Mohon tunggu...
Muziburrahman Mbozo
Muziburrahman Mbozo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup tanpa tantangan tidak patuh untuk dijalani, layang-layang terbang bukan karena mengikuti arus tapi justru menentangnya. :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karambol: Sungguh Aku Dipuja Layaknya Dewa-Ddwa

11 Februari 2015   04:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku karambol, aku berbentuk seperti meja dengan panjang sisi yang sama. Aku layaknya seperti biliar, namun aku berbeda. Aku mempunyai anak yang berjumlah 20. Anakku itu ku beri nama Cakram. Aku dimainkan dengan jari tangan yang disentilkan pada cakram sehingga mengenai cakram sasaran. Aku mempunyai 4 lubang yang dimana lubang itu untuk memasukkan cakram-cakram yang dipantulkan.
Aku dulu pertama kali dikenalkan di india dan lambat laun aku dikenal seluruh dunia. Bahkan di Indonesia sendiri aku dipuja-puja layaknya dewa-dewa. Aku bagaikan tuhan baru bagi mereka. Aku sungguh beruntung, setiap hari aku dimainkan tanpa mengenal waktu. Setiap hari aku bertemu dengan tangan-tangan baru. Mereka sangat menyayangiku, bahkan anak-anak sangat menyukaiku.
Oh, sungguh beruntungnya diriku. Bahkan mereka lupa dengan tugas mulia sebagai Hamba-Nya. Mereka sungguh sibuk bercinta denganku, hingga suara adzan yang menggema tak mereka hiraukan. Sahabat-sahabatku ini sungguh asik bercengkrama denganku, hingga waktu sholatpun tiba mereka abaikan.

Waktu terus berlalu, hingga haripun mulai gelap. Tapi aku masih tetap dimainkan. Sebenarnya aku ingin istirahat sejenak dan mengingatkan mereka untuk sebentar saja meluangkan waktunya untuk kembali kerumah mereka dan bersiap-siap ke masjid memenuhi panggilan-Nya. Namun apa daya, Rintihanku tak mereka hiraukan. Desahku tak mereka indahkan. Suara adzan yang indah sekalipun mereka tak dengarkan demi bercinta denganku.
Sebenarnya aku ingin berteriak keras, namun yang ku lakukan akan sia-sia. Suara Iblis yang menghalangi telinga mereka begitu indah. Mereka pun terbuai dengan nyanyian indahnya yang menyuruh mereka untuk terus mendekapku. Mereka telah dibuat seolah-olah melihat surga yang indah didepan matanya, sehingga aku terlihat laksana bidadari yang berparas cantik nan indah. Padahal aku sebenarnya hanyalah sepotong kayu yang dibuat tangan manusia.

Oh, beruntungnya diriku. Aku laksana dewa-dewa yang dipuja-puja tiada henti. Mereka memainkanku sesuka hatinya. Iblis pun tertawa melihat kelakuan mereka, bahkan iblis bersorak-sorak gembira atas kemenangannya. Mereka berpesta pora layaknya para militer yang pulang dengan kemenangan dimedan perang. Tapi manusia-manusia itu tidak memahaminya, mereka sungguh sibuk memainkanku. Bahkan mereka tidak malunya berjudi ketika berlomba dihadapanku. Ada yang menang dan ada yang kalah, itulah konsekuensinya. Ada yang senang dengan kemenangannya dan ada pula yang sedih dengan kekalahannya. Mereka yang menang menganggap bahwa merekalah yang terbaik, tapi mereka lupa bahwa uang hasil kemenangannya adalah uang haram. Tapi apa pedulinya mereka dengan uang haram. Halal dan haram sudah tidak ada bedanya bagi mereka. Semuanya sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Bagi yang kalah itu sudah jadi hal biasa, tidak ada yang membuat mereka sadar kecuali semua yang mereka miliki sudah habis.

Oh.. beruntungnya diriku. Manusia-manusia ini selalu memujaku. Tapi ada kesedihan dalam diriku. Aku tak ingin mereka terjerumus dalam kesesatan karena diriku. Inilah rintihanku bagi kalian para pecintaku.

Wahai manusia, kenapa kau lebih mencintaiku dari pada Dia yang menciptakanmu. Bukankah aku hanya sepotong kayu yang dirangkai indah oleh tanganmu sendiri. Lalu kenapa kau lupa dengan Allah yang selalu memberikan kehidupan kepadamu. Bukankah lebih Layak kau memuja Dia jika dibandingkan denganku? Lalu kenapa? kenapa aku lebih kau cintai?
Oh... Manusia. Sungguh celakalah engkau jika kau abaikan panggilan Tuhan mu. Kau lebih senang dekat denganku dibandingan dengan Allah yang maha penyayang. Kenapa kau lakukan itu hanya demi kesenangan sesaat ini. Bukankah kesenangan Akhirat itu abadi? Lalu kenapa kau abaikan itu semua.

Aku senang kau memainkanku setiap waktu, tapi aku lebih senang lagi jika kau lebih dekat dengan-Nya. Aku ingin kau menghabiskan hari-harimu dengan bermunajat pada-Nya. Ku ingin kau lebih mencintai-Nya dibandingkan diriku. Itulah keinginan yang ingin ku sampaikan selama ini.

Surabaya, 10 Februari 2015
Pemuda yang merindukanmu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun