Mohon tunggu...
Sigith Prabowo
Sigith Prabowo Mohon Tunggu... -

i'm the master of my fate, and i'm the captain of my life [Nelson Mandela]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara (yang Ngakunya) Pecinta Alam dengan Penikmat Alam

23 Maret 2013   17:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:21 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1364035635178919880

[caption id="attachment_250899" align="alignleft" width="300" caption="Alun-alun SuryaKencana Gunung Gede"][/caption]

Banyak orang mengaku PECINTA ALAM hanya karena suka naik gunung, tapi mereka lupa bagaimana caranya memperlakukan Gunung yg merupakan bagian dari alam. Entah mereka lupa atau tidak tau, atau bahkan tidak mau tahu, tetapi yang jelas apa yang mereka lakukan menurut saya tidak mencerminkan “siapa” mereka, mungkin lebih tepatnya status apa yang mereka tampilkan.

Apakah Pecinta Alam itu hanya untuk orang yang suka naik gunung? Menurut saya terlalu naif jika kita (mereka) menyimpulkan demikian. Sebab, menurut pemikiran saya (entah benar atau salah), seorang pecinta alam adalah orang yang mencintai alam, dan alam bukan hanya gunung. Termasuk di dalam alam itu ada sungai, danau, hutan, desa, bahkan kota pun bagian dari alam. Dan jika mereka tidak menjaga kelestarian alam, apakah mereka pantas menyebut diri mereka seorang pecinta alam? I don’t think so...

Mungkin saya tidak punya pemahaman tentang siapa itu Pecinta Alam, karena saya memang tidak pernah bergabung dengan organisasi PA sejak dulu. Tetapi, sepertinya tidak ada salahnya orang awam seperti saya mencoba melihat PA itu dari sudut pandang pemahaman yang saya miliki.

Kembali kepada apa itu Pecinta Alam? Jika menanyakan pertanyaan itu kepada saya, maka jawaban saya seperti di atas tadi, yaitu orang yang mencintai alam. Dan orang itu tidak selalu orang yang suka naik gunung. Sebab alam tidak hanya gunung. Lalu apa hubungannya dengan “lupa”? Ya, saat orang mengaku bahwa dia anak PA, maka sudah selayaknya dia menjaga kelestarian alam (lagi-lagi ini menurut saya lho). Mengapa? Karena jika seseorang mencintai sesuatu, maka logikanya ia akan menjaga sesuatu tersebut dengan baik.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang mengaku Pecinta Alam tetapi membiarkan bahkan ikut merusak alam (gunung) yang seharusnya mereka jaga? Inilah yang menjadi keprihatinan saya. Saya bukanlah seorang penjaga lingkungan, bukan pula anak PA. Saya hanya seorang penikmat alam yang suka bermain di alam. Lalu, mengapa saya peduli? Karena saya seorang penikmat, maka saya peduli dengan hal ini. Logika saya, ngapain saya capek-capek naik ke gunung kalau Cuma pengen liat sampah dan (maaf) kotoran manusia bertebaran di gunung?

Lebih jauh lagi, jika seorang Pecinta Alam tidak memberikan sebuah contoh bagi masyarakat awam, maka bisa dibayangkan apa jadinya alam Indonesia (bahkan dunia) beberapa waktu ke depan. Mungkin akan semakin banyak wisatawan yang mulai sembarangan membuang sampah di gunung atau hutan atau sungai. Mungkin semakin banyak aliran air bersih yang tercemar oleh kotoran sampah maupun kotoran manusia. Dan mungkin akan semakin banyak hutan atau gunung di Indonesia yang rusak karena pencemaran ini.

Dari dua gunung terakhir yang saya daki, dua-duanya menyuguhkan pemandangan yang menurut saya tidak berbeda dengan pemandangan di daerah urban di kota-kota besar di Indonesia. Kotoran manusia dan sampah bertebaran di tempat-tempat tertentu. Sisa-sisa makanan tidak dibuang pada tempatnya. Mungkin memang benar, beberapa sampah (yang organik) dan kotoran merupakan sesuatu yang akan hancur dengan sendirinya dan menyuburkan tanah. Tetapi bukankah kita punya etika dalam hal ini? Kucing aja kalau mau BAB nge-gali tanah dan kemudian menutupnya lagi saat sudah selesai. Masa manusia kalah?

Apakah mendaki gunung saat ini menjadi sebuah euforia bagi sebagian besar kaum muda kita? Akibat racun sebuah film yang panjangnya Cuma 5 sentimeter? Sehingga mengabaikan prinsip-prinsip dasar menjaga kelestarian alam. Sehingga membiarkan pencemaran lingkungan merambah ke gunung dan hutan. Sehingga merusak citra “pecinta alam” yang sudah ada berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Saya mungkin bukan orang yang suci dalam hal ini, tetapi setidaknya saya dan teman-teman selalu berusaha untuk menjaga kelestarian alam hutan dan gunung yang kami lalui. selain itu, sebagai "pengingat" bahwa jangan sampai karena OKNUM (yang nagkunya) Pecinta Alam, malah merusak citra para sesepuh yang mengenalkan Kelompok Pecinta Alam di Indonesia. terakhir, mungkin kita bersama perlu kembali mengingat sebuah prinsip yang dipegang saat kita ke alam liar, yaitu “Tidak MENINGGALKAN apapun kecuali JEJAK, Tidak MENGAMBIL apapun kecuali FOTO/GAMBAR, dan Tidak MEMBUNUH apapun kecuali WAKTU”.

Salam Lestari...!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun