Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Mamak Jodohku (Cermin-41)

11 Juli 2012   02:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:05 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_193586" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis mwa-cermin41"][/caption]  

(1)

Memang aku menyadari hidupku dimulai di ujung sisa masa klasik Indonesia --- tahun perang dan awal kemerdekaan. Maka tertanam jiwa heroisme dan romantisme model adat bestari, juga kebencian pada kolonialisme dan pengkhianatan.

 

Aku menyaksikan dengan sedih duka nestapa Makcikku --- Zainab menangisi kuburan suaminya yang ditembak pengkhianat, mata-mata Belanda, yakni seorang Lurah plus begundalnya di Perkebunan Galang; aku terharu menyaksikan Bibi-ku, seorang Srikandi, Palang Merah yang bertugas di Medan Area --- menangis berhari-hari tidak ke luar kamarnya, karena kehilangan kekasihnya, mati tertembak dalam pertempuran dengan Belanda KNIL dan Inggris di Sungai Ular.

 

Mengapa aku terlibat dalam kesedihan yang berkepanjangan, ketika Bucik-ku tersayang, adik ibuku yang bungsu --- jatuh bangun menyesali keputusan keluarga yang menunda-nunda perkawinannya dengan abang sepupunya, anak Atuk Utih ……………… kemudian Mamak-ku, calon Bucik terpikat dengan Gadis Arab, perempuan yang dikawininya di Tunisia, tempat ia bertugas sebagai diplomat revolusi ……………….

 

Ternyata banyak pasangan-pasangan ‘hubungan sepupu’ di dalam keluargaku yang tidak jadi mengikat perkawinan, dengan berbagai alasan. Malah belakangan banyak terungkap ada pula cinta diam-diam --- sejak kanak-kanak, cinta monyet --- baru terungkap setelah masing-masing melaksanakan perkawinan mereka.

Ah

 

Pada saat libur --- aku pulang dari Yogyakarta membawa berita bahwa setelah tammat UGM, aku akan melamar Menik, pacarku, anak Kudus --- dengan riang gembira aku menceritakan tingkah laku, kecantikan, dan potongan rambut Menik --- yang sangat mengesankanku.

 

Aku terpana memandangi foto perpisahan --- untuk kembali ke Yogyakarta. Aku bergambar dengan sejumlah saudara sepupu. Aku di paling ujung kanan --- di samping kiriku, adik sepupu, anak Mamak-ku. Ati.

Ati tersenyum lebar, kulitnya yang kuning mulus, rambutnya yang ikal hitam bergelombang, matanya memancarkan kasih sayang remaja --- ia memotong dan mengikat rambutnya ala Menik.

 

Aduh aku tergoda (lama di dasar hatiku, aku menginginkan memperisteri salah satu gadis sepupuku) --- paling tidak, ada 2 atau 3 gadis saudara sepupu yang secara diam-diam menjadi idolaku …………… dengan Ati kami terpaut 9 tahun --- untuk yang di atas-atasnya tentu sedikit selisih umur kami.

(2)

Aku dan Menik telah 40 tahun menikah, kami berbahagia --- menjadi salah satu keluarga percontohan, sebagai manusia yang sukses sampai tua-tua.Ati telah menikah dengan seorang Bankir, mereka juga keluarga teladan --- anak cucu keluarga kami makin melebar dan tutur makin muda-muda. Dari Anak-Kemenakan sampai Cicit !

 

Aku lelaki gatal --- aku senang dengan kerumunan wanita cantik, setelah pensiun aku menjadi pengurus Yayasan Perguruan Tinggi, aku juga mengajar, senang dengan mahasiswi yang aktif dan agresif --- sampailah suatu saat aku ditugaskan mengikuti Seminar ke AS, aku gembira ingin pula kembali meninjau kampusku di Durham.

Tanpa dinyana, memang ada sepupuku di Boston --- Naning, saudara sepupuku --- anak Mamakku yang termuda, ia bekerja di Konsultan Marketing Von Himpple, ia seorang ahli Planning dan Strategy --- ia menjeputku di Logan Airport, Boston.

Ini kisah cinta yang sangat menakjubkan --- aku diam-diam ada hati sejak ia SMP, kami terpaut 32 tahun, anak Mamak-ku ini bercerita :

 

“Abang, abang satu-satunya yang selalu mencium kening Naning setiap bertemu di Siantar atau di Medan --- semula ciuman itu tidak menggetarkan, tetapi setelah Naning dewasa, ciuman itu kurindukan, karena menggetarkan …………… lama kita tidak berjumpa, memang Naning pernah bertemu sekali saja, lelaki untuk dicintai …………… Karena memang takdirnya bukan lelaki yang harus menjadi suamiku. Kami putus berpisah, dan Naning mati rasa untuk bercinta lagi ……………..”

“Bang, Naning tidak memperdulikan bentuk hubungan percintaan ini --- ini percintaan bang”, aku tertegun, merenggangkan pelukan, dan berpaling ke arah jendela kaca lebar di barat apartemennya --- langit Benua Amerika Utara terlihat ‘dark-blue’, jauh memancarkan berkas cahaya yang semu lebih terang, di pojok horizon barat-utara .

Aku berpaling kembali ke arahnya, mempererat pelukan.

Ah.

[MWA] (Cermin Haiku -41)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun