Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

SerialParodi Pencerahan (01) Abu Nawas dalam Epoch Perdagangan Internasional Zaman Kuno - Episode 4

13 Desember 2009   03:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahibul Hikayat, setelah mendengar informasi dari demikian banyak sumber, ditambah pula nasehat dan pandangan dari sang sahabatnya,  Ali Koja; serta ilham yang menyertai mimpi bertemu dengan Sinbad. Diputuskan Abu Nawas-lah untuk berlayar ke Malaka . Kota pelabuhan tujuan lain yang juga dipertimbangkan, yakni Barus di pantai barat Sumatera. Cuma Barus (Fansur, lafaz Arab)tidak jadi dipilih karena pelayaran ke sana tak seramai jaman baheula, kini jarang kapal langsung ke pelabuhan Barus.

Tersebutlah nama kapal yang akan ditumpangi Abu Nawas adalah Bahriul Ilmi............Kapten kapalnya orang Somalia, yang pernah menjadi bajak laut di Teluk Aden mau pun di Selat Malaka. Walaupun sejarah Kapten kapal itu dulunya kelam, body language, perawakan dan wajahnya sangat bersahabat. Isteri-nya konon orang Bangla dan berdiam di Chittagong. Itulah alasannya mengapa ia mengambil rute pelayaran ini

Setelah mengangkat sauh, dengan tenang kapal layar motor ini mengarungi Lautan India.  Memang dalam petualangan ini, jenis kapal inilah yang mirip dengan pelayaran pedagang-pedagang Arab dari Hadramaut, maupun orang India dari Gujarat  berlayar ke pelabuhan Barus di pantai barat pulau Sumatera atau pun ke pusat perdagangan di Selat Malaka---kota pelabuhan Malaka.

Konon nama Malaka itupun berasal dari bahasa Arab: Malakat (yang berarti pusat kerajaan). Abu Nawas berdiri di anjungan menghadang angin laut yang menerpanya seperti adegan film Titanic.  Anjungan kapal berayun-ayun, terangkat dan menungkik, gemercik buih air laut dibelah haluan kapal. Samudera yang biru dengan ombak berayun-ayun bergulung-gulung---Abu Nawas tersenyum bahwa ia kini dalam pelayaran napak tilas pelayaran perdagangan internasional nenek moyang bangsa Arab. Ke pulau-pulau di Timur, dalam petualangan-nya mencari negeri Game Wah  Rempah Lho Kok Jin Avi.

Abu Nawas hanyut dalam buku bacaannya mengenai sejarah negeri-negeri di Timur yang ditujunya. Dari kitab Jataka yang memuat kisah-kisah tentang kehidupan Sang Buddha ada menyebut Suvarnnabhumi sebagai sebuah negeriyang kaya dengan logam emas dan perak di timur India. Inilah kekayaan yang mendorong pemburuan mengarah ke Timur di awal abad-abad pertama Masehi menurut catatan Periplous tes Erythrasa thalasses.  Yakni kitab pedoman untuk berlayar di lautan Erythrasa---nama yang digunakan waktu itu untuk Lautan India. Kitab itu ditulis oleh nakhoda Yunani -Mesir yang melakukan pelayaran  antara Asia Barat dan India.    Dalam kitab itu belum menyebut jalur pelayaran ke arah timur lebih lanjut.  Catatan dan keterangan mengenai jalur pelayaran dari timur Teluk Benggala terdapat dari para pedagang yang melayari lintas ke timur vis versa. Sebagaimana yang kini akan dilayari Abu Nawas menapak tilas dari arah timur Teluk Benggala.

Setelah melewati Teluk Mannar dan melintasi Selat Palk, yang memisahkan India dengan Ceylon, tibalah Bahriul Ilmi didepan "pelabuhan Madras" untuk mengambil kargo dan  mengisi air dan perbekalan. Mereka lego jangkar di sana. Abu Nawas membuat berbagai catatan perjalanan. Di pelabuhan terlihat pemandangan yang lazim sejak dari pantai Yaman, "pelabuhan Saihut" tempat pelabuhan bertolak--- sampailah kini di Madras, pada umumnya para pria berbusana : Sarung ! Di kapal atau sampan-sampan nelayan yang berpapasan di Selat Palk pun pada umumnya bersarung. Kini pun di kapal, di sampan dan di pelabuhan semua pria terlihat bekerja dengan memakai sarung ( pemandangan ini juga terbayang sampai di pelabuhan dan perkebunan di Nusantara jaman klasik dulu). Kapal Bahriul Ilmi memuat kargo, berupa bal-bal kain plekat buatan Madras yang akan menuju pelabuhan Malaka. Lainnya  bal-bal karung Goni alat verpaking khas India yang banyak dipakai di kawasan Timur. "Wah---ini apa ?" pikir Abu Nawas. Serombongan lelaki dengan bawaan seadanya, bungkusan---tas bodol-kardus, tentunya dengan busana bersarung, berebutan naik ke kapal. Mereka buruh migran seperti juga orang-orang Indonesia, yang akan merantau ke Malaysia. Jadi buruh kasar, oh.   Kapal sarat manusia.

Kapal berlayar dengan oleng dan melendut-lendut membelah gelombang Teluk Benggala---konon menuju "pelabuhan Tavoy" di Burma (kini Myanmar).............tempat yang paling segar bagi Abu Nawas adalah anjungan kapal di haluan. Inilah perbedaan yang ditemui Abu Nawas, bahwa kapal ke timur dulu, nenek moyang orang Arab atau India Gujarat, mengangkut dagangan yang diperlukan pulau-pulau makmur Nusantara, seperti sutera, katun, kain plekat, kramik, wangi-wangian  dan obat-obatan dari jazirah Arab. Pulangnya membawa barang dagangan, berupa damar, kemenyan, kapur barus, gading, kayu gaharu dan cendana, serta rempah-rempah timur. Kini jejalan manusia  (bagian dari manusia 9 miliar di dunia---1 miliar dalam keadan lapar). Abu Nawas menarik nafas dalam-dalam. Tadi Mualim kapal bercerita, bahwa Pemerintah India adalah salah satu negara---yang Pemimpin Nasional-nya tangguh dan cerdas, karena bisa mengelola manusia 1.147.995.904 jiwa (baca 1,1 miliar manusia). Negara besar dengan tantangan besar dan masalah-masalah nasional yang besar pula. Kini Republik India (baca Res Publika) adalah negara tergolong berprospek maju terdepan. Negara Nuklir (tentu sangat diperhitungkan), mempunyai Angkatan Laut terbesar di Lautan India (imbangnya hanya Angkatan laut Cina dan AL Amerika Serikat) di kawasan ini. Wah !    Mualim kapal itu adalah orang India, rupanya. Ia juga bercerita bagaimana mutu Sumber Daya Manusia India kini---di bidang IT dan komputer, kini India  diperhitungkan di dunia , juga banyak sarjana dan intektual India kini bekerja di negara maju. Dan memang mereka dicari !

Kapal mendengus, beringsut-ingsut dengan bantuan tenaga motor. Di mana-mana, di sudut dan pojok-pojok ---semua manusia. Mualim juga mengatakan di pelabuhan Tavoy, nanti penumpang akan berkurang---buruh migran dari Yaman akan turun, mereka adalah tenaga berpengalaman di pengeboran migas, yang akan bekerja di Myanmar, karena ekplorasi migas disana sedang digalakkan pemerintah bersama perusahaan minyak Cina. Tetapi yang menakutkan kalau para pengungsi, yang disebut-sebut dari,  Tamil atau Rohingya pula yang masuk menjadi penumpang, mereka estafet ke timur (mengapa tidak ada pengungsi dari India ? Oo rupanya secara politik negeri itu relatip stabil-damai).   Ramai-ramai menuju Australia.

Memang setelah pelabuhan Tavoy di Burma, kapal sedikit lega---48 orang penumpangnya yang berasal dari Yaman turun, untuk bekerja di eksplorasi migas  sebagai buruh berpengalaman kerja di perminyakan. Memang mereka adalah jebolan dari industri migas di Teluk Persia. Adios !   Abu Nawas membayangkan Malaka dan tanah seberang-nya, Sumatera.         Sumatera konon, yang disebut-sebut dalam teks kuno sebagai negeri Suvarnnabhumi atau Suwarnadwipa---Pulau Emas !  Semua cerita Cik Qodir sewaktu di Ghaida, Yaman , diputar ulang oleh Abu Nawas. Termasuk kisah-kisah seram orang-orang Indonesia yang nekad menyeberangi laut dari pulau-pulau di Selat Malaka atau dari perairan Riau untuk mencapai tanah harapan.  Jadi buruh migran gelap.  Di sana disebut "pendatang haram". Mereka berlayar dalam gelap dengan perahu-perahu kecil, nasib dan nyawa mereka sudah digadaikan kepada Tekong. Oh pendatang haram---nasibmu gelap !

Di Malaka Abu Nawas dapat ditandai, berjalan dengan kostum ala orang Yaman kelas menengah---kali ini ia bercelana harem plus baju sutra dipadu dengan rompi Aladin warna merah marun, tentunya tak ketinggalan tarbus warna senada. Ia memasuki kota lama Malaka. Mencari Cik Awwab, seorang sahabat sekampung Cik Qodir---sama-sama orang yang berasal dari Palembang. Ternyata Cik Awwab ini bawaan-nya jauh berbeda dari Cik Qodir. Jawaban pertanyaan selalu tidak informatif. Ia selalu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula. Pusing Abu Nawas !    Memang konon begitulah perangai Cik Awwab.

Setelah enam hari di Malaka, Abu Nawas telah banyak mendapat informasi untuk melanjutkan petualangan-nya mencari negeri Game Wah Rempah Lho Kok Jin Avi. Di kedai kopi Sentausa, di kota lama Malaka,  adalah tempat favorit Abu Nawas---sarapan pagi, makan siang dan makan malam di situlah dia. Karena makanan-nya sesuai dengan lidah Arabnya.  Tentunya ia pun mencoba menyesuaikan selera Melayu, terutama teh tarik-nya. Ajib !     Satu lagi, mengapa ia lega, di kedai kopi itu, ia berkenalan dengan Cik Yung---inilah orang yang sesuai untuk dijadikan guide.  Karena Cik Qodir berpesan hati-hati kalau di Indonesia.  Sejak di pelabuhan sudah berkeliaran Calo dan Makelar.  Itu negeri Calo dan Makelar ! "Kamu punya tas dan kantong bisa robek-robek ditarik mereka", begitulah pesan Cik Qodir. Mencemaskan !

Cik Yung adalah lelaki berumur 78 tahun, veteran perang kemerdekaan Indonesia. Orangnya walaupun pendek, tetapi kekar, berbicara tegas-jelas-lugas dan cerdas. Di kota Medan, kota asalnya ia manusia yang disegani, tokoh latihan beladiri, latihan pernafasan dan memang ia, masih sehat. Abu Nawas merasa aman dan nyaman. Mereka akan menyeberang ke Sumatera, dengan feri dari Malaka  ke Dumai.

Di pelabuhan mereka diantar oleh Cik Awwab---karena Cik Awwab baru saja pulang dari Dumai bulan lalu. Iseng Abu Nawas bertanya sekenanya  kepada Cik Awwab. "Cik, bagaimana keadaan Indonesia terakhir ente di sana ?".

"Indonesia ?  Begini-begitu-lah........., , jawab Cik Awwab  sekenanya pula.   Ampun !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun