragam seperti pasukan yang dulu menyeret tubuh bapaknya dan Om Basuki. Dua jenazah yang baru ditembak itu , oleh pemuda-pemuda semacam itu yang bersorak-sorak, memaki dan meludahi tubuh bapaknya. Kejam dan menakutkan kenangannya.
Bapaknya dimaki-maki : “Birokrat Setan Desa kamu ! ”
Ia makin sedih mengenang hidup mereka --- pulang ke Jawa, ibunya sebagai janda dengan 4 anak kecil-kecil --- kembali ke desa mereka, di dekat kota Jember.
Hidup mereka bertambah susah, tatkala Mbah Parto turut pula menjadi korban perang politik di ujung tahun 1965 itu --- mbahnya dicincang dalam konflik tanah, mbahnya mati sebagai “Tuan Tanah Setan Desa”.
Dengan terseok-seok dan tersendat Jimbro bisa memasuki pendidikan SMA --- ia menjadi remaja yang paranoia. Akhirnya ia tidak menammatkan sekolahnya --- seringkali mengalami halusinasi, mengamuk, dan prilakunya makin tidak terkendali.
Karena sering menghilang dari rumah, dan ditemukan dalam kondisi parah, dengan bantuan polisi dipulangkan. Bertahun-tahun Jimbro menjadi orang kurungan.
Menjelang umurnya40 tahunan --- ia menjadi lebih beringas, dan sering mengamuk dan ingin melompati pagar rumahnya ………………. Sejak tahun 2007 ibunya dengan cemas, tidak berdaya lagi untuk menemukan Jimbro yang merat.
(6)
“Pergi sana ! “ 2 pemuda menggeret Jimbro ke seberang jalan menyerahkannya pada Satpol PP, dinaikkan ke mobil razia, diangkut menuju Kantor Polsek.
“Tolong bapak, aku ingin bertemu bapak Sudung, bapak Asisten Kebun --- teman bapak aku di Bandar Betsy --- tolonglah. Aku sering bertemu dia di Gereja itu”
“Gereja harus steril --- kamu teroris ya ?”
Mobil razia itu melintasi rel. Terguncang-guncang.
“Pak tolong pak --- ini stasiun Senen, saya ingin pulang ke Jember saja pak, tolong pak”.
Orang tua beruban itu dilepaskan, berlari terseok-seok, berjingkat-jingkat --- bacaan “Stasiun Senen” mencetuskan ingatannya, terangkai, ia merindukan ibunya yang sudah tua, seumur pak Sudung, ia selalu teringat kalaulah bapaknya masih hidup tentu sepertibapak Sudung yang selalu membangkitkan kenangan indah, di tumpukan ketakutan, penyesalan dan kekalutan otaknya………….
[caption id="attachment_223793" align="aligncenter" width="473" caption="Grafik MWA - Cermin 74"][/caption]
[MWA] (Cermin Haiku-74)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H