Mohon tunggu...
Sigith Prabowo
Sigith Prabowo Mohon Tunggu... -

i'm the master of my fate, and i'm the captain of my life [Nelson Mandela]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rang Minang Dahulu dan Sekarang (Sebuah Catatan Dies Natalis ke-37 UKM ITB)

30 April 2012   06:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:56 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_185201" align="alignleft" width="300" caption="Dok. Pribadi"][/caption] Banyak ragamnyo oii budayo datang, budayo kito kambangkan juo...

ambiak nan elok oii jadi pusako, sado nan buruak ondee kito pelokkan....

(banyak ragamnya budaya datang, budaya kita juga dikembangkan. Ambil yang baik jadikan pedoman, semua yang jelek kita perbaiki)

Jika menilik sepotong lirik dari lagu badindin yang biasa menjadi lagu pengiring tari indang ini, maka dapatlah kita melihat pada kenyataan yang ada saat ini. Bagaimana idealnya kita menyeleksi budaya-budaya yang datang kepada kita, tetapi kenyataannya budaya-budaya yang datang tersebut malah menjadi perusak dari moral dan perilaku muda-mudi saat ini karena tidak adanya proses seleksi budaya mana yang sesuai mana yang tidak. terutama muda-mudi minangkabau yang notabene memiliki filosofi “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Jika menilik lagi makna filosofi tersebut, yakni adat itu bersendikan pada syari’at agama, dan syari’at itu berlandaskan kitab Allah (Al-Qur’an), maka runtuhlah semua filosofi ini dengan kondisi muda-mudi minang saat ini.

Banyak dari muda-mudi ranah minang yang tidak lagi memahami makna dari filosofi-filosofi budaya minang. Banyak mereka sudah beralih pada budaya-budaya modern yang tidak sejalan dengan adat maupun agama. Budaya BBM-an, pakaian hot pants, bahasa gaul, sudah menggantikan budaya-budaya asli dari kakek-nenek mereka. Semakin jarang yang memahami budaya mereka sendiri. Mereka lebih memahami budaya korea, jepang, dan barat, daripada budaya asli minangkabau yang harusnya mereka lebih pahami dan mengerti.

Coba deh kita tanya sama anak-anak SMP-SMA di sekitar kita, masihkah mereka mengerti budaya daerah asal mereka? Jika dalam hal ini orang minang, masihkah mereka paham dengan makna dari “kato nan ampek”? saya yakin banyak yang kurang memahaminya. Karena pendidikan budaya sendiripun sudah semakin tersingkirkan oleh pengetahuan umum yang dianggap lebih penting. Bahkan yang terbaru adalah kasus bahasa inggris dijadikan bahasa pengantar di sekolah menggantikan bahasa Indonesia.

Atau mungkin saat kita mengadakan pentas seni di sekolah. Berapa banyak sih murid yang mau dan mampu menampilkan kesenian tradisional Randai, tari piring, tari galombang, tari indang, dan tarian lainnya? Untuk ini pun saya juga kurang yakin. Karena muda-mudi jaman sekarang lebih fasih dalam modern dance, fashion show, atau bermain alat musik modern. Bagaimana nasibnya alat musik tradisional seprti rabab, saluang, atau talempong?

Walaupun begitu, masih banyak juga muda-mudi yang masih memikirkan dan mengembangkan budaya daerahnya. Contohnya saja salah satu unit kegiatan mahasiswa di ITB, Unit Kesenian Minangkabau. Di sini saya melihat para muda-mudi yang tidak hanya belajar untuk mengejar nilai, tetapi juga mengembangkan dan melestarikan budaya minang yang semakin terpinggirkan oleh modernisasi.

Dari pagelaran Dies Natalis mereka yang ke-37, sebuah drama teater yang diangkat dari “kaba”, ditampilkan dengan sesekali diiringi dengan tarian-tarian tradisional. Sungguh sebuah kenyataan yang menakjubkan, di mana orang-orang berpikiran bahwa anak-anak yang masuk ITB adalah para kutubuku. Akan tetapi, para “kutu buku” ini berusaha berbuat lebih dari hanya sekedar menjadi seorang “kutubuku”.

Penampilan apik mereka yang memukau dan dipadukan dengan permainan alat-alat musik tradisional yang mereka mainkan, membuat penonton seakan tersihir. Mungkin bagi bebrapa yang tidak mengerti tentang apa yang mereka tampilkan, akan terkesan membosankan. Akan tetapi, jika memahami lebih dalam, banyak makna dan pelajaran yang bisa diambil dari petatah dan petitih yang disampaikan dalam bentuk pantun pada dialog-dialog drama mereka. Itulah khas nya minangkabau, menyampaikan sebuah pelajaran dalam bentuk kesenian yang indah. Sehingga diharapkan anak-anak muda minang bisa lebih mudah menyerap pelajaran moral tersebut.

Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan, termasuk kategori yang manakah kita? Muda-mudi atau orang tua yang buta akan budaya sendiri, ataukah yang memahami dan melestarikan budaya asli daerah kita?

salam "This is Wonderful Minangkabau"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun