Stasiun Kajeksan
Dari ujung horizon di barat tanda kesuksesan hidup
Di ufuk timur jalur rel kereta api jalur kesuksesan
Dari Lempuyangan kotaYogyakarta
Dari stasiun Tawang ataupun Poncol di Semarang
Sepanjang panjang rel kereta api Tanah Jawa
Berdiri di Kepanjen atau pun stasiun Cepu
Sebagai orang yang sukses
Tetapi stasiun Kajeksan monumennya
Stasiun Kajeksan
Makan pecel di Gambringan
Makan sate kambing di Mbalun Cepu
Mengejar angkot di Kepanjen
Duduk termangu di stasiun Kajeksan sebagai orang yang sukses.
Berlari-lari di stasiun Kandanghaur
Kembali di ruang kereta api yang apek
Sama saja dengan pesawat di penerbangan Tokyo Los Angeles
Sama bahagianya
Di horizon rel kereta api stasiun Kajeksan
Tertegun di kampus Universitas Diponegoro sebagai orang yang sukses
Berdiri monumen Diponegoro, anakku, anak-anak-ku
Dengan toga aku menatap diriku
Hidupku sepanjang rel kereta api dari Wonokromo ke Tigaraksa
Jejakku di Portsmouth jejak anakku di London
Jejakku di Kucing Sarawak jejak anakku di Hongkong
oh
Di musim semi kehidupan, masih musim semi.
PG020409
Di lorong Taman Ismail Marzuki
Tergesa jalan mencari bayang-bayang pepohonan, aku tiba di lorong menuju tangga perpustakaan HB Yassin
Di depan seorang wanita berkaos hijau, celana slack hijau gelap, wajahnya cerah di silaunya cahaya mentari
Berpapasan dengan senyumnya cerah, mata membinar, ia berbahagia, di lehernya tergantung kalung etnik
Etnik
Indah kataku, ia tersipu.
PG060609
Berbicara pada Ismina
Adegan I
Disitu menunggu, bicara dalam hati, mengambil buku, membaca. Dari kaca luas menembus Starbuck, menghirup es teh, sepotong demi sepotong roti garlick, kesukaan.
Disana di rumahmu, bersolek akan ketemu dia, berkali-kali memoles wajah, bibir, dan mata, seperti tidak percaya diri.
Harus hadir di tempat itu, gelisah, terlalu banyak kenangan dan tekanan, bertumpuk beban dan kesedihan dan kesepian. Buat apa lagi aku berjanji, tampil dengan prilaku seperti gadis yang sedang rindu. Mati aku dalam rona kosmetika apakah ia suka? Diluar yang panas, panas Jakarta, aku seperti tidak percaya diri, di siang itu aku tampil seperti perasaan yang belum pernah menekanku.
Itu di dalam benakmu.
Lain di dalam hatiku. Aku hanya ingin melihat wanita lima delapan dibanding gadis belia di umurnya delapan belas.
Di bawah pohon kelapa, ya kelapa gading di rumah tante Yo.
Di Semarang tahun enam sembilan
Mati aku kini sudah dua ribu sembilan, hebat ya hidup itu, panjang berliku, seperti mata air dari perut gunung gunung di Jawa Tengah.
Air mata, mata air, air mata kehidupan , aku pernah menangis di depan jenazah
Suatu saat aku tentu juga akan ditangisi oleh mereka-mereka yang kehilangan, di tempatku di San Diego
Panorama terakhir impianku
Bicaralah, aku akan kesepian sampai di San Diego. Mengapa air tidak pernah kesepian, mempunyai kemampuan kohesi di tebing, di lembah, di tepi, di tengah, di sela , di celah, di got yang pekat, di bak mandi, di kloset, di jambangan, di got , kembali, ke parit, ke kali, ke sungai, ke , ke, ke, ya ke muara, ke laut setiap saat tidak ada derita untuk menguap menjadi mega menjadi embun menjadi hujan. Hujan rintik-rintik, hujan lebat, tidak ada penderitaan bagi air. Itu air. Air kehidupan pohon-pohon, mahluk-mahluk, manusia dan beton di kotaku ini. Jakarta memerlukan air. Beton memerlukan air. Seperti juga aku wanita lima puluh delapan.
Adegan II
Aku bicara kepada Ismina, ya sebelum kamu ketemu malaikat itu, sebelum berangkat ke San Diego, kamu memerlukan lelaki, yang setiap malam ingin bercanda denganmu dalam kepenatan kehidupan. Sebelum mati. Ya kamu memerlukannya.
Di Jakarta, seperti juga di Yogyakarta, di perempatan Tugu ada orang meletakkan sesaji, seperti juga di Parang Kusumo, ada sesaji. Seperti Kanjeng Ratu berbaju hijau, melambai-lambai ditiup angin kencang di Parang Teritis.
Kanjeng bersimpuh di pasir putih sedikit lembut dan basah, ia merasakan cintanya dihanyutkan air, tetapi ia merindukan air sang Raja
Ia berjanji bertemu dengan Raja, di tepi laut selatan Yogyakarta. Untuk meraba lututnya yang berbulu, seperti sisik ikan Duyung yang lembut. Rambutnya yang gelap, hitam gelam, rada tegar seperti karang didera ombak dan alun, tidak bisa berantakan.
Di tepi laut selatan, banyak kisah bisa terjadi, seperti air yang melewati batu-batu kehidupan.
Orang-orang yang patah hati, menerbangkan alur rambutnya di angin yang kencang, menanti matahari yang terbenam. E angin juga seperti juga air tidak ada matinya, ia tidak memerlukan kuburan di mana pun, ia bergerak di tekanan yang lebih rendah. Ia angin tidak memerlukan kematian. Ia menunjang kehidupan alam, juga di pantai selatan.
Kanjeng bertolak ke tengah Samudra, Sang raja melambai ia tidak tahu kapan akan bertemu kembali.
Ismina aku bicara padamu, tidak banyak waktu, walau pun waktu tidak ada matinya, seperti air dan angin
Ismina aku bicara padamu, waktu hanya butuh jodonya, Sang Ruang.
Ismina menangislah, air matamu adalah tekanan kartesis jiwamu yang gelisah, karena kamu masih hidup
Ismina tertawalah di komunitasmu yang makmur dan mewah, tetapi ia tidak langgeng seperti molekul air, seperti daya angin, seperti ruang dan waktu yang di hadirat Zat yang maha. Berkelana bersama kekekalan-Nya
Dengarkan lagu yang lenyap di tala kehidupan. Salam.
PG050709
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H