Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perawan-tidak perawan, sama saja --- Seorang Perempuan (BCDP-04/08)

9 Maret 2012   15:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:18 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(1)

Mereka mengobrol di tempat tidur Bu Lik --- mas Bejo menyambangi rumah kedua calon pembantu, agar mereka bersiap berangkat ke Jakarta --- hari Rabu sore tanggal 4 Januari.

“Lik bagaimana ceritanya bu Lik bisa mendapatkan brondong di malam tahun baru”. Mila beranjak duduk menghadapi wajah bu Lik.  Bu Lik tertawa ngakak dan mencubit dengkul Mila.

“Senin siang anak itu datang sendiri siang-siang --- wah asyik bener, di sini ia bermalam di ranjang ini”  Bu Lik tertawa sambil memeluk guling dan menyembunyikan wajahnya ke arah dinding --- Mila merasakan betapa genitnya bu Lik. Wanita STW yang baru saja menikmati kebahagiaan malam tahun baru.

Mila menarik bahu Bu Lik agar melanjutkan ceritanya --- ceritanya seru banget.

“Bu Lik yakin mendapatkan jokonya ?”   Bu Lik tersenyum mengangguk, Mila penasaran.

 

 


 








“Mila, cah lanang biar dia pernah pacaran sesama gadis --- dia pasti bergetar untuk pertama sekali menaiki perempuan --- apalagi kalau ia kikuk,  si Tono atau kadang-kadang dipanggil Toni --- bu Lik pastikan masih joko, pertama sekali menikmati persetubuhan ……………… ia tokcer, peltu …………… nempel metu !”  Bu Lik tertawa terkekeh.

“Siek, ko siek”  bu Lik berdiri ia meninggalkan Mila --- Mila menyaksikan kegembiraan bu Lik menikmati kejokoan anak itu.  “Benarkah ia perjaka untuk pertama sekali ?”  pikir Mila.

 

Mila terkenang pada adegan ia pertama sekali melihat ketelanjangan lelaki, betapa dulu ia merasa ganjil memegang otot yang menegang itu.  Ereksi.

 

Ia juga telah berpuluh kali menyaksikan lelaki ejakulasi --- tetapi ia tetap perawan. Ia sudah dapat menikmati orgasme tetapi ia tetap tergolong perawan.

Tetapi menjelang subuh 1 Januari, Mila yakin ia telah menyerahkan keperawanannya pada Bejo --- lelaki yang baru dikenalnya, seorang duda pula.  Lelaki yang dengan sabar menantikan penyerahan itu --- ada tiga atau empat kesempatan moment itu bisa terjadi.

Tetapi perjalanan spiritual ke Parangkusumo menuntun emosinya --- inisiatifnyalah yang mengarahkan Mr P itu dalam beberapa detik menggetarkan debar jantungnya.  Kini ia merasa sebagai perempuan yang tidak memerlukan kategori perawan lagi.

Bu Lik bergegas kembali ke tempat tidur --- mereka bersila berhadapan.

“Mil, kamu telah mendapatkan ‘jo kondo-kondo-nya‘ mas Bejo ?”  Mila telah siap, ia hanya mengangguk sambil membuang pandangan ke kalender di dinding kamar bu Lik. Ia menarik nafas dalam.

“Mil, kamu anak kota --- pergaulan lebih maju, kalau pengalaman seksual lelaki perempuan sekarang ini tidak di kota tidak di desa. Kesempatan memang banyak dapat dipakai --- katakanlah Mila, kalau tidak bebas datang sendirian ke Nawungan --- kalau kamu tidak pernah merasakan desakan nafsu sahwat yang ditekan-tekan --- tentu kamu tidak berani pergi berdua dengan lelaki --- apalagi bermalam. “   Mila terdiam mendengarkan.

 

“Lik, ini benar --- aku wanita dewasa yang normal,  lama aku mempertahankan kegadisan. Jarinya saja selalu aku kendalikan --- kenikmatan bisa tanpa harus dia memasukkan jarinya. Lama Lik aku pertahankan --- entah lelaki iseng sama iseng, entah alasan pacaran. Kini aku hampir berumur 30 tahun --- nikmat seks aku butuhkan karena aku ingin kawin, ingin punya anak Lik --- Ayah membatasi, menanti calon menantu yang mantap ……………. Mana, mana ?”

Bu Lik terpana --- karena alasan perempuan ini berlainan dengan sikap hidupnya. Ia melirik ke arah Mila. Tampak Mila seperti akan menangis, bu Lik memeluknya.   

(2)

Terdengar suara motor mas Bejo

“Lik yo kita makan --- aku membawa sate kambing”  Mereka bertiga beranjak ke dapur. Baru terdengar suara bebek kwek-kwek dan suara panjang angsa di halaman belakang rumah bu Lik.

“Mil, anak-anak itu siap berangkat hari Rabu, karcis untuk kita berempat telah dibeli --- tengah hari mereka di sini, genahkan kembali hak-hak mereka --- agar jelas.  biar mereka mantap dan krasan”

“Kambing bu Lik ada berapa ?” Tanya Mila mengalihkan pembicaraan

“Bandot ada tiga, nanti bulan haji mau dijual --- hasil paron tahun ini ada empat, mungkin tahun ini paron lebih banyak --- indukan tambah dua ‘tu”

 

(3)

Mila mendengarkan lagu dari Hp-nya --- ia tadi menolak mas Bejo golek di ranjang yang sempit itu.  “Sana mas enggak enak sama bu Lik, bu Lik belum tidur --- dia ngobrol di rumah yu Siyem”

Mila teringat pembicaraannya dengan bu Lik tadi sore, “ ……….. Mil perempuan itu sudah tidak jaman lagi di jajah pria --- kita setara, makanya perempuan juga harus mempunyai pendapatan sendiri. Walaupun banyak di desa kita kaum perempuan lebih getol mengurus rumah dan penghasilan --- tetapi mereka dijajah lelaki dengan nrimo”.

Memang pun sejak Mila memutuskan akan kawin di umurnya yang ke-30-an ini; rasanya ia mampu mandiri,  ia telah menguasai trik mencari uang --- ia tidak akan menyandarkan hidup keluarganya kepada penghasilan suami --- ia ingin membuka warung, semacam warung tegal. Ia sudah pandai memasak berbagai masakan rumahan.

Kata Bu Lik : “…………… Perempuan, mau janda, mau gadis, perawan --- dalam masyarakat yang dikuasai laki-laki …………… semuanya menjadi obyek nafsu lelaki.  Tapi itu dulu lebih hebat --- perempuan disamping sebagai perempuan yang dihamili, seperti tempat persemaian benih di sawah --- juga banyak jadi kibulan lelaki --- kalau sudah makmur sedikit, cari perempuan lagi”  Banyak cerita pengalaman bu Lik dengan 2 suaminya yang telah bercerai, begitu pula ia diincer mau dijadikan gundik.

“Tidak Mil, perempuan jangan jadi pelacur jangan menjadi gundik ---  itu namanya menjual martabat untuk sesuap nasi”.

“Seperti Yu Siyem ………… bu Lik sependapat itu, ia tidak mau jadi gundik Pak Camat --- ia pacaran setara --- mau pak Camat kembali ke istrinya, mau ke lain  perempuan, ya loooos !”

“Satu yang bu Lik sesalkan --- bu Lik belum punya anak, sekarang kalau ada lelaki yang bisa membuntingi --- akan bu Lik pelihara sampai lahir. Orang malah memungut yang bukan anak yang dilahirkannya”

“Mengapa bu Lik menikah saja lagi”

“Enggak. Enggak --- cukup dua kali dijajah pria”  Langsung bu Lik melantunkan lagu Sabda Alam ………………………’wanita dijajah pria sejak dulu ………….. dijadikan sangkar madu’.

“ …………………………………  namun ada kalanya pria,  bertekuk lutut di bawah kerling wanita ………..lelaki harus ditundukkan wanita …………. Inilah saatnya.  Tetapi terus terang bu Lik tidak mau pacaran sembarang lelaki.  Malam tahun baru itu ‘kan rencananya sepertinya nonton wayang …………… tetapi sudah diatur setelah larut malam ………….. Pak Camat dan kawannya  Om Lim menanti di hotel, di sana ternyata ada pesta sabu --- banyaklah perempuan=perempuan dan gadis-gadis. Bu Lik dan yu Siyem menolak minum=minum atau entah apa itu.  Pak Camat marah,  kita dioper pada anak-anak muda --- ya diantaranya si Toni anak Purwokerto itu, yu Siyem dengan entah siapa itu anak berewokan, dadanya berbulu --- mainnya ribut banget. Si  Toni kalem, dan cepat bangkit …………….. bagus anak itu, bu Lik seneng  --- dan puas. Kemarin mulai pintar dia “.

Mila meresapkan percakapan dan sikap hidup bu Lik --- ia ingat anak-anak gadis di Kampungnya di Tomang, banyak yang bunting banyak yang aborsi. Kasihan.

Terdengar bu Lik pulang. “Mila bangun, mari makan pisang rebus dari yu Siyem --- di teras depan saja”.

“Lik banyak nyamuk di luar, dingin ………….”

“Jo, bakar sampah Jo --- biar nyamuk ngabur……….”

Suasana desa mulai senyap, tetapi  terdengar suara gamelan --- mungkin ada rombongan sedang latihan karawitan --- Mila membuat teh tubruk, dan mengeluarkan jajanan yang kemarin dibawa dari Parangtritis.

Bejo menarik tangan Mila --- memperhatikan jari manis tangan Mila yang mengenakan cincin bermata Baiduri teh.

“Mil, aku membawa dagangan ke Jakarta --- pulang kembali ke Magelang nanti membawa batu-batu dari Jatinegara, emban-emban juga murah-murah, dan desainnya lebih cantik dari buatan Pacitan dan Solo. Aku dipinjami duit yo.”     Mila diam saja.

 

[MWA] (Buah Cinta dari Parangkusumo ;Novel bersambung 04/09)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun