Selama kurang lebih pembelajaran 2 SKS, saya amati tidak ada sesi khusus bagi para mahasiswa untuk bertanya kepada sang dosen. Pembelajaran lebih condong mengikuti gaya teacher-centered atau berpusat kepada guru/dosen, bukan sebaliknya. Interaksi dosen-mahasiswa selama pembelajaran pun sangat terbatas. Selain itu, positive reinforcement (penguatan positif) berupa constructive feedback (umpan balik konstruktif) dan/atau compliment (pujian) kepada usaha yang telah dilakukan oleh mahasiswa juga cenderung sedikit. Suasana terasa angker dan sunyi serta membuat jemu dan kantuk. Belum lagi ketika kelas dilaksanakan pada siang hari dan kipas angin/AC di kelas sedang rusak. Paket komplit!
Di kelas lain, seorang dosen tampak sedang menerapkan model pembelajaran kooperatif jigsaw. Model pembelajaran ini menerapkan teknik pembelajaran kooperatif berbasis kelompok. Masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab terhadap penguasaan materi belajar spesifik dan dapat berbagi atau mengajarkan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain. Sang dosen tampak aktif ‘melayani mahasiswa’, berkeliling dari satu kelompok ke kelompok yang lain.Â
Sesi tanya jawab juga disediakan bagi mahasiswa yang ingin bertanya. Di ruang yang berbeda, seorang dosen terlihat asyik membersamai para mahasiswa belajar menggunakan Kahoot! dan mentimeter. Dua aplikasi interaktif ini ternyata menarik perhatian mahasiswa – yang merupakan bagian dari Generasi Z atau iGeneration atau Net Generation – dan mampu meningkatkan engagement atau partisipasi aktif mereka selama pembelajaran. Sang dosen juga terbuka dengan kritik dan masukan dari mahasiswa.
Fenomena di atas saya sebut dengan fenomena ‘gelas terisi penuh yang semu’ versus ‘gelas setengah penuh’. Gelas terisi penuh yang semu merupakan cermin dari dosen yang tertutup, berpikiran sempit, antikritik, dan merasa tidak perlu belajar lagi.Â
Sedangkan istilah gelas setengah penuh merujuk kepada dosen yang berpikiran terbuka (open minded), tidak antikritik, selalu merasa ‘haus’ untuk belajar (memiliki ruang karena ‘gelasnya belum penuh’), bahkan tidak malu untuk belajar dari mahasiswa yang diajar, dan tidak segan untuk mengatakan ‘tidak tahu’ apabila benar-benar tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan.Â
Dosen yang merasa seperti ‘gelas setengah penuh’ ini akan memunculkan sikap rendah hati dan terhindar dari arogansi akademik. Sebaliknya, dosen yang merasa seperti ‘gelas yang terisi penuh’ akan cenderung arogan, sewenang-wenang, tidak mau salah dan kalah, serta kebal terhadap masukan.
Fenomena dosen tertutup dan dosen pembelajar ini menurut saya menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan tujuh nilai dasar atau core values Aparatur Sipil Negara (ASN) BerAKHLAK.Â
Adapun ketujuh nilai tersebut adalah (1) Berorientasi pelayanan, (2) Akuntabel, (3) Kompeten, (4) Harmonis, (5) Loyal, (6) Adaptif, dan (7) Kolaboratif. Dosen dengan ‘gelas terisi penuh yang semu’ memiliki tendensi mencederai nilai-nilai dasar ASN BerAKHLAK tersebut.Â
Dosen dengan tipe seperti ini umumnya: (1) tidak memberikan pelayanan yang maksimal kepada mahasiswa atau setengah hati dalam melayani, (2) sewenang-wenang dalam menggunakan posisinya sebagai dosen yang ‘lebih tinggi’ dan ‘lebih berpendidikan’ dari mahasiswa, (3) tidak memiliki rasa ingin belajar karena merasa ‘sudah penuh’, (4) tidak mampu membangun suasana pembelajaran yang ideal dan kondusif, (5) mencari dan membicarakan keburukan orang lain, (6) tidak update dengan perkembangan teknologi pembelajaran terkini, dan (7) enggan bekerja sama dengan orang lain.Â
Walaupun masih sering dijumpai, fenomena dosen seperti ini patut untuk tidak diteladani. Dosen dengan ‘gelas terisi penuh yang semu’ tidak akan mampu memajukan kualitas instansi dan hanya berorientasi kepada kepentingan diri sendiri.
Di sisi lain, dosen dengan tipe pembelajar – yang menganalogikan dirinya seperti ‘gelas setengah penuh’ atau ‘gelas yang tidak terisi penuh’ – cenderung mampu mengimplementasikan nilai-nilai dasar ASN BerAKHLAK dengan lebih baik.Â