[caption id="attachment_214422" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA --- Features 82"][/caption]
(1)
Tahun 1949 di masa kanak-kanak, ketika ekonomi perjuangan mulai timbul dalam kesadaran penulis --- pertama sekali tertarik pada istilah “cak kopi” dan cak teh”. Dua istilah yang selalu terdengar di kalangan orang dewasa dalam perdagangan rumah, tanah atau jual-beli prabotan.
“Oh, rupanya ada bagian upah jasa bagi mereka, para perantara yang turut dalam proses perdagangan itu”. Itulah pengertian ekonomi yang tertanam dalam memori.
Konon asal istilah itu dari bahasa Cina --- ciak (=makan) dan teh dan kopi --- uang jasa untuk minum-minum dan makan di kedai kopi.
(2)
Setelah agak besar di masa kanak-kanak itu --- ada ajaran moral yang tertanam dalam dialog dengan ibu atau orang yang lebih dewasa “menyuruh-nyuruh”, terutama menyuruh berbelanja ke kedai atau warung.
“Jangan kau mengambil ‘pucuk kacang’ !” --- ih, terasa sangat terhina untuk melakukan “tindakan mengutip pucuk kacang itu”, yakni “melakukan mark-up” dari pembelian barang belanjaan.
Umpamanya beli garam 1 ons 30 sen bilang 35, harga cabai 50 sen diajukan menjadi 55 sen --- pokoknya jangan mengambil keuntungan pribadi dari kepentingan rumah tangga (kepentingan umum) ………………… sungguh tertanam bahwa, “mengambil pucuk kacang adalah prilaku tidak terpuji dan hina” --- malu sekali kalau tertuduh atau terbukti !
(3)
Tetapi ada kalanya sangat senang digolongkan atau dijuluki sebagai anak yang rajin bekerja --- selalu mendapat persenan atau hadiah .
Mengukur kelapa atau memarut kelapa untuk membuat gulai --- mendapat porsi makanan yang istimewa ……….. mungkin di hadiahi sayap ayam atau kepala ikan.
“Kalau kau suka makan kepala ikan, kau akan menjadi “kepala” nanti (maksudnya menjadi boss) ……………. Enak kau nanti kalau suka makan ceker ayam, pandai mencari uang).
Indah kali mendapat kontra prestasi masa kanak-kanak itu.
Tetapi bagi anak malas, yang selalu menuntut “upah uang atau imbalan kalau disuruh melakukan sesuatu pekerjaan”
Ibu atau makcik-makcik akan menghardik, “kau ini seperti Batak upahan, duit saja yang dituntut” --- kita akan nyengir malu-malu melaksanakan pekerjaan itu.
Ini yang parah --- ada tertanam rasa malu dan dendam. “Kau hanya menuntut saja, seperti Belanda minta tanah !”. Terkadang seperti tidak mengerti --- rasanya enggak nyambung “minta upah jasa” kok dibilang seperti Orang Belanda.
Semacamnya, ........... tetapi terasa sakit dalam perasaan dan memori, kata-kata ayah, “Kau ini seperti layangan makin diulur makin tinggi” , itu kata-kata yang didapat, setelah remaja, kalau banyak tuntutan keperluan yang (barangkali) tidak pantas untuk terus menerus diajukan.
Secara psikologis menimbulkan kesadaran untuk selalu membuat “pertimbangan” --- menuntut hak setimpal dengan kewajiban --- ada momen, harus ada konsidrans untuk suatu pengajuan.
Usul dan Saran memang harus menggunakan, logika, ratio dn etika.
Ingat selalu terngiang-ngiang “kau ini, setelah diberi hati malah merogoh rempelo !” --- (situasi apa pula ini ? Pahit dan malu). Seperti anggota DPR dan DPRD, atau para Jenderal Pencuri, sudah dberi pangkat, sudah digaji dan ditunjang, malah melibatkan diri dengan prilaku kriminal, tidak terpuji --- mencuri APBN dan ABPD dan Aset Negara.
Mungkin mereka-mereka yang rakus itu sesuai dengan pribahasa-kiasan :
Kejam seperti “Cina mendring” (suasana tahun 50-60-an, Orang Cina meminjamkan uang atau modal kepada petani atau pedagang di Jawa)
“Makan darah seperti Chetti “ (Lintah darat di Sumatera, yang meminjamkan uang dengan bunga berlipat-lipat, menjerat ludes harta si peminjam --- sampai saat ini masih berlangsung praktek ini) --- malah derivatifnya ada, para Bankir dan pekerja Bank banyak “menyunat” atau menuntut ‘bagian dari pada Debitur'.
Kejam seperti Chetti !
(4)
Mengerikan di tahun-tahun awal Kemerdekaan --- apabila prajurit CPM merazia di jalan-jalan terhadap pemakai mobil dinas dengan tanda “segi3” di kaca.
Atau “Hati-hati para koruptor, sebentar CPM akan datang menangkapmu”, maksudnya tidak terbatas pada prajurit atau perwira TNI saja --- CPM bisa bertindak menegakkan hukum pada mereka yang terindikasi melakukan korupsi.
Waktu itu, masa semangat revolusioner masih membara !
(5)
Kini ……….. mereka yang berada “di Lubuk” (kataWong Palembang) untuk menyatakan posisi jabatan basah) …………….. tanpa malu-malu :
a. Masuk sekolah dinas menyuap, jabatan membeli dari Atasan atau Sponsor (orang yang berwewenang pula) dengan uang dan suap menyuap.
b. Dari tugas dan jabatannya meminta “success fee” terhadap proyek APBN yang notabene adalah Amanat Konstitusi.
c. Dengan kekuasaan politik melakukan Networking sejak program sampai pengajuan Anggaran --- dikawal dan di-vermaak suka-suka untuk dikorupsi bagi kepentingan Partai dan Pribadi. Model kasus-kasus di Kementerian dan Lembaga.
(6)
Kalau Penegak Hukum majal --- apakah KPK masih bisa diharapkan ? Ataukah Semangat 45 yang massal, disalah gunakan oleh Rakyat --- melakukan “hukum rimba” yang melakukan amok massa, seperti Revolusi Sosial tahun 1946 (awal-awal Proklamasi) di Sumatera Timur dan Banten ?
Sadarlah --- kata-kata “amok” adalah salah satu kata-kata Melayu yang di-adopsi ke Bahasa Inggris.
Ingat --- banyak peristiwa sejarah di Nusantara dan Indonesia yang berdarah-darah, yang dilakukan oleh Amok Massa --- bahkan dilakukan oleh Mahapatih sekelas Gajah Mada !
(7)
NKRI harus Eling lan Waspodo --- Siapa Negara itu ?
Rakyat ataukah Pemerintah ?
[MWA] (Features- 82)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H