Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Epos Medan Kota Dollar (04) Wak Kolok Menembak Mati Belanda

29 Mei 2010   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:53 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Medan-Deli, awal 1902. Tergopoh-gopoh si Mardi dan si Ridwan mengunjungi rumah Wak Kolok di Jalan 15 Kampung Durian --- hari masih pagi nian.  Tetapi sudah biasa Wak Kolok sepulang dari Masjid --- langsung duduk di tangga rumahnya. Ia Orang Kaya, ia memiliki beberapa rumah. Ada di Deli Tua , ada di Kedai Durian, dan  ada di Sunggal pun. Memang nenek moyangnya Nakhoda, lagi pula ayahnya pun dulu semacam penasehat Sultan Deli. --- apabila ada gejala panas di kalangan petani pribumi. Di lingkungan Kerajaan Sunggal , rumpun keluarga mereka sangat diandalkan untuk turut menyelesaikan. Mereka itu bergelar elit, Orang kaya.  Hanya Wak Kolok saja yang bersahaja tidak memakai gelarnya itu.

 

            “Apa pula kalian ni tergopoh-gopoh di pagi hari ni ? Tanya Wak Kolok

            “Berita pahit wak --- si Yak ‘ik mati ditembak Belanda di jalur tembakau di jalan 2, wak.  Sudah pun mayatnya dibawa ke Pulo Brayan”

            “Tenang, ceritakan berurutan …………mau minum apa kalian ?  Kopi ya.”

”Kiting, dua kopi lagi, oiiii”

Wak Kolok walaupun ada garis keturunan ningrat, tetapi sangat merakyat, mungkin mengikuti darah dan tabiat atuknya Nakhoda Biran. Nakhoda Biran sangat terkenal dengan sikap perlawanannya terhadap Orang Asing. Entah itu Inggris, entah itu Belanda maupun Portugis. Atuknya itulah yang pernah menculik pioner Portugis yang berpetualang dari Barus. Dan hilang diculik Nakhoda Biran, di daerah Alur Dua, Pangkalan Brandan. Sangat beken atuknya tu.  Dari Sungai Tamiang di utara sampai Sungai Barumun di selatan pantai timur Sumatra.

“Sambil minum kalian --- ada tu pulut dan goreng pisang. Lanjutkan cerita tu “

“Begini wak --- rupanya mereka tu, si Yak ‘ik dan kawan-kawan, enam orang mereka tu, mengerjai daun tembako di jalan 2, mereka memetik dua daun dari bawah, wak. Di blok 16.000 batang tembakau “

“Mereka tu berpindah-pindah tiap malam --- kan bagus kali panenan daun dua tu wak, harga pun bagus “

“Siapa yang menerima daun tu ?’

“Ku dengar-dengar  Cina Kampung Lalang, wak “

“Si Aleng ya ?’

“Ya –lah wak”

“Rombongan mereka tu ‘kan berubah-rubah --- situ lemahnya Wak, jangan-jangan ada yang jahil membocorkan.  Cina itu pun telah ditangkap Belanda . Lebih dulu rupanya, Wak. “

“ Siapa Belanda-nya, Sudah tahu kalian ?’

“Yang mati ditembak hanya si Yak’ik, tetapi  tiga kawannya ditangkap dan ada juga yang ditembak betisnya--- yang lolos hanya dua, Wak. Polisi Belanda tu tak tahu kami siapa” 

“Dari Dienst Marindal, kabar-kabarnya.  Mereka tu telah mengangkat tangan, menyerah wak --- ditembak Belanda tu juga , wak.  Mereka itu bertiga . Biasalah opas-opasnya, orang hitam, wak. Dua orang.”

“Cepat minum kopi kalian --- pastikan bagaimana nasib kawan kalian yang ditangkap “  Tampak Wak Kolok merogoh uncangnya.  Masing-masing mendapat segenggam ketip.

Setelah dua orang itu pergi Wak Kolok memanggil si Seman untuk pergi ke Kampung Baru dan Politie Dienst Marindal --- untuk mencari keterangan siapa yang bertugas menggrebek pencuri tembakau di jalan 2 yang menewaskan pribumi.  Menjelang Isya, wak Kolok telah mendapat informasi yang teliti, bahwa yang menembak si Yak’ik adalah Korporal Hans Moehentenaart, dengan dua opas polisi, yang ditembak betisnya setelah menyerah adalah si Brohim --- yang ditahan di pos polisi Gang Bengkok  si Sutar dan si Kotot.

Wak Kolok dengan berkuda malam itu juga ke Deli tua --- menjelang tengah hari besoknya telah berada di jembatan Sungai Belumai, dengan dua anak buahnya si Lian dan Togotorop.  Dengan berkuda mereka mengejar waktu --- menghadang rombongan Nyai ke Tanjung Morawa yang dikawal Korporal Moehentenaart dengan dua opas.  Mereka akan menjegat rombongan itu di jembatan sungai yang sedang dibangun.  Setiap Minggu petang rombongan Nyai itu dikawal dipulangkan ke Tanjung Morawa (begitu informasinya).

“Itu dia si Korporal di belakang sado --, serentak kita tembak kepalanya”  sepintas diteliti oleh Wak Kolok posisi si Togotorop yang akan memancung seorang pengawal yang kanan.  Rencananya dalam kemelut itu . Senapan locok ketiga yang di depan Wak Kolok akan digunakan menembak pengawal yang sedang panik satunya lagi..

“DorDor”  mimis senjata locok Wak Kolok dan si Lian merebahkan Korporal Moehentnaart terjerembab ke tanah. Menggelepar.  Dengan sigapnya si Togotorop menebaskan pedang panjangnya ke batang leher satu opas polisi --- kedua kuda mereka melonjak. Dengan kejamnya si Togotorop mencincang opas yang telah jatuh ke ilalang itu.  Sedang satunya lagi --- yang kudanya akan diputar menyerang si Togotorop, telah dengan sigap di tembak oleh Wak  Kolok, beberapa saat kemudian dari jarak yang dekat tembakan si Lian bergema pula --- menghantam kepala  si Opas kedua yang baru saja terjatuh, kena tembak Wak Kolok.  Sais sado turun menentramkan dua ekor kudanya yang melonjak-lonjak. Terdengar suara dua orang wanita menjerit.

Wak Kolok berkuda menuju Serdang di muara  Sungai Belumai. Si Lian konon dari situ pulang ke Petumbak, sedang si Togotorop tak jelas, besar kemungkinan ke kampungnya di Simalungun.  Besoknya kematian tiga orang polisi itu menambah ramainya cerita di lapo dan kedai-kedai. Cerita masih sekitar matinya orang pribumi dan telah terbalas dengan matinya tiga polisi, seorang Belanda pula !

Petani dan buruh-buruh perkebunan merasa ada yang membela nasib mereka --- ada kekuatan rakyat yang tersembunyi untuk melawan kompeni. Sebenarnya pencurian daun tembakau, untuk masuk dalam perdagangan gelap --- adalah tombak trisula perlawanan rakyat terhadap onderneming. Pertama sebagai sabotase yang mengobarkan perlawanan rakyat petani --- karena petani pribumi tanahnya dirampas untuk perkebunan, tetapi tidak diganti dengan tanah yang pantas --- agar mereka dapat  bertani menanam bahan pangan keluarganya; kedua pencurian itu untuk menghidupkan perdagangan anak negeri antara pantai timur Sumatera dengan Penang di Semenanjung dan Singapura di pulau Temasik. Ketiga untuk pencurian panen perkebunan sebagai pelampiasan kecemburuan sosial. Banyak hasil perkebunan untuk kaum Elit, para Feodalis dan orang Asing saja.  Buruh dan petani di daerah Sumatera Timur tidak merasakan dollar yang melimpah-limpah itu.

Belakangan terbetik berita Wak Kolok berada di Singapura --- ia berdagang bibit rambung untuk diangkut ke Palembang dan Jambi --- tak jelas pula apakah pihak polisi kompeni bisa melacak penghadang di jembatan sungai Belumai itu --- tetapi serangan secara sporadis seperti itu memang sering terjadi, baik di kota Medan –Deli, maupun di kota-kota kecil di sekitar perkebunan. Bahkan tersiar kabar burung bahwa Orang Karo dan Orang Melayu telah mempersiapkan penyerangan besar-besaran --- seperti Pemberontakan Sunggal tiga puluh tahun yang lalu.

Residen pemerintahan kolonial setelah dipindahkan dari Pulau Bengkalis ke Medan-Deli --- tidak bisa menuntaskan persoalan pelik pertentangan Onderneming dengan rakyat petani.  Walaupun masalah dengan Kerajaan Aceh bisa diredakan --- kini persoalan yang enggak kalah peliknya, yakni penyelundupan hasil perkebunan --- terutama tembakau dan karet --- masuk melalui Penang dan Singapura. Itu terutama mata rantai pedagang Cina di Penang dan Singapura untuk selanjutnya menjadi mata perdagangan ke Cina Daratan.

Sejak tahun 1898 telah dicoba membendung penyelundupan dan perdagangan gelap itu --- dengan melarang ekspor ke Penang dan Singapura --- untuk membatasi perdagangan hasil pekebunan, terutama tembakau. Semuanya harus  menuju ke Rotterdam dan negeri-negeri importir langsung.

 Kekisruhan masalah pertanahan dan kecemburuan sosial terhadap onderneming dan para Feodal. Menimbulkan penekanan pejabat-pejabat di Binnenlands Bestuur – Departemen Dalam Negeri.  Terutama setelah beredarnya kritik melalui penerbitan pamflet “De Millioenen uit Deli” (Jutawan dari Deli) dalam tahun 1904 --- oleh J. van den Brand, salah seorang kritikus pedas terhadap para Aristokrat dalam Ordenemings di Medan- Deli.

Konon Gubernur General di Betavia telah menyiapkan operasi militer dengan 14.000 serdadu.  Kita tunggu saja !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun