Mohon tunggu...
Muhammad Muyasir
Muhammad Muyasir Mohon Tunggu... -

Muhammad Muyasir (6 Juni 1989 – Selesai) adalah untuk sementara ini dulu :D

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Untukmu Ibu) Malasku Tangismu!

22 Desember 2013   10:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

234. Untukmu Ibu - Malasku Tangismu!

Bersama ini kusampaikan salam terindah untukmu bidadari duniaku yang dulu kulitmu lembut, kini telah keriput, jalanmu yang dulu tegap, kini mulai membungkuk dan rambutmu yang dulu hitam berkilau, kini telah beruban, namun kasih sayangmu tiada pernah pudar dimakan zaman.

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

Duhai ibuku tercinta, tiada kata yang pantas kuucapkan selain kata maaf karena telah lama pergi meninggalkanmu. Sungguh aku sangat menyesal telah tumbuh dalam rahimmu, hidup dalam kandunganmu selama sembilan bulan yang hanya membuatmu letih, dan aku sangat-sangat menyesal telah engkau lahirkan kemuka bumi ini dengan jeritan dan ritihan kesakitan yang tidak akan pernah aku rasakan. Sungguh aku sangat menyesal atas semua kebaikan yang telah engkau berikan jika akhirnya hidupku hanya membuatmu meneteskan air mata pilu.

Sungguh aku tak pantas menjadi anakmu. Anak yang tak pernah mengerti pentingnya ASI-mu, anak yang tak pernah mengerti betapa terganggunya dirimu kala malam telah larut, namun aku justru menangis karena popokku basah oleh air kencingku. Anak yang tak pernah mengerti jika terkadang air kencingku tak sengaja termakan olehmu, anak yang tak pernah mengerti jika diri yang telah tumbuh dewasa ini, dulu dibesarkan dengan kasih dan sayangmu.

Duhai ibuku yang tegar dan lembut hatinya, sekiranya perpisahan yang terjadi empat tahun yang lalu tidak engkau hadapi dengan lapang dada, tidak dengan cinta dan kasih sayangmu, dan tidak pula denganridhomu, sudahlah pasti hatiku kan membatu seperi laknat seorang Ibu pada si Malin Kundang. Ibu, do’amu menyertaiku di sini, di Ranah Minang!

Ibu, ini pertama kalinya aku menangis saat aku jauh darimu. Ya, sekita empat tahun yang lalu setelah aku meninggalkanmu. Kala itu aku berdiri di tengah lapang, berkipas gemuruh angin dan bernaung awan kelabu. Aku berbaris rapih bersama teman-teman baruku saat mengikuti Program Perkenalan dan Studi Kampus. Eh, bukan program perkenalan dan setudi kampus, kegiatan itu tak layak disebut perkenalan dan setudi kampus, kegiatan itu lebih tepat disebut perpeloncoan! Sebab, aku harus berjalan jongkok mengelilingi lapangan di pagi hari, dipanggang di bawah terik matahari selama tiga jam tanpa diberi air minum dan harus merayap di bawah selangkangan seniorku. Ini bukan perkenalan, bukan pula setudi, tapi ini adalah penyiksaan!

Ibu, sore itu, tepatnya sekitar pukul 16.00, aku begitu letih, tak kuat lagi rasanya untuk berdiri, tapi aku harus tetap berdiri agar tidak diberi hukuman. Aku terus berdiri hingga akhirnya sebuah suara keluar dari toa seniorku.

“Kami mengerti, kalian pasti telah letih dan ingin segera pulang, tapi kalian tidak pernah mengerti jika sore ini ada seseorang yang jauh lebih letih dari kalian! Dia kaki tangan Tuhan, sebab kerelaan Tuhan bergantung pada kerelaannya. Jika dia rela, maka Tuhanpun akan rela. Diamenguras keringat dan membanting tulang demi kalian! Untuk itu, sebelum kalian pulang, pejamkalah mata kalian!”

Kupejamkan mataku bersama angin yang masih terus menderu. Awan kelabu perlahan menghilang dari tatapan mataku. Pikiranku letih, seletih tubuhku. Aku ingin segera pulang.

“Bayangkan wajah ibu kalian! Entah ia sedang sedih atau senang.”

Pikiranku segera berlari mengejar bayanganmu, Ibu. Sejuta kenangan manis dan pahit, sekejap memenuhi pikiranku. Aku menangkap peluh didahimu, namun kerut di pipimu yang perlahan mengembang, membuatku ingin segera memelukmu. Aku rindu dengan pelukanmu, Ibu. Pelukan yang hangatnya sehangat mentari dukha. Pelukan yang membuatku merasa nyaman kala masih bersamamu, Ibu.

“Sore ini kami membawakan sebuah lagu sepesial untuk kalian. Jika kalian tidak tersentuh setelah mendengarkan lagu ini, silahkan pulang dan jangan kembali lagi kesini! Silahkan didengarkan lagu ini penuh dengan ketenangan dan ketulusan!”

Ibu, bulu kuduku tiba-tiba berdiri saat sebuah instrument musik bernada sahdu menggema melawan suara angin yang menderu. Dadaku serasa ditekan, mataku mulai berkaca-kaca dan perlahan-lahan aku menghela nafas panjang. Aku mulai bernyanyi dengan penuh ketenangan, penuh ketulusan dan penuh cinta dan kasih sayang.

Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati

Air matanya berlinang, mas intannya terkenang ….

Air mataku seketika tumpah saat lirik lagu berbau kemerdekaan itu menghiasi daun telingaku. Bayanganmu seakan berputar-putar dikepalaku. Bibirku bergetar mengikuti alunan lagu itu, lagu yang oleh anak muda zaman sekarang dianggap ketinggalan zaman, tidak gaul, tertawa saat mendengarkannya, dan bahakan ada yang alergi dengan lagu itu. Miris!

Ibu, aku mendongak ke atas langit, menikmati lagu itu bersama air mata langit yang turun rintik-rintik. Angin semakin menderu kencang, namun hatiku semakin sahdu. Ibu, sejujurnya aku letih, namun aku sadar engkauyang jauh disana pasti jauh lebih letih dariku. Aku berjanji tak akan membuatmu kecewa! Aku tak akan menyia-nyiakan apa yang telah engkau perjuangankan utukku.

… Oh ibu-ibu pertiwi, kami datang berbakti

Lihatlah putra-putrimu, menggembirakan ibu

Ibu kami tetap cinta, putramu yang setia

Menjaga harta pusaka, untuk nusa dan bangsa ….

Lagu itu perlahan-lahan lenyap bersama derasnya hujan yang membasahi tubuhku. Air mataku masih mengalir bersama air hujan yang melewati pipiku. Aku masih tetap berdiri kuyup menunggu komando dari kakak seniorku.

“Sebelum kalian membuka mata, buatlah satu kalimat motivasi untuk dirimu sendiri yang berkaitan dengan ibu! Ingat dan jagalah selalu motivasi itu!”

Ibu, engkau adalah motivasi terbaik perjuangan hidupku. Kuhujamkan kedalam hatiku sebuah kalimat yang akan terus kujaga hingga aku bisa membahagiakanmu. ‘Malasku tangismu’ itulah kalimat yang terukir dalam hatiku, yang akan selalu menemani perjuanganku kala kegagalan menghampiriku, kala kegembiraan melalikanku dari tanggung jawabku dan kala malas menyerangku tanpa ampun. Akan kukenang selalu dirimu sebagi motivasi hidupku, Ibu.

Ibu, maafkan aku yang telah lama pergi meninggalkanmu. Sejujurnya aku tak pernah mengerti mengapa kita harus berpisah. Jika kita dipisahkan karena kebodohanku, sehingga aku harus mencari ilmu di perantauan, maka aku akan berusaha untuk menjadi pandai agar aku bisa bersamamu lagi. Ibu, jika kita dipisahkan karena kemiskinan, sehingga aku harus mencari karunia Tuhan di tempat lain, maka do’akan aku agar bisa memutus tali kemiskinan dari diri kita. Sekiranya kemiskinan itu berwujud manusia, maka akan aku penggal kepalanya, ibu!

Ibu, ini untuk yang kedua kalinya aku menangis. Setelah hampir empat tahun aku berusaha mendobrak pintu kebodohan dalam diriku, aku terus berusaha untuk mengibarkan bendera malasku tangismu agar aku terus termotivasi untuk mencapai impianku. Semoga impianku yang sederhana ini, mampu mengembangkan senyum di pipimu, Ibu.

Ibu, terimakasih telah merelakanku pergi kemedan juang. Sekiranya kepergianku ini tanpa kerelaan dan do’a darimu, pastilah mimpi ini hanya tinggal impian belaka. Ibu, esok aku akan diwisuda, untuk itu aku sangat mengharapkan kehadiranmu, namun sayang engkau tidak bisa hadir. Aku tahu ini bukan kehendakmu atau kehendak orang lain. Aku sadar ini sudah ketetapan dari Tuhan kita. Ketetapan yang tidak bisa diganggu gugat. Ketetapan yang sudah menjadi bagian dari takdir hidup kita.

Ibu, sejujurnya aku sangat ingin menjengukmu saat engkau sakit, namun engkau melarangku karena saat itu aku sedang ujian akhir semester. Dan hal itu kini menjadi sesuatu yang seharusnya tidak perlu aku sesali. Tapi aku sangat menyelas, karena pada akhirnya, meskipuan aku telah mencapai impianku, aku tak bisa lagi melihatmu.

Ibu, maafkan aku yang tak bisa mengambilkan kain putih untuk menutup mukamu. Aku di sini hanya bisa menangis memanggil namamu, Ibu! Engkau melambai-lambaikan tangamu dalam mimpiku, memanggil namaku dan menyebutku ‘duhai anakku sejantung hati’. Ibu aku tak menyangka jika pertemuan kita dalam mimpi, sebuah pertanda perpisahan. Engkau kan pergi jauh kealam baka meninggalkanku, Ibu.

Ya Allah ya Tuhanku, ampunilah aku dan ampunilah ibuku. Sayangilah ibuku seperti ibu menyayangiku!

Ibu, seusai wisuda nanti aku akan kembali ke Yogyakarta. Aku akan mengunjungi makammu. Aku akan menaburkan bunga di atas pusaranmu. Aku tak mengerti, apakah mengunjungimu dan menaburkan bunga di atas pusaranmu cukup untuk membuatmu bahagia atau tidak, namun setahuku, ada tiga amal perbuatan yang tidak terputus setelah kita meninggal, salah satunya adalah anak sholeh yang selalu mendo’akan kedua orangtuanya.

Ibu, aku akan terus mengibarkan bendera malasku tangismu. Aku akan terus berjuang untuk menjadi anak shaleh yang akan selalu mendo’akanmu, agar engkau bahagia disana, di alam baka. Ibu, kini aku mulai sadar bahwa yang memisahkan kita bukan kebodohan, bukan pendidikan dan bukan pula kemiskinan, tetapi yang memisahkan kita adalah kematian. Semoga kita bias bertemu kembali di alam sana.

Ibu, ini yang kesekian kalinya aku menangis. Kala aku bingung hendak mengirimkan tulisan ini untuk siapa. Aku ingin engkau membacanya, namun apakah itu mungkin? Jika kejujuran hati yang tertulis ini tidak sampai kepadamu, aku ingin semuah ibu yang memiliki cinta dan kasih sayang sepertimu membacanya. Dan aku juga ingin semua manusia yang memiliki cinta dan kasih sayang kepada ibunya membaca tulisan ini. Jika mereka tidak bias larut dalam tulisanku ini, setidaknya mereka tetap ikut mendo’akan ibunya, seperti aku yang selalu berusaha mendo’akanmu, Ibu.

Padang, 21 Desember, 2013

NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakan link akun Fiksiana Commnuity sebagai berikut ini (kli link ini) http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community ( link : https://www.facebook.com/groups/175201439229892/ )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun