[caption id="attachment_252669" align="aligncenter" width="697" caption="screenshoot from wikipedia"] [/caption]
Alay bagi sebagian besar, bahkan hampir seluruh kaum muda pasti tak asing dengan kata ini. Alay itu sendiri memiliki arti “Anak Lebay”, dan “Lebay” yang berarti sesuatu yang berlebihan. Alay menjadi fenomena bagi masyarakat, khususnya bagi kaum muda. Prinsip mereka adalah “Gak Alay, Gak Gaul”.
Tren Alay bukan hanya di Indonesia saja, namun di berbagai negara pun sebenarnya Tren ini ada, mungkin dengan istilah yang berbeda. Sebut saja trend Jejemon di Filipina yang hampir mirip dengan Tren Alay, atau di Italia sana dengan tren Truzzi. Sekelompok orang-orang nyentrik ini pun memiliki karakteristik yang unik mulai dari tata bahasa, busana, ekspresi dan yang lainnya namun akan menyilaukan bagi sebagian orang yang tidak terbiasa berkumpul dengannya.
Awalnya bermula dari media televisi, sebut saja sinetron yang menampilkan adegan-adegan dramatis yang akhirnya ditiru oleh sebagian kita dengan ekspresi yang berlebihan. Lalu, pada sekarang ini pun media masih sangat berpengaruh, dengan kecanggihan teknologi saat ini, Jejaring Sosial Internet pun bermunculan, dengan Gadget yang semakin canggih kita dapat dengan mudahnya berbagi cerita, foto, video dan lain lain. Akhirnya kecanduan media sosial pun timbul, orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi eksis di media sosial, ‘narsis’ kata mereka menjadi hal yang wajib, dan tak ketinggalan, ‘update status’, semua yang mereka lakukan baik sedang makan, jalan, berkumpul dengan teman, dan momen-momen lainnya pun mereka posting di media sosial.
Kalau tadi adalah hal yang berhubungan dengan gaya hidup, berbusana pun punya gaya Alay, bagi kaum pria mungkin dengan berambut gondrong dan poni, memakai kalung, gelang, baju ketat dan celana sobek pun dipakai. Mereka menyesuaikan dengan tren yang ada saat itu juga. Lalu gaya penulisan, ini yang sebenarnya meprihatinkan. Bahasa yang Alay hampir seluruhnya merancukan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada akhirnya, anak-anak muda lupa bagaimana menulis ataupun berbicara dengan bahasa yang baik dan benar.
Yang terakhir adalah dengan melalui seni musik dan film, banyak bermunculan lagu-lagu yang bertemakan ‘Alay`, lalu kita lihat juga film-film drama dan lagu-lagu dari negeri orang itu yang banyak ditonton oleh sebagian besar kaum muda. Lalu, dari situ mereka mulai mempraktekkan dengan meniru gaya ataupun ekspresinya untuk terlihat lebih menonjol diantara yang lainnya.
Namun, apakah Tren Alay ini berdampak Negatif? Sebenarnya tidak juga. Kita tahu bahwa tiap era pasti memiliki tren yang unik, dan yang sekarang ini terjadi adalah Tren Alay, dimana Tren ini dijadikan gaya hidup bagi sebagian besar masyarakat. Mungkin inilah bentuk ekspresi kita sebagai kaum muda yang selalu mencoba hal-hal yang unik, karena hal-hal yang biasa dilakukan itu terlalu kaku. Namun satu hal, jangan sampai tren ini membuat kita lupa dengan budaya asli kita.
Berkaca dari penyebaran budaya alay ini, alangkah lebih baiknya pesan-pesan moral, pengetahuan budaya bisa disampaikan dengan cara yang lebih menarik (tidak kaku) pula, misalkan dengan memanfaatkan jejaring sosial, mungkin hal ini sudah mulai disadari dan sedang diupayakan. Dengan mengemas menjadi hal yang menarik dan dengan cara yang unik, mungkin pesan-pesan positif itu dapat diterima dengan baik. Kita berharap, tren ini tidak melunturkan budaya asli yang turun temurun diwariskan oleh leluhur kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H