Kira-kira jam 9 Bu Lik dan Yu Siyem disertai dua pemuda dengan mobil Jeep off-road tiba di depan rumah. Bu Lik diselimuti jacket loreng, ia kedinginan --- ketika Yu Siyem sudah turun Bu Lik sebelum turun dicium pemuda di sampingnya. Bu Lik membalas dengan bergairah.
“Kapan ? Datanglah ke rumahku ya --- Bu Lik ingin menyerahkan jacket yang dipakainya
“Pe’en !” . Pemuda itu mencium pipi Bu Lik lagi ( dan menjilat dan menggigit telinga Bu Lik). Bu Lik sambil berdiri menjiwit paha anak itu.
Kedua STW itu melambai-lambaikan tangan mereka. Bu Lik dengan genitnya mengirimkan kecupannya.
Bu Lik dan Yu Siyem. Berbisik-bisik, tersenyum dan tertawa lepas. Mereka puas.
Ombak Parangtritis masih bergulung-gulung --- begitu sampai di bibir pantai lidahnya seperti terkulai --- seperti terkulai kehabisan gemuruh tenaganya. Di bibir pantai yang landai ia terkulai seperti perempuan yang puas menikmati orgasme. Ombak itu kembali ke tengah laut seperti selimut Mila yang baru saja disingkapkan Bejo.
Mila seperti merajuk, matahari telah terbit --- mulai terang benderang, sebelum ia tertidur Parangtritis tadi telah rada sepi --- hujan rintik-rintik, mungkin jam empatan. Terdengar ada orang yang bernaung di pinggir tritisan. Mila tidak mengerti mengapa ia melakukan inisiatip.
Menindih Bejo mengatur letak badan mereka. Terdengar dernyit amben --- Mila mengharapkan tempelan itu tetap memberikan kenikmatan. Pelan-pelan saja.
Ketika mereka meninggalkan Parangkusumo tadi, angin menderu-deru, langit dan ufuk gelap gulita --- hanya lintasan kilat menerawang angkasa. Dagangan batu akik memang telah diringkas ke dalam koper. Bilah keris dan tiga cincin bertuah telah dibungkus kain kuning.
Bejo bercerita bahwa kerisnya itu warisan mBah Glondong Wadas Lintang --- karena Bejo diangkat anak. Bahkan anak-cucu mBah Glondong selalu menyiapkan bagian hasil panen kopi untuk Bejo --- Bejo yakin bahwa keris Warangka Sandang Walikat itu akan membawa keberuntungan yang makin menanjak --- begitu umurnya bertambah.
Ketika mereka bersamedi berdoa --- bersamedi seperti itu baru pertama sekali dilakukan Mila. Bejo mengatakan samedi hanya sikap berdoa cara lain. Tidak ada hubungan dengan akidah, dengan sirik. “Kita berdoa kepada Allah”.
Tetapi bagi Mila suasana alam yang mencekam, aroma dupa dan kemenyan --- mempengaruhi suasana hatinya --- ia tidak mengerti apakah ada pengaruh spiritual yang diceritakan Bejo tadi. Antara mengantuk dan tepian kesadarannya ia merasa ada tirai hijau menyelimuti dirinya. Ada bau harum meliputi dirinya --- sehingga ia tersentak sadar diri kembali.
Oksigen yang terhirupnya dengan lamat-lamat, bau kembang dan gaharu membuat alam pikirannya nyaman --- ia baru saja dihampiri Kanjeng Ratu Kidul. Ia menyandarkan kepalanya ke punggung kekasihnya. Bejo, lelaki yang telah dipilihnya bakal menjadi suaminya.
Bejo masih bersemedi di depan batu karang tempat Panembahan Senopati --- dahulu kala bersamedi untuk menantikan kekasihnya Kanjeng Ratu Segoro Kidul. Bejo sadar seorang gadis perawan telah menyerahkan dirinya --- kini ia menyandarkan kepalanya dengan kedua tangannya menggelayut di pundaknya.
Mereka pulang berjalan kaki --- Mila menendang-nendangkan sepatunya, pasir berterbangan di tiup angin. Ia gantungkan dirinya dalam pelukan lengan lelaki itu. Ia rasakan lengan itu di dalam pelukan tangannya. Terkadang ia mengelus. Bejo senang dengan cara belaian perempuan ini.
Malam dingin di dini hari --- mendung pekat, keramaian sepertinya mulai merenggang. Ada raungan speda motor di tepi bibir pantai --- suara riuh lelaki dan perempuan dalam lonjakan buggy. Mila terkadang membayangkan ia malam ini akan tidur berdua dengan Bejo.
Mila tersungkur di samping Bejo, ia menelungkupkan wajahnya menyurukkan kepalanya --- tercium bau apek bantal, tetapi kembali tercium aroma badan Bejo yang sangat merangsangnya. Ia rasakan air matanya meleleh --- ia rasakan ada cairan yang mengalir di sela pahanya.
Ia merasa tentram dengan belaian dan sentuhan tangan Bejo --- ia merasakan nikmat tetap berlangsung, ketika kuku jari Bejo menggaruk garis tulang belikatnya.
Ia yakin Bejo telah memerawaninya --- tetapi nalurinya-lah yang tadi menuntun gerak tempelan Bejo. Dialah yang menggerakkan benda itu menyusup --- Bejo hanya memeluk dan menekan pinggang dan pinggulnya. Lama bertahan dalam diam. Dan Mila untuk pertama sekali merasakan sensasi itu.
“Biarlah, ……….. aku telah memilih seseorang lelaki untuk menjalankan tugas alamiah itu --- aku ingin sekali menjadi ibu. Ia harus menikahi aku…………..” Mila menangis sesenggukan di dalam deru angin yang mencabik-cabik kain poster dan dinding gribik di Parangtritis dan Parangkusumo……………….
[MWA] (Buah Cinta dari Parangkusumo – Novel; bersambung 04/06)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H