(1)
Bulan Purnama Sura bulan Agustus 1872 sebelum keberangkatan Tunting Wulandari dan mBok Atun ke Susteran Ambarawa --- mereka duduk di anjungan Penitih, sehingga sinar cahaya rembulan cukup temaram, memberikan silhuet barisan pohon-pohon cemara, berayun-ayun lemah-lembut terlihat jelas --- bak sekelompok gadis-gadis remaja sedang menarikan Bedoyo Ketawang.
Sementara mBok Atun menyiapkan sesajen dan dupa --- Tunting bersandar di umpak-purus bertiangkan kayu jati, ia terkadang meraba-raba umpak yang beragambentuk padma, Tunting kemudian meraba, dan merasakan tekstur kayu jati mulus dan pilihan itu --- cahaya sinar lentera Damar Kurung --- yang terkadang membias ke ukiran di tiang-tiang, dengan latar belakang silhuet barisan cemara, memang mempesonakan hati Tunting.
Iamengkaji sejumlah ajaran mBok Atun tentang peranan yang bisa dimainkan para
perempuan dan abdi di lingkungan Kraton atau pun Ningrat penguasa --- kini ajaran
itu harus dijabarkan Tunting menjadi peranannya di tengah-tengah Pembesar Hindia Belanda, di mana ia akan mengabdi.
Akar ajaran itu adalah Yoni dan Phallus --- di peraduan, di ranjang, di mana pun --- kenikmatan “tuan” adalah kesepakatan untuk memohon sesuatu untuk kejayaan anak-keturunan.Tunting tersenyum, ia tergoda dengan khayalannya --- mBok Atun mematri ajarannya. “Orang Lelaki Jawa atau pun Londo yang bule adalah sama saja, ketrampilan senggama --- dan naluri membaca gerak tubuh, remasan tangan, gesekan kaki, dan …………. Dengarkan erangannya”.
Angin kering di bulan Agustus menderukan pucuk eru --- mendayu-dayu, merayu, nun jauh di sana, Tunting terkenang dengan Jenderal Elberg. Jenderal tua yang jangkung itu memeluknya ketika selesai berdansa waltza --- Jenderal itu membisikkan bahwaTunting akan mendapatkan “Tuan Kolonel yang muda, gagah dan pintar-cerdas sekali”.
Jenderal memesankan agar Tunting bersungguh-sungguh belajar aksen Belanda dan Jerman, selama ia berada di Susteran Ambarawa. Jenderal Elberg menyatakan ia akan berada di Ambarawa selama paling lama 4 bulan. Bulan Desember 1872 ia harus kembali ke Jepara --- mungkin ia mulai bertugas mengurus “Sang Kolonel”.
Segera tercium aroma harum dupa setanggi dan gaharu. mBok Atun tiba dengan menembangkan “Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah lamun angling; lumuh ingaran balilu; uger guru aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng semu, sianmun ing samudana, sanadon ingadu manis………………..”
Itu satu bait pangkur dari Wedhatama Mangkunagara IV --- lantas mBok Atun menata sesajen dan pedupaan. Ia mengajak Tunting mengheningkan cipta. Sejenak kemudian :
“Tunting masih ingatkah kamu dengan pelajaran Wulang Reh yang mengambil ibarat 3 jenis binatang” Tunting mengangguk sambil merubah letak tubuhnya menghadap Simbok.
Simbok mulai kembali membahas tiga sifat : Kijang, Gajah dan Ular yang dikaitkan sifat manusia, adiguna, adigang, dan adigung.
Malam itu seolah-olah Simbok ingin mengulangi pelajaran-pelajaran yang lalu --- terutama menyangkut Kaprayitnan yang pernah diajarkan.
“Tunting, kamu akan memulai hidupmu yang sungguh berlainan dengan masa kecilmu sampai hari ini --- di Ambarawa nanti, kamu bukan saja memperdalam dan memperhalus bahasa Belandamu. Mungkin kamu mulai bersentuhan dengan Kebudayaan Belanda dan Eropa secara nyata, yang selama ini kamu pelajari dari Pendeta Scholteem --- nanti kamu akan hidup di tengah mereka.Kita Orang Jawa, ingat kita harus tetap pada akar budaya kita --- Orang Jawa walaupun dipangku Orang Belanda, harus ingat kita adalah anak jajahan --- buyut canggah Arum Purnami berpesan : cicit canggah yang dilahirkan haruslah orang merdeka yang derajat dan martabatnya harus lebih mulia ……………..”
Walaupun malam telah larut --- suasana terang bulan masih temaram sahdu, simbok kembali melantunkan tembang macapat. Harum gaharu dan cendana masih mengendap di saentero ruangan.
(2)
Sementara itu Karsiyem sedang berada di kabin Kapal Murnix yang menuju Batavia dan Semarang --- ia sedang menghitung-hitung usia kehamilannya yang berumur 2 bulan --- ya, ia telah tidak mendapatkan haid dua bulan terakhir. Kalaulah Tuannya akan ke Jawa di penghujung tahun. Maka kehamilannya akan berumur antara 6 bulanan ……………..
Ia kembali mencoba melihat ke arah pelabuhan di Pulau Penang --- ia tadi menangis dalam pelukan Rudolfo Moravia --- tuannya, Orang Eropa yang telah memerdekakannya. Ia rasanya rela mengabdi sepanjang hayatnya.
Sejak berlayar beberapa tahun yang lalu meninggalkan desanya Mengkowo, mengikuti suaminya Warsono --- ke negeri yang tak terbayangkan : Suriname.
Setelah perompakan di tengah laut --- ia tidak menemukan lagi suaminya, apakah mati atau hidup sebagai hamba sahaya di Negeri Arab.Ia sendiri menjadi budak belian di Muskat --- sampai suatu saat yang tidak dimengertinya --- menjadi orang merdeka tetapi tetap menjalani hidup sebagai pengabdi di perkebunan Inggris di Kolombo.
Kini ia merasa benar-benar menjadi orang merdeka, karena melayani tuannya, Rudolfo Moravia --- ia merasa merdeka karena Rudolfo bukanlah lelaki yang hanya minta dilayani, ia juga melayani Karsiyem.
Rasa timbal balik ini, dihayati Karsiyem sebagai kemerdekaan.
Karsiyem menangis kembali --- ia kuatir Rudolfo Moravia akan menemukan pelayan atau gundik lain, setelah mereka berpisah.Karsiyem kuatir tuannya akan mendapatkan perempuan pelayan, Amoy pelayan Cina, yang banyak dipelihara Orang Inggris atau Eropa lainnya.
Karsiyem sangat kuatir ia tidak akan bertemu kembali dengan Rudolfo Moravia.
Sementara itu Rudolfo akan berlayar dengan Jung Orang Melayu, yang dipimpin Nakoda Kobat --- mereka akan berlayar mulai senja untuk memotong Selat Malaka menuju pelabuhan Kuala Begumit, di pesisir timur Pulau Sumatera.
Jung itu biasa membawa kuda yang dihasilkan Orang Karo di Sumatera untuk diperdagangkan di Pulau Penang --- saat ini Jung itu memuat bibit pohon karet milik Orang Cina Tumasek, untuk ditanam petani Orang Melayu di Sumatera --- belakang hari Orang Cina itu pula yang menjadi juragan memperdagangkan getah hasil kebun mereka, di Pulau Penang atau pun di Tumasek.
Rencana perjalanan Rudolfo Moravia, yang sebenarnya seorang bekas tentara Bavaria, yang telah diangkat oleh militer Hindia Belanda sebagai Kolonel yang akan memimpin Legiun Afrika --- untuk menumpas pemberontak Aceh.
Rencana perjalanan ini diatur oleh Residen Belanda di Pulau Bengkalis --- dari Kuala Begumit ia akan masuk ke Bandar Sinembah, untuk menemui sel-sel Jerman-Bavaria yang menanam modal di Kawasan itu. Rudolfo sudah hafal betul bahwa sejak Agustus 1865 Gubernur Jenderal telah menata daerah pesisir timur.
25 Agustus 1865 telah dikirim ekspedisi 7 kapal perang dengan 1.400 orang serdadu untuk menduduki Tamiang dan Langkat --- saat ini kawasan antara Sungai Tamiang di utara dan Sungai Barumun di selatan, telah berada di dalam Kekuasaan Hindia Belanda.
Berduyun-duyun saat ini investor Eropa akan menanamkan modalnya di Pesisir Timur Sumatera --- dengan telah dibuka resminya Suez Canal 1869, Selat Malaka harus segera dikuasai penuh oleh Inggris dan Belanda --- itu bunyi Kesepakatan Sumatera yang dicapai kedua negara itu.
Kesepakatan Sumatera 1871 memberi kebebasan bagi Belanda untuk menguasai Aceh --- saat ini (Agustus 1872) Kolonel Rudolfo Moravia telah menyusup ke Pesisir Timur pantai Sumatera. Rencananya setelah meninjau Kawasan Sinembah yang menjadi areal investor Jerman-Bavaria-Swiss. Ia akan ke Medan-Deli menemui sejumlah Uleebalang Aceh yang pro Hindia Belanda…………………
[MWA] (Damar Kurung Nyai Moravia; novel bersambung ke 03/14)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H