Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

TKW-Ayu Sri Rahayu, Mengapa Engkau Harus Mati? Dari Bertanya-tanya, Kami Mendakwa!

5 Oktober 2011   21:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:17 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kumandang Adzan di Kaliwedi, di Ancaran, di Indratex atau di mana kah ?

Juga terdengar di Gurun-gurun, di Oasis atau di sudut-sudut kota Amman di Yordania.

Kami bertangisan karena tidak tahu bertanya kepada siapa

Bertanya pula dalam bahasa Arab melebihi bahasa kami mengaji

Jumhur, kamu telah mendengar keluh kesah seorang ibu kehilangan anak perawannya ?

Nyawa seharga tujuh juta rupiah --- pekasih untuk Buruh binaan Ibu Tri Murti

Ibu, terlalu hina Bangsa ini dihinakan sesama Bangsanya.

 

Ibu masih mengertikah engkau bahasa kami, karena

Para Menteri tidak mengerti lagi bahasa resmi --- Amanat Penderitaan Rakyat.

Mereka sekarat, kami pun sekarat !

Berhadap-hadapan.

 

Tiga tahun Ayu Sri Rahayu dikontrak sebagai sahaya, seperti Hikayat 1001 Malam dibacakan di malam buta. Terngantuk-ngantuk dalam kantuk. Mengusap sudut mata yang masih berair dan perih, tertatih-tatih, terhuyung-huyung Ayu Sri Rahayu terbangun di malam buta --- di atas karpet kumal, anak perawan delapan belas tahunan.

 

Adh, dia menggeserkan pantatnya. Itukah cerita Shahrezad pada Sang Paduka di malam ke-1001

1001 malam adalah tiga tahun kontrak Ayu.

Mi, tanggal 25 Agustus Ayu akan pulang Mi --- telah 1001 malam Ayu menjadi Musafir Kelana di malam buta

Bebaskan Ayu Mi !

Merdekakan Ayu Mi !

 

Mimi tidak mengerti ke mana lagi harus bertanya --- ke Pondok Gedekah, ke Bambu Apuskah, ke Penampungan ayam-ayam sayur berjejal-jejal seperti kandang ayamkah ?

Para perempuan itu memang ayam-ayam sayur Indonesia yang akan di-export ke Manca Negara

Demi Devisa, seperti juga Sumber Dayaemas dan timah. Dikuras untuk Penderitaan dan Pemiskinan.

Oh.

Sia-sia saja Merdeka !

 

Mimi bertanya-tanya Mengapa Ayu harus mati ?

Mengapa giliran ini harus ia --- perawan sunti gadis Kaliwedi.

Di pelintasan lalulintas seperti juga ganasnya lalulintas di Indonesia --- bisa mati sia-sia seperti ayam melintas terlindas Metro mini atau Bis Antar Kota.

 

Oh, Ayu Sri Rahayu mati mengenaskan di perantauandalam bilangan 1001 malam, di kotaAmman

Kami bertanya --- apakah Muhaimin mengerti bagaimana ia melata-lata sampai di sana ?

Mimi tidak mengerti Bahasa Arab, kini beritanya Ayu mati --- setelah meronta-ronta disiram air keras --- daging wajahnya memerah hangus terbakar --- ia segera menjadi buta, biji matanya lumer seperti dicincang si Bajak Laut Sinbad.

Kami bertanya, betapa perih ia meronta-ronta --- dibalut asap kain dan karpet yang terbakar.

Ayu Sri Rahayu meregang nyawa, meronta-ronta dalam kegelapan, berguling-guling kepanasan seperti ayam sayur dilemparkan. Sahaya itu dibakar api seperti terbakar Api Neraka Wail di Kitab Suci.. Ayu mati.

 

Bung Karno kami bertanya : Apakah ini janji Proklamasi-mu di antara orasimu di Lapangan Ikada atau di Dokuritsu itu , di Pejambon atau di Alun-alun Lapangan Merdeka di Kota Medan ?

Bung Hatta kami bertanya : apakah ini hasil perumusan-mu di Pasal 27 Ayat (2) tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ?

Bung Yamin kami bertanya : apakah rumusan Pancasila itu adalah syair yang mengalirkan Keadilan Sosial bagi Bangsa-mu ini ?

Adilkah bagi kami yang tidak berwewenang untuk Korupsi dan Mencuri ?

Sepanjang Jaman, demi jaman dan demi jaman, kami menyumpah serapah sepanjang jalan dan jaman.

 

Ibu Tri, kamu adalah Menteri Perburuhan kami --- bela dan lindungilah para TKW, anak Bangsamu yang terbuang.

Aduh kesakitan jutaan gadis berkudis di Atambua atau di tepi kampung di Lautan Kebun Sawit di Sumatera Utara

Tiada dimengerti para Menteri-menteri Kabinet dan PresidenRI.

1001 malam mengais di jelaga dapur dan menggeserkan pantat di karpet lusuh di pinggiran kemah.

Ibu Tri kami bertanya Mengapa TKW Ayu Sri Rahayu harus mati (Menteri Perburuhan masa kini Bu, adalah pemburu dollar dan mata duitan bu --- dari tunjangan sampai kulit durian)

 

Ibu

Kami bertanya-tanya : bagaimana ia bisa berangkat dari Bekasi sampai entah ke mana dituju --- bagi ayam sayur tidak mengerti dan sudah teken mati --- ke Abu Dhabi, Saudi, Morokko, atau Yordania. Tak ada beda yang berarti.

Teken mati Ibu.

 

Bisakah kami mendakwa kini ?

Adakah Hak Ayam Sayur untuk diperjelas mengapa ia harus mati, dan

Bagaimana dan Mengapa harus mati ?

Daging dan tulang darah dan harapan tercincang lalu lintas, ataukah

Daging wajahnya, bibirnya, biji matanya lumer dalam pekikan tangisan dan perihnya syaraf meregang nyawa.

Tiada siapapun yang menyentuh dan membelai kulit syarafnya yang masih utuh.

Menghiburkan keperihan dan rasa sakit yang menggigit-mengunyah sekujur tubuh.

Anfuun.

 

1001 Malam seperti Shahrezad menggeser-geserkan pantat dan bibirnya. Bercerita dalam khayalan yang romantis

Ayu Sri Rahayu menggeser-geserkan pantatnya karena debu dan kutu-kutu kutukan kemiskinan.

 

Ibu Tri, kini kami mendakwa kamu :

Buat apa Merdeka dipimpin Orang-orang Culas, Bedebah rakus dan Para Koruptor yang berlindung dalam Konstitusi.

Buat apa Merdeka dipimpin Orang-orang Dungu menjadi Bangsa yang dungu --– menjadi Koeli van de Natie.

Kami mendakwa kamu !

[MWA} (2010 Puisi – 16)

[caption id="attachment_135282" align="aligncenter" width="400" caption="Mati Cara Indonesia --- bisa di Simpang Jalan, bisa di Bibir jurang, bisa di Gurun, bisa di mana-mana --- Bangsa Koeli yang Murah Meriah ."][/caption]

*)Foto ex Internet

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun