Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kumpulan Sanjak Stasiun Kajeksan

17 Desember 2009   01:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:54 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stasiun Kajeksan

Dari ujung horizon di barat tanda kesuksesan hidup

Di ufuk timur jalur rel kereta api jalur kesuksesan

Dari Lempuyangan kotaYogyakarta

Dari stasiun Tawang ataupun Poncol di Semarang

Sepanjang panjang rel kereta api Tanah Jawa

Berdiri di Kepanjen atau pun stasiun Cepu

Sebagai orang yang sukses

Tetapi stasiun Kajeksan monumennya

Stasiun Kajeksan

Makan pecel  di Gambringan

Makan sate kambing di Mbalun Cepu

Mengejar angkot di Kepanjen

Duduk termangu di stasiun Kajeksan sebagai orang yang  sukses.

Berlari-lari di stasiun Kandanghaur

Kembali di ruang kereta api yang apek

Sama saja dengan pesawat di penerbangan Tokyo Los Angeles

Sama bahagianya

Di horizon rel kereta api stasiun Kajeksan

Tertegun di kampus Universitas Diponegoro sebagai orang yang  sukses

Berdiri monumen Diponegoro, anakku, anak-anak-ku

Dengan toga aku menatap diriku

Hidupku sepanjang rel kereta api dari Wonokromo ke Tigaraksa

Jejakku di Portsmouth jejak anakku di London

Jejakku di Kucing Sarawak jejak anakku di Hongkong

oh

Di musim semi kehidupan, masih musim semi.

PG020409

Di lorong Taman Ismail Marzuki

Tergesa jalan mencari bayang-bayang pepohonan, aku tiba di lorong menuju tangga perpustakaan HB Yassin

Di depan seorang wanita berkaos hijau, celana slack hijau gelap, wajahnya cerah di silaunya cahaya mentari

Berpapasan dengan senyumnya cerah, mata membinar, ia berbahagia, di lehernya tergantung kalung etnik

Etnik

Indah kataku, ia tersipu.

PG060609

Berbicara pada Ismina

Adegan I

Disitu menunggu, bicara dalam hati, mengambil buku, membaca. Dari kaca luas menembus Starbuck, menghirup es teh, sepotong demi sepotong roti garlick, kesukaan.

Disana di rumahmu, bersolek akan ketemu dia, berkali-kali memoles wajah, bibir, dan mata, seperti tidak percaya diri.

Harus hadir di tempat itu, gelisah, terlalu banyak kenangan dan tekanan, bertumpuk beban dan kesedihan dan kesepian. Buat  apa lagi aku berjanji, tampil dengan prilaku seperti gadis yang sedang rindu. Mati aku dalam rona kosmetika apakah ia suka? Diluar yang panas,  panas Jakarta, aku  seperti tidak percaya diri, di siang itu aku tampil seperti perasaan yang belum pernah menekanku.

Itu di dalam benakmu.

Lain di dalam hatiku. Aku hanya ingin melihat wanita lima delapan dibanding gadis belia di umurnya delapan belas.

Di bawah pohon kelapa, ya kelapa gading di rumah tante Yo.

Di Semarang tahun enam sembilan

Mati aku kini sudah dua ribu sembilan, hebat ya hidup itu, panjang berliku, seperti mata air dari perut gunung gunung di Jawa Tengah.

Air mata, mata air, air mata kehidupan , aku pernah menangis di depan jenazah

Suatu saat aku tentu juga akan ditangisi oleh mereka-mereka yang kehilangan, di tempatku di San Diego

Panorama terakhir impianku

Bicaralah, aku akan kesepian sampai di San Diego. Mengapa air tidak pernah kesepian, mempunyai kemampuan kohesi di tebing, di lembah, di tepi, di tengah, di sela , di celah, di got yang pekat, di bak mandi, di kloset, di jambangan, di got , kembali, ke parit, ke kali, ke sungai, ke , ke, ke, ya ke muara, ke laut setiap saat tidak ada  derita untuk menguap menjadi mega menjadi embun menjadi hujan. Hujan rintik-rintik, hujan lebat, tidak ada penderitaan bagi air. Itu air. Air kehidupan pohon-pohon, mahluk-mahluk, manusia dan beton di kotaku ini. Jakarta memerlukan air. Beton memerlukan air. Seperti juga aku wanita lima puluh delapan.

Adegan II

Aku bicara kepada Ismina, ya sebelum kamu ketemu malaikat itu, sebelum berangkat ke San Diego, kamu memerlukan lelaki, yang setiap malam ingin bercanda denganmu dalam kepenatan kehidupan. Sebelum mati. Ya kamu memerlukannya.

Di Jakarta, seperti juga di Yogyakarta, di perempatan Tugu ada orang meletakkan sesaji, seperti juga di Parang Kusumo, ada sesaji. Seperti Kanjeng Ratu berbaju hijau, melambai-lambai ditiup angin kencang di Parang Teritis.

Kanjeng bersimpuh di pasir putih sedikit lembut dan basah, ia merasakan cintanya dihanyutkan air, tetapi ia merindukan air sang Raja

Ia berjanji bertemu dengan Raja, di tepi laut selatan Yogyakarta. Untuk meraba lututnya yang berbulu, seperti sisik ikan Duyung  yang lembut. Rambutnya yang gelap, hitam gelam, rada tegar seperti karang didera ombak dan alun, tidak bisa berantakan.

Di tepi laut selatan, banyak kisah bisa terjadi, seperti air yang melewati batu-batu kehidupan.

Orang-orang yang patah hati, menerbangkan alur  rambutnya di angin yang kencang, menanti matahari yang terbenam. E angin juga  seperti juga air tidak ada matinya, ia tidak memerlukan kuburan di mana pun, ia bergerak di tekanan yang lebih rendah. Ia angin tidak memerlukan kematian. Ia menunjang kehidupan alam, juga di pantai selatan.

Kanjeng bertolak ke tengah Samudra, Sang raja melambai ia tidak tahu kapan akan bertemu kembali.

Ismina aku bicara padamu, tidak banyak waktu, walau pun waktu tidak ada matinya, seperti air dan angin

Ismina aku bicara padamu, waktu hanya butuh jodonya, Sang Ruang.

Ismina menangislah, air matamu adalah tekanan kartesis jiwamu yang gelisah, karena kamu masih hidup

Ismina tertawalah di komunitasmu yang makmur dan mewah, tetapi ia tidak langgeng seperti molekul air, seperti daya angin, seperti ruang dan waktu yang di hadirat Zat yang maha. Berkelana bersama kekekalan-Nya

Dengarkan lagu yang lenyap di tala kehidupan. Salam.

PG050709

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun