Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bucik dan Rumah Kayu 1950-an (Cermin-56)

1 Agustus 2012   01:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:23 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(1)

Wilayah itu memang dikelola ‘Kemente’ (maksudnya Gementee --- pemerintahan kota) --- jalan di sana masih teraspal rapi, jalan dan parit di setiap sisi --- kemiringan parit pun diperhitungkan. Drainage itu akan bermuara di parit yang lebih lebar, lantas muara parit besar akan masuk semuanya ke Sungai Sempali.

Atuk, emak Bucik dan satu kemenakannya tadi malam tidur di rumah yang baru dibeli itu --- syarat bagi Orang Melayu mengenal rumah sebelum didiami --- selain berdoa, juga ditanam Tuk Elok tahi besi di pojok batas tanah.

Bucik telah mendengar cerita pengalaman tidur emaknya di sana --- “sejuk, aman dan tentram hati awak tidur di sana, si Ratna juga tak ada mimpi-mimpi yang seram --- sentausalah anak-cucu yang akan mendiami rumah itu !”

“Airnya bagaimana mak ?”

“Bagus, jernih dan dekat kali permukaan air tu --- seperti bisa nak diciduk dengan tangan pe !”.

“Ada sejernih air sumur Kak Ulung mak ?”

“Iyalah, orang satu urat air kupikir daerah Kota Maksum tu”.

(2)

Bucik tiba di Rumah Kayu yang baru dibeli kakaknya, Nurasiah --- bagi keluarga itu, itulah rumah milik pribadi yang pertama. Dulu mereka tinggal di rumah perkebunan di Sungai Putih --- kemudian mereka pindah ke kota Medan, karena ayah Bucik ingin bekerja di kota --- bekerja di Dinas Kesehatan Kotapraja (Gementee). Mereka mengontrak rumah di Kota Maksum.

Pindah bekerja ke kota itu, siasat Abah Yusuf, agar ia dapat pula sambil berdagang di kota besar --- perantau Minang memang terkenal ulet, dan tidak mau diam. Rejeki saja yang dipikirkannya --- memang anaknya pun sudah 8 orang, baru seorang menikah, Siti Zahara --- yang dipanggil adik-adiknya ‘kakak Ulung’.

 

Dari jalan aspal ke rumah mereka itu, dihubungkan titi yang terbuat dari batang kelapa. Air parit jernih, berkala dikorek Kemente --- tak ada kotoran yang menyangkut, paling-paling daun yang luruh dari pepohonan di tepi parit. Banyak terlihat ikan lele dan sepat berenang di situ. Senang hati Bucik.

Di perbatasan dengan kebun orang ada sebatang pohon kuwini --- lantas arah ke belakang banyak terlihat pohon manggis dan kelapa. Lingkungan mereka masih sepi, rumah satu-satu --- beberapa rumah panggung, atau rumah tinggi terdapat di jarak yang terpisah jauh --- itu pasti Orang Melayu, penduduk asli wilayah itulah.

 

Setelah Nurasiah menikah, di rumah kayu itu mungkin Buciklah bakalan yang menjadi anak perawan yang merawat rumah --- kakak di atasnya telah bekerja di Perkebunan Klein Sungai Karang --- tampak ada anak laki-laki kecil, kemenakannya yang turut menjadi teman di rumah.

“Rumah harus ada orang laki-laki, walaupun kecil --- tak apalah, biar rumah bersemangat !” Begitu kata Atuk.

Memang Atuk Elok  menjanda setelah Abah Yusuf meninggal dunia di Batavia --- ketika ia dikirim Pemerintah Belanda untuk berobat ke sana --- setelah berobat 2 kali pergi pulang ke Batavia. Ia meninggal karena penyakit Barah yang dideritanya.

 

Tuk Elok tampil bekerja untuk membiayai hidup anak-anaknya yang masih kecil-kecil --- baru 2 anak gadisnya yang telah menikah, Cik Ulung dan Cik Ngah.

Di Jaman Jepun (atau ada juga penduduk menyebutnya Jaman Nippong), maksudnya jaman pendudukan Dai Nippon --- Atuk Elok bekerja di Pabrik Limonade --- perang Dai Nippon dengan Sekutu, pabrik tutup. Dia berniaga dengan anak perempuannya, Cik Alang.

Mereka berdagang beras ke Perbaungan, dan berdagang bumbu-bumbu ke Aceh --- Bucik yang mengurus rumah. Perang Kemerdekaan mendorong mereka pergi mengungsi ke Lubuk Pakam --- satu adik Bucik yang lelaki, Cik Yung yang berumur baru 16 tahun, turut bertempur di Deli Serdang dan Medan Area.

Pulang mengungsi mereka menumpang di rumah besar milik menantu Tuk Ulung --- maka legalah mereka, kini mereka telah memiliki rumah sendiri.

(3)

Rumah itu berdinding dan konstruksi kayu --- memang demikianlah model rumah yang umumnya di kota Medan masa itu, sudah maju, rumah itu tidak berlantai papan --- seperti rumah pegawai perkebunan. Rumah mereka berlantai semen. Konon agar semen berkilat meling-meling berkilat, harus dipel pakai ampas kelapa --- itulah yang dikerjakan Bucik setiap hari.

Rumah itu berjendela hijau, dengan ‘blan’ (tralis) kayu nibung --- beratap rumbia. Halaman rumah itu mulai Bucik tanami bunga-bungaan, ros dan bunga gerak gempa (sebangsa bungur mini).

Atuk Elok menanam bebuas, hanjuang dan legundi

Jadi semarak.

 

Pindah rumah itu membawa perobahan dalam hidup Bucik --- ia putus dengan pacarnya, pemuda Arab. Lama ia merana, apalagi kemudian si pemuda mengawini janda dekat rumah Bucik…………………..

Ia merana.

Beberapa tahun kemudian ia berpacaran pula dengan seorang pemuda yang telah bekerja --- seringlah pemuda itu singgah mampir di rumahnya.

Kakak-kakak Bucik satu per satu menikah --- kini giliran Bucik harus memantapkan calonnya.

Tidak pasti apa yang menyebabkan, pemuda pacar Bucik tak lagi menyambangi ke rumahnya. Rupanya mereka mengalami putus cinta.

Tanpa sadar Bucik ‘dilangkahi’ 2 adik lelakinya --- yakni 2 saudara terakhirnya menikah pula.

(4)

Rumah yang ditempati Bucik direnovasi menjadi model kontemporer --- penghuninya semula anak-anak perawan yang kos untuk menuntut ilmu di Medan, satu per satu silih berganti --- pun kemudian anak-kemanakannya penuh pula menjadi penghuni rumah untuk meneruskan pendidikan, ke Sekolah Lanjutan atau ke Perguruan Tinggi. Sementara Orang Tua mereka bekerja atau berdiam di kota lain.

Bucik yang sibuk membela (e pada bunyi ‘emas’; yang artinya mengasuh dan mendidik anak-anak) anak-kemenakan --- terbuai dengan kasih sayang mereka, turut suka-duka mengurus keperluan pendidikan mereka --- turut bangga atas keberhasilan mereka, turut terharu berlinang air mata menyaksikan anak-kemanakannya diwisudha.

 

Air matanya berkali-kali berlinang menyaksikan garis kerutan di wajahnya, ia menangis ketika ia tidak lagi mengalami menstruasi yang teratur --- malah kemudian menemukan kenyataan ia ‘mati haid’.

 

Ia bangga ketika usul-permintaannya untuk memasang gigi palsu di mulutnya, ditanggung biayanya oleh salah satu kemenakannya. Ia menangis bahagia ketika anak kemanakannya --- Elizabeth menikah di rumah itu ………………. Ia merasa seperti seorang ibu yang berhasil menghantarkan puterinya ke Jenjang Pelaminan.

Banyak malam-malam penyesalan dialaminya, tetapi sudah tidak pernah dikenangnya lagi --- tetapi malam perkawinan Elizabeth yang semula membahagiakan dan mengharukannya --- malam itu kembali mengiris hatinya.

Ia telah lama memendam pedihnya sebagai perawan tua --- dari olok-olok sampai menjadi deraan yang pedih. Malam ini ia menangis menelungkup di bantal --- dulu seperti ketika ia putus dengan ‘Ami Adam, pemuda Arab itu.

(5)

Dari rumah tahun 1950-an yang dihuninya, kini --- menggema ‘Al Fatehaa’, kemenakan-kemenakan lelakinya bergantian berebut memikul katil jenazahnya ke Makam Terakhirnya ………………….

Baru saja salah seorang keponakannya berziarah dengan istrinya --- mereka membaca berkali-kali nama Bucik yang wafat tahun 2007, pusara indah itu dibangun oleh kemenakannya yang bekerja di Petronas Yaman. Innalillahi Wa Innalillahi Raji’un.

[MWA] (Cermin Haiku-56)

[caption id="attachment_197526" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-Cermin 56"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun