Banyak Rakyat seperti panik --- mencari-cari Sang Pemimpin.Seorang gadis pejuang devisa, menangis mengadahkan pertanyaan kepada Patung Jenderal Besar Sudirman. Aku terperangah sedih duka, aku pun ingin mencari dan memerlukan Bintang Sang Penuntun --- Kubuka buku kumpulan puisi W.S. Rendra Potret Pembangunan dalam Puisi, Penerbit Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta - 1980.
Setelah lembar sampul berwarna semu hitam, ada tiga bait Sanjak Rendra :
Aku mendengar suara
jerit hewan yang terluka.
Ada orang memanah rembulan.
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya.
Orang-orang harus dibangunkan..
Kesaksian harus diberikan.
Agar kehidupan bisa terjaga
(Rendra – Yogya, 1974)
Lembar berikutnya ada inskrip-ku, tertulis “
dapat membaca
dapat menulis
dapat memikirkan
dapat menyatakan
dapat menciptakan
Jkt, 20-10-1980Telah tigapuluh tahun buku itu bersamaku --- kubaca banyak kalimat dan bait-bait yang masih relevan untuk situasi Bangsa-ku saat ini.
Profesor A. Teeuw dalam Pengantar, Aku mendengar – jerit hewan terluka. ………”Kumpulan sajak-sajak Rendra yang diterbitkan ini, dalam keseluruhan karya tidaklah berdiri sendiri, dan bukan pula suatu perkembangan yang sama sekali baru. Dia merupakan jawaban pada lengkingan jerit kesakitan, teriak minta tolong; kesaksian demi keselamatan kehidupan dan pemberontakan terhadap apa yang mengancam kepenuhan kehidupan itu……………..”
Tersentak nurani kita membaca sebagian paragraf Pengantar Sang Profesor yang mumpuni di dalam bidang Kesusastraan Indonesia.
Ini bait kedua sanjak Aku Tulis Pamflet ini (karya Rendra)
…………..Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi.
Ketidak-pastian merajalela.
Apa yang pasti hanya datang dari kekuasaan..
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki,
menjadi marabahaya,
menjadi isi kebon binatang..
Rasakan dan hayatilah situasi lingkungan negara-mu kini --- ‘nyambung ya ?
Ini bait ketujuh :
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan, Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Kini dari Sajak Sebatang Lisong bait pertama :
Menghisap sebatang lisong,
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka.
(jadi teringat tayangan kemarin sore --- para cukong pulang tamasya dari penjara Cipinang --- dapat remisi hadiah Kemerdekaan Rakyat Indonesia yang 230 juta) (?).
Bait terakhir : Inilah sajakku.
Pamflet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir.
bila terpisah dari masalah kehidupan
Di buku ini ada 27 Puisi --- ada pula ilustrasi potret-potret gambaran kehidupan Rakyat Jelata --- Aneh memang Indonesia, potret kehidupan itu masih terdapat hari ini 30 tahun berselang. Persis samaMinta ampun Eyang Guru !
Dikutipkan lagi dari Sajak Matahari bait ke-4 terakhir…………..
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !
Ini pula yang sangat mengharu-biru dalam suasana Peringatan 65 Tahun KemerdekaanRI ini……………Lagu Seorang Gerilya ………
Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata.
Baru kita tahu, hanya para gerilya-lah yang membela rakyat jelata --- yang lain ?
Kalau penasaran ingin mendapatkan semangat perjuangan --- carilah Puisi para Penyair --- yang membawakan Vox Dei !
Di kulit sampul luar belakang …………Wajah pembangunan dapat…
ditampilkan dalam statistik
yang dingin.
Tapi dapat pula ditampilkan
dalam puisi yang merekam
denyut nadi,
leleran keringat,
berkembang biak sel kanker,
dan tatapan mata yang membisu
Rendra menangkap bunyinya
Dan menggemakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H