Mohon tunggu...
Muhammad Fathin Muyassar
Muhammad Fathin Muyassar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sharia Economic, IPB University

Seseorang yang memiiki ketertarikan di bidang penulisan mengenai ekonomi syariah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Paradoks Indonesia Emas 2045: Antara Euforia dan Distopia Masa Depan

19 Oktober 2024   14:43 Diperbarui: 19 Oktober 2024   15:41 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Shawaiqerz

Paradoks antara visi Indonesia Emas 2045 dan realitas saat ini mencerminkan adanya ketegangan antara optimisme dan tantangan yang nyata. Di satu sisi, ada euforia mengenai potensi besar yang dimiliki Indonesia untuk menjadi negara maju dengan ekonomi kuat dan masyarakat sejahtera. Namun, berbagai indikator sosial, ekonomi, dan lingkungan menunjukkan adanya kesenjangan yang harus segera ditangani. Salah satu masalah utama adalah ketimpangan sosial dan ekonomi. Meskipun rasio Gini Indonesia per Maret 2023 menunjukkan penurunan menjadi 0,382, ketimpangan pendapatan tetap tinggi, terutama antara daerah perkotaan dan pedesaan. Distribusi kekayaan yang timpang, di mana 1% orang terkaya menguasai hampir 50% kekayaan nasional, mengindikasikan bahwa masih ada pekerjaan besar untuk memastikan kesejahteraan yang merata.Kualitas pendidikan juga menjadi faktor yang krusial dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Meskipun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 72,91 pada tahun 2023, kesenjangan antar daerah tetap signifikan, dengan wilayah Indonesia Timur yang tertinggal jauh. Selain itu, skor rendah pada penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, di mana siswa Indonesia berada di bawah rata-rata dalam literasi, sains, dan matematika, menunjukkan bahwa sistem pendidikan belum mampu menghasilkan sumber daya manusia yang kompetitif di tingkat global. Tanpa peningkatan kualitas pendidikan dan akses yang merata, bonus demografi yang diharapkan justru dapat menjadi bumerang jika tidak diikuti dengan peningkatan keterampilan dan penciptaan lapangan kerja yang memadai.

Korupsi yang masih merajalela di berbagai sektor juga menjadi penghalang utama dalam mencapai tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 34 pada tahun 2023, Indonesia berada di peringkat 110 dari 180 negara, menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi isu serius yang menghambat pembangunan. Praktik korupsi yang terjadi di lembaga pemerintahan dan pelayanan publik tidak hanya mencederai kepercayaan masyarakat, tetapi juga berdampak pada efektivitas program-program pembangunan. Reformasi birokrasi dan penegakan hukum yang tegas diperlukan agar Indonesia dapat memperbaiki tata kelolanya dan mencapai visi jangka panjang tersebut.

Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah masalah lingkungan dan perubahan iklim. Meskipun ada penurunan laju deforestasi menjadi 113 ribu hektar pada tahun 2021, praktik pembukaan lahan dan kebakaran hutan masih terjadi, mengancam keberlanjutan ekosistem. Indonesia termasuk dalam 10 negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim menurut Global Climate Risk Index 2021, dengan risiko tinggi menghadapi bencana seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan kebijakan mitigasi perubahan iklim yang efektif harus menjadi prioritas, mengingat dampak lingkungan yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Bonus demografi yang diprediksi mencapai puncaknya pada 2020-2035 merupakan peluang sekaligus tantangan. Saat usia produktif mencapai 70% dari total populasi, potensi pertumbuhan ekonomi akan tinggi jika disertai dengan kebijakan yang tepat dalam bidang pendidikan, pelatihan keterampilan, dan penciptaan lapangan kerja. Namun, jika kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik, bonus demografi justru bisa menjadi beban sosial, mengingat potensi meningkatnya pengangguran dan ketidakstabilan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan yang matang dan kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan untuk memastikan peluang tersebut dapat memberikan hasil positif bagi bangsa.

Selain itu, polarisasi politik dan sosial turut menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi. Menurut laporan Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2022, Indonesia dikategorikan sebagai "demokrasi cacat" dengan skor 6,71, menunjukkan bahwa meskipun ada demokrasi formal, tantangan seperti disinformasi, polarisasi, dan intoleransi masih tinggi. Ketegangan politik yang meningkat dapat mengancam persatuan dan stabilitas sosial yang diperlukan untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang. Menjaga persatuan di tengah keragaman dan membangun kepercayaan sosial menjadi tantangan yang harus dijawab dengan kebijakan yang inklusif dan mendukung kebebasan berekspresi.

Paradoks ini menunjukkan bahwa meskipun optimisme untuk Indonesia Emas 2045 dapat dimengerti, kondisi saat ini belum sepenuhnya mendukung visi tersebut tanpa perubahan signifikan. Data menunjukkan adanya tantangan struktural yang perlu segera ditangani, mulai dari ketimpangan sosial, kualitas pendidikan yang rendah, korupsi, hingga kerusakan lingkungan. Tanpa komitmen yang kuat dan langkah nyata untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, visi besar ini berisiko menjadi fatamorgana yang sulit dicapai. Oleh karena itu, pendekatan yang realistis, berbasis data, dan kolaboratif menjadi kunci untuk menjembatani euforia dengan realitas, demi mewujudkan masa depan yang benar-benar cerah bagi generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun