Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Eligi Rakyat Indonesia Berani Mati [Puisi dari Jendela Bis – 08]

12 Januari 2011   11:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:40 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1.

Sekonyong-konyong

Sekejap

Memang tidak ada yang memperdulikan

Ia bukan penunpang

Rakyat kecil tidak diasuransikan

Terlempar di aspal jalan Pahlawan Revolusi

Anak kecil 8 tahunan --- amplop putih kosong bertabur di jalanan, satu dua terbang kembali, seperti

Juga darah anak itu mengalir di aspal beton --- rahangnya mencong dalam deretan gigi ompong dan darah tidak digubris

Ia berani mati mengadah dan meletakkan amplop kosong seperti para birokrat yang mengantongi amplop berisi upeti dan gratifikasi.

Ia mati persis

Kucing yang melintas tadi di jalan itu juga, mati !

2.

Mati --- karena kurang makan, dikoreksi kemungkinan kurang makan, dikoreksi

Salah gizi, gizi buruk, dan mati karena ia menginginkan mati --- mengapa ia miskin, pastilah mati masuk dalam berita, karena ia rakyat Indonesia berani mati

3.

ada lagi rakyat bodoh memakan tiwul --- juga mati, mengapa ?

4.

Di Indonesia , dimana-mana rakyat berani mati --- dari pemakan ubi jalar di pegunungan di Papua, mati kelaparan , beritanya baru tahu dari Koran

Di Aceh juga begitu, rakyat berani mati karena kemiskinan --- menantikan raskin dan beelte menjelang pemilu 2014 dan musim yang membawa kemiskinan.

Di mana lagi ?

Di mana-mana ada rakyat yang berani mati

Di bawah meja judi para calo terminal, ada orang Indonesia yang setengah mati --- tidak tahu mencari nasi sampah, ia terkapar meringkuk seperti ikan asin.

Mungkin malam ini ia mati --- ia di situ telah empat hari tanpa makan dan setetes embun pun

Di mana Kementerian Sosial ?

Di mana ayat-ayat Konstitusi yang engkau sakralkan, engkau nisbatkan seperti alat yang berfungsi seperti master key --- bisa menjamin membuka apa saja

Baru ada, jaminan sosial bagi para Mafioso, mafia, orang-orang terdidik ala Al Capone saja. Saja !

5.

seorang Raja bertitah agar para pengkhianat perjanjian dengan Portugis dihukum mati --- rakyat itu mati karena titah kaum feodalistis yang berani

mencincang tangan kaki dan batang leher rakyat Indonesia yang berani mati

Pasalnya ia berani melanggar kepentingan maklumat takluk dengan Portugis

Hari ini rakyat mati karena batang lehernya tercekik nasibnya yang tersumbat di jalan buntu atau pun jalan pintas. Mati

Karena kepentingan asing telah menggagahi kepentingan anak negeri.

6.

Beriringan peti mati dari Freight Forwarder luar negeri ---- digotong orang, dan seluruh kampung berkabung.

Meraung --- meraung seperti babi-babi lapar di tepi pagar

Lantas mereka ciumi kotak cargo itu. Mayat

Ada jenazah beriringan --- dibenamkan di sini di Bumi Ibu Pertiwi. Mengapa ia pergi ?

Mereka berani mati --- di sini di Indonesia mereka tidak bisa membeli nasi. Mereka takut melihat anak-anaknya menarik-narik teteknya yang tidak berisi

Air susunya tidak ada --- gaji pun tiada, baiklah emak pergi mencari nasi seperti Hajar mencari air untuk anaknya.Zam zam zam zam zam

Mata terpejam --- mati kena pukulan, tepat di belahan tengkoraknya yang menganga.

Tanamkan mereka di tempat sampah atau kirim saja ke Indonesia --- di sana tanah luas tidak bisa di panen. Puah !

7.

Rakyat Indonesia berani mati --- memang ada dari mereka pada empat pekan di dalam rahim : berjanji pada Tuhan : Kami berani mati !

(Buat TKW Dede pergi entah ke mana --- enam anaknya menanti dalam gendongan nenek Minah yang tua renta)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun