Zaman digital, ya mungkin itu istilah yang tepat tepat untuk menggambarkan bagaimana zaman ini. Kenapa tidak, ya karena pada zaman ini semua hal mulai didigitalisasi. Mulai dari cara bershilaturrohim yang dulu setiap orang harus bertatap muka langsung. Uang yang dulu menggunakan lepengan emas atau perak sekarang ini manjadi hanya sebuah kartu yang biasa orang sebut “unik” (uang eletronik). Bacaan yang sebelumnya berupa tumpukan dan jilidan kertas menjadi hanya sebuah barang “abstrak” dengan sebuah peraltan tertentu untuk membukannya. Ujian masuk dan kelulusan sebuah institusi pun sekarang sudah menggunakan media on-line dan yang paling keren bebarapa waktu sempat ada “kabar burung” bahwa Pemilu pun akan didigitalisasi. Tidak kebayang bagaimana kalau Pemuli pun digital dengan sistem on-line, ya takutnnya kalau pemimnpin yang terpilih nanti ikutan digital. Dan sepertinya ini (Pemilu, red) agak mulai mengarah ke sana, terbukti dengan sikap pemimpin sekarang yang agak digital (kurang tegas).
Sebenarnya digitalisasi tidak harus disikapi dengan pesimis dan skeptis. Karena memang sudah saatnya dan bisa menjadi sebuah alternatif pilihan dengan berbagai efek baik maupun buruknya, tergantung bagaimana subjek dari digitalisasi ini, terbukti banyak manfaat yang ditimbulkan.
Dalam mendigitalkan sesuatu, subjek dari digitalisasi harus benar-benar tahu apa yang dia digitalkan dan tahu bagaimana kondisi dari atmosfir objek digitalisasi, jangan sampai salah langkah. Karena kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Misalnya, dalam sebuah pemilihan pemimpin bisa terjadi penggelembungan suara ketika sistem keamanannya kurang, tidak tercakupnya beberapa daerah yang masih minim tekonolgi baik dari segi SDM maupun sarana dan prasarananya ketika dipaksakan harus dengan digital (pemilu on-line), dan yang paling parah nanti pada hasilnya, bisa saja pemimpin yang terpilh berupa pemimpin digital yang “sendiko dawuh” pada “operatornya”.
Itu tadi salah satu contoh ketika yang kurang pas akan sebuah digitalisasi. Nah, kalau yang pas itu misalnya, on-line shop.
Sekarang ini ketika mau membeli suatu barang kita tidak harus jauh-jauh pergi ke Jogja ketika seseorang ingin menikmati gudeg khas jogja, dan dia tinggal di seberang pulau. Tinggal tanya mbah google dimana bisa pesen gudeg khas jogja kalengan yang delivery order. Ini bisa sangat membantu si penjual yang ingin memasarkan barangnya secara global dan si pembeli yang tidak harus merogoh saku dalam-dalam, karena tidak harus naik kapal atau terbang ke Jogja cuma gara-gara ingin makan gudeg khas jogja. Dan tentunnya transaksi jual beli secara on-line masih ada kekurangan, yaitu masalah kepercayaan. Karena beberapa warga Indonesia masih krisis kepercayaan dan kejujuran.
Sekelompok orang mengatakan bahwa zaman sekarang ini adalah zaman akhir dan itu kurang tepat rasanya. Kalau oleh bilang lebih tepatnya ya zaman akhir yang digital.
Sekelompok orang ini memiliki pandangan bahwa, pada zaman akhir dunia akan mengalami “gonjang ganjing”, ketidak jelasan dan hal-hal lain yang memiliki konotasi agak negatif. Dan hal ini juga benar, terbukti dengan digitalisasi ini, dalam dunia digital ketidakjelasan merupakan sebuah hal yang pasti adanya. Namun ketidak jelasan itu sebenarnya bisa diatasi dengan usaha-usaha yang bisa memperjelas ketidakjelasan tersebut, seperti dengan melakukan sebuah riset yang mendalam terhadap subjek dan objek dari digitalisasi sebelum digitalisasi dilakukan.
Selain masalah digitalisasi, zaman akhir yang gonjang ganjing tidak jelas ini pun memiliki metode-metode yang bisa memperjelas ketidakjelasan yang ada. Kata sekolompok orang di atas, caranya ya dengan memegang teguh prinsip-prinsip kemanusiaan yang benar-benar manusiawi dengan disertai landasan ajaran spiritualitas dan religiusitas.
Dengan dua hal tersebut manusia tidak akan terus-terus berada pada dunia digital dan sesekali keluar, sehingga bisa tahu bagaimana dunia nyata kondisi sebenarnya. Karena dunia nyata itu tidak seindah dunia digital yang bisa diatur sesuka hati karena kita sebagai operatornya. Di dunia nyata kita merupakan objek yang dioperatori oleh Sang Maha Operator yang segala sesuatu ditentukan oleh-Nya.
Meskipun sekrang ini merupakan zaman akhir yang digital, tidak semua hal bisa didigitalisasi. Tidak akan ada “Armageddon” digital. Ketika dunia masa dunia sudah habis, pada saat itulah tidak kita manusia tidak bisa lagi menjadi operator akan sebuah dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H