(1)
Mad Kasan mbrebes mili --- airmatanya merebak. Ia menduduki buntelan entah apa yang merupakan kekayaannya. Ia bekerja sebagai penyapu latar di Pasar Senen. Ia malu menyaksikan istrinya masih meraung-raung.
Gubug reyot mereka dirobohkan. Mereka diusir dari Negerinya.
Kemana mau pergi --- kolong jembatan saja sudah penuh.
Mak Comblang masih memukuli dadanya di depan pasukan macam-macam manusia berpakaian dinas. Ia meraung-raung, hanya itu senjata demokratisnya.
Ia memandang ke arah suaminya --- ia kecewa, terlintas ia akan mengancam untuk menabrakkan dirinya ke depan Lokomotif……………
(2)
Ibu Sanusi memandang melas grobogan, peti, koelkast tua, gulungan gordyn, telah tuntas dikemas oleh satuan Tentara yang seperti seprofesi almarhum suaminya --- ia diusir untuk meninggalkan rumah dinas yang telah dihuninya sejak 1987.
Suaminya pun meninggal dunia di situ, rumah yang bertahun-tahun dulu menjadi mahligai impian untuk menjadi Jenderal.
Menjadi Jenderal enak --- nyatanya memang enak. Banyak Jendral mempunyai kesempatan untuk mencuri, menjadi koruptor. Keluarga Jenderal Koruptor tidak mempunyai masalah perumahan seperti mereka, di kompleks militer itu saat ini.
Paling-paling mereka akan terperangkap ke dalam penjara. Keluarga mereka pasti masih hidup terjamin. Indonesia !
“Bu, ayo !”, Bu Sanusi tersadar, anak bungsunya membimbingnya ke arah truk --- menuju rumah kontrakan di Tanah Merdeka, Jakarta Utara.
(3)
Dikabarkan Menpora menjadi Tersangka kasus Korupsi Megaproyek Rp. 2.5 triliun.
Ia masih belum mengerti mengapa proyek itu disalahkan --- memang iya Anggarannya telah menggelembung --- dan telah pula mendapat terminologi “APBN Tahun Jamak”.
Ia tidak mengerti : Mengapa ?
“Betul, ia tidak menerima Rp. 1 pun dari proyek itu”
“Mengapa ia harus berkorban menjadi korban ?, mereka memang belum mengerti-mengerti --- mencoba menegakkan benang basah.
Ternyata AAM mengajukan pengunduran diri --- dan Presiden RI menerima surat pengunduran diri itu, Presiden bisa mengerti.
Ia masgul dan menyesal --- mengapa nasibnya menjadi sial di partai ini. Partai prospektif dan menjanjikan. Partai pemenang , partai yang bisa langgeng melanggengkan kekuasaan.
Berabad-abad, sampai entah beberapa keturunan, rancangannya.
Sebagai manusia ia bisa menyesal, bisa marah --- mengapa Kekuasaan tidak bsia menyelamatkan diri dan keluarganya ?
Ternista --- ternoda, terhina.
Truk barang pindahan telah hilang di belokan Jalan Widyacandra.
Ia bergegas menuju mobilnya, ia tolehkan lehernya untuk melihat terakhir sekali --- rumah prestasi tertinggi, rumah reputasi tertinggi.
Reputasi itu runtuh seperti puing rumah-rumah Rakyat Sleman digusur Puting Beliung kemarin .
Oh nasib (telah terbayang jeruji penjara Republik Indonesia) --- kemacetan Jakarta seperti ejekan dan cemoohan Rakyat sepanjang jalan.
Oh.
[caption id="attachment_220377" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-- Cermin 72"][/caption]
[MWA] (Cermin Haiku-72)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H