Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Adipati Jengkel --- Tunting Stand-by; Rudolfo Berlayar (DKNM-novel 03/08)

2 Februari 2012   07:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:09 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13281703962134529853

 

(1)

Tampak sekali Adipati Jengkel, ia berkali-kali bersungut mondar-mandir di Pringgitan. Terdengar keluhannya, “Wes, wes --- ambles kabeh ………………. Sultan Sepuh, Sultan Kanoman --- Keprabonan …………. Sudah jadi antek Belanda. Tidak berdaya, tidak ada pengaruh kekuasaannya lagi --- telah makan pension Hindia Belanda.”

 

Setelah rundingan dengan Dipati Ujung Gebang, yang juga membawa Penasehatnya Elang Adenan Wiradipraja --- akan sia-sia untuk menggunakan Sultan sekali pun, percuma.  Pemerintah Hindia Belanda lebih percaya pada Kapitan Cina, dalam mngatur perdagangan dan pemungutan pajak dan cukai.

 

Tiada manfaatnya menyerahkan Tunting Wulandari untuk tujuan merebut hak pemungutan pajak dan cukai itu, melalui Sultan Cirebon --- benarlah pendapat Temenggung Bangsri, “Serahkan saja pada Kompeni --- bargain-kan maksud paduka kepada pihak Belanda. Kepalang daerah itu belum direbut Kapitan Cina.”

 

Selepas Ashar Adipati Branjangan memanggil mBok Atun ke Pendopo --- Tunting telah menyiapkan wedhang uwuh dengan diracik daun jeruk purut sebagai ganti daun cengkeh. Sedikit cerah wajah Adipati setelah dilayani oleh Tunting Wulandari --- tampak bangga merona di wajah mBok Atun ………………. “Sendiko dalem Kanjeng”, sembahnya.

 

Malah Tunting pun dilarang Dipati untuk beranjak --- ia memberi aba-aba agar Tunting tetap bersama mereka,

 

“Mbok emban --- tanah Jawa telah lumpuh dari ujung ke ujung, perjalanan aku ke Kadipaten Ujung Gebang ternyata sia-sia mbok. Tidak ada lagi pulunggono di Singgasana dan Mahkota keturunan Ningrat Tanah  Jawa, termasuk kerajaan-kerajaan berdasarkan Agama Islam.  Mereka hanya memberikan omong kosong belaka --- tidak ada lagi marwah Ajaran Rasul --- hanya Pesantrenlah benteng terakhir  Agama Islam “. Berkali-kali Adipati Branjang memanaskan kedua telapak tangannya, lantas diusapkan ke wajahnya.

 

Tunting dan mbok Atun hanya mendengarkan dengan seksama dan takzim.

 

“Mbok dan Tunting, percuma kita ngganduli duli yang mulia, pada raja, sunan, sultan atau penembahan --- sekarang nyatalah kaum pengusahalah yang berkuasa --- modallah yang berkuasa.  VOC datang membawa modal ke Tanah Jawa.  Hasil pertanian dan Cultuur Stelsel semuanya untuk membayar utang dan menopang Kerajaan Belanda.  Kita harus nggandul ke duli yang Maha Mulia Raja dan Ratu Belanda ………………………. Tunting, aku tidak mau mempertaruhkan nasibmu nok --- kepada Ningrat yang brengsek. Mulai besok sore kamu akan belajar bahasa Belanda, kamu bisa bahasa Belanda berarti kamu akan dekat dengan orang Eropa “.

 

“Tunting pergilah engkau kembali ke Keputren --- mbok kamu tetap di sini”.  Kemudian Adipati menceritakan betapa berbahayanya perjalanan antara Semarang sampai Batang --- perampok, lanun, begal hampir ditiap pengkolan di Alas Roban. Gerombolan begal itu dikuasai oleh para ningrat yang kini jatuh miskin --- karena mereka tidak bisa menghisap langsung lagi para petani.

 

Jaman Cultuur Stelsel telah berakhir --- rakyat kawula sukar untuk diperas tenaganya lagi.  Ningrat jadi rampok, rakyat jadi pemberontak.

 

“Mbok sejak Jenderal Anthing menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon --- Panglima Belanda berdiam di Jepara,  memang garnizun-nya di Semarang. mBok pemberontakan di Cirebon tahun 1818 bukan digerakkan dan disokong kaum Ningrat --- tidak mBok, Rakyat sendiri yang mendobrak ketidak adilan --- Tunting akan aku abdikan pada Jenderal Elberg, sementara ini akan datang seorang Suster yang akan mengajar Tunting berbahasa Belanda “

 

“Sendko dalem Kanjeng”. Sang Adipati menghirup wedhang uwuhnya --- cerah wajahnya.

 

(2)

Karsiyem mencoba merayu Rudolfo Moravia --- ia sangat mengagumi dan menyintai tuannya itu --- lelaki Bavaria yang gagah dan jantan --- ia ingin mengabdikan dirinya sepanjang hayatnya kepada kekasihnya itu --- diperhatikannya sejak sore Rudolfo sedikit murung. Ia akan menyerahkan tubuhnya, ketrampilannya --- yang sebenarnya diperolehnya secara eksploratif di ranjang Rudolfo.

 

“Tuan, mengapa tuan murung akan meninggalkan Perkebunan Kandy --- saya ‘kan akan menyertai pelayaran tuanku kemana pun”

Rudolfo tersenyum, ia ingin juga melenyapkan suasana hatinya yang kurang enak --- agen Belanda mengabarkan bahwa Legiun Afrika akan dikirim ke Aceh untuk menumpas ‘pemberontak Aceh’ --- Rudolfo tetap menolak untuk memimpin legiun itu sebelum ia menyelesaikan misinya di Pulau Penang.

 

Rudolfo meraih tubuh Karsiyem --- mencium keningnya, dan membisikkan sesuatu.  Karsiyem berdiri menuju bar di dekat meja tulis --- ia mengerti maksud Rudolfo, meneguk beberapa tegukan Sauvignon Blanc. Lantas ia akan memainkan peranan menari-nari sebagaimana dipelajarinya di Oman --- semasa ia menjadi hamba sahaya Arab di sana.

 

Ia akan melepaskan selembar sari sutranya, hingga ia menari-nari dengan gemulai. Karsiyem trampil menari perut yang di-improvisasinya dengan membukai hanya dua potong pakaian Rudolfo.

 

Rudolfo senang dan terhibur dengan lakon itu --- ia dikecup sampai menegang, kemudian diredakan kembali dengan ciuman dalam yang diacu dengan bau harum alkohol.

 

Mereka menuju pelabuhan Colombo untuk berlayar ke Pulau Penang --- Pimpinan militer menyetujui gagasan Rudolfo, menunda pengiriman Legiun Afrika --- tampaknya Pemerintah Hindia Belanda akan mengirim Legiun  Mangkunegaran ke Aceh.

 

Karsiyem merebahkan dirinya di kabin --- ia tersenyum puas, bahwa senikmat-nikmatnya di Perkebunan Kandy, ia lebih merindukan desanya Mengkowo. Pukulan ombak alun di dinding kapal membuainya tertidur --- ia mabok orgasme, sementara Rudolfo masih mabok Burgundy.

 

[MWA ] (Damar Kurung Nyai Moravia; novel 03/08)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun