Mohon tunggu...
Sigith Prabowo
Sigith Prabowo Mohon Tunggu... -

i'm the master of my fate, and i'm the captain of my life [Nelson Mandela]

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Karena Kamu Cuma Satu [Kisah Gadis Purnama]

23 Juni 2011   11:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:14 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

masih saja matanya menatap pada gundukan tanah merah tersebut. sebuah gundukan duka. duka akan sebuah cinta yang terkubur. dalam, dingin, dan gelap. terkubur dalam liang berukuran 2x1 meter tersebut. sebuah kedukaan tampak dari pancaran wajah-wajah muram yang berada di area pemakaman tersebut. seakan separuh jiwa mereka hilang terkubur dalam gundukan tanah merah tersebut. mati. bersama jasada yang terbujur kaku berselimutkan kafan putih yang ada di dalam liang itu. terkubur bersama kenangan yang pernah ada. sasya masih saja menagis sesegukan di depan makam gusti. separuh jiwanya hilang. terkubur di dalam liang sempit di depan matanya saat ini. terkubur bersama seorang lelaki yang sudah mengisi hari dan hatinya. seseorang yang sudah menjadi warna lain dalam kehidupannya. kehidupan cita, maupun cinta. dan sekarang semuanya hilang ditelan tanah di depannya. tak bisa terbayangkan oleh sasya bagaimana ia akan menjalani harinya tanpa seorang lelaki bernama gusti itu. tetapi, bukankah sasya sudah meng-iya-kan keinginan orang tuanya untuk menikah dengan dodo? seorang lelaki kaya raya dari jakarta. tanahnya luas tak terhitung. bukan hanya di daerah pinggiran jakarta, tetapi sampai ke bogor. begitupun usaha-usahanya. tidak terhitung jumlah tokonya di Kota Kembang, bertebaran bak jamur yang tumbuh subur di musim penghujan. apa hal ini yang terjadi? bukan sebuah rumah mewah yang dicarinya. bukan pula kendaraan pribadi lengkap dengan supir yang setiap saat setia mengantarnya kemana saja. ataupun limpahan perhiasan emas berlian di tubuhnya. tidak. sasya tidak menginginkan itu semua. yang dia inginkan hanyalah sebuah cinta. sebuah cinta dari seorang lelaki yang tulus mencintainya dari hati. bukan hanya karena parasnya yang cantik. bukan pula karena tubuhnya yang montok. ataupun karena kulitnya yang halus berwarna kuning langsat. tidak. bukan itu semua. karena semua itu akan luntur seiring berjalannya waktu. tak terasa lama sudah sasya meratapi kepergian lelaki pujaan hatinya. meringkuk dalam kesedihan, bermandikan air mata setiap hari. berselimutkan duka kala rindu akan wajah sang pujaan melintas. tak terhitung jumlah kawan dan kerabat yang menghiburnya. berbagai hal juga telah dilakukan untuk menghiburnya. tetapi semua mental tak berbekas. seakan seluruh perasaan sasya ikut terkubur bersama gusti. sedangkan waktu perjodohan sudah semakin mengejarnya. tidak, larut dalam kesedihan bukanlah sebuah pilihan yang bijaksana untuk saat ini. meneruskan hidup akan menjadi lebih bijak. bukankah mereka belum menikah? bahkan menjadi sepasang kekasih pun belum. lalu buat apa meratapi tanpa henti seseorang yang sudah tidak akan bisa dilihat lagi wajahnya kecuali lewat foto? ah, andai saja waktu itu sasya memiliki sebuah keberanian untuk mengungkapkan perasaannya lebih dulu kepada gusti. atau setidaknya menolak keinginan orang tua nya untuk menjodohkannya dengan dodo. bukankah ia anak kesayangan orang tuanya? tetapi sudahlah, semua sudah berlalu. tiada berguna menyesali sesuatu yang telah terjadi, terlebih lagi keputusan yang dibuat sendiri dengan sadar. malam itu bulan masih menampakkan sisa-sisa purnamanya. bulat yang sudah tidak sempurna, dengan sinar kemerahan. seolah ingin berbagi kesedihan, sang purnama pun tidak serta merta selalu tampil. sesekali gumpalan awan menutupinya, seolah menutupi kesedihan yang masih terlihat jelas di wajah manis sasya. perlahan pena nya menggoreskan beberpa kata, kemudian menjadi susunan kalimat beraturan. kalimat-kalimat yang mencurahkan betapa dirinya sangat berduka. ah, tanpa sebuah surat pun semua orang pun akan tahu kalau gadis manis berjilbab ini sedang berduka. diletakkannya kertas bertulis yang sudah diamplopi tersebut. berharap seseorang akan menemukannya kala sang surya menggantikan purnamanya. dengan seorang sahabat setia, sasya melangkah pada dunia baru nya. sebuah dunia baru yang penuh teka-teki. entah apa lagi yang akan ditemuinya nanti. mungkin pula dia akan menemukan "gusti" yang baru. entah. mentari belum bersinar, baru semburat jingga di ufuk timur. suara kokok ayam membangunkan orang-orang untuk menunaikan shalat subuh. dan sebuah kehebohan melanda rumah yang tidak begitu besar itu. rumah dengan arsitektur modern minimalis bertingkat dua itu heboh menemukan sebuah surat dari seorang gadis bernama sasya. berderai air mata sang ibu membaca surat dari anak yang dicintainya itu. "ayah, ibu, adik dan kakak yang sasya cintai. maafkan keputusan sasya yang mendadak ini. tetapi sasya yakin ini adalah yang terbaik untuk sasya. bukan ingin membuat malu ayah dan ibu, tetapi sejak awal sasya sudah mengatakan tidak ingin dijodohkan. tetapi sasya pun tidak kuasa melawan keinginan ayah dan ibu. maafkan sasya. sasya hanya mencintai seseorang, dan orang itu sudah terbujur kaku dimakan ulat dan cacing. maafkan karena sasya pergi tanpa pamit. tidak usah mencari sasya. sasya akan baik-baik saja. nanti sesampainya di kota tujuan, sasya akan menghubungi ayah dan ibu. terima kasih untuk segala kasih sayangnya. sasya." diam terpaku. hanya itu yang bisa dilakukan sang ayah. sebuah harga yang sangat mahal harus ditanggungnya karena sebuah keputusan untuk menjodohkan anaknya harus berakhir tidak bahagia. tidak seperti kakaknya dulu...dulu sekali...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun