Meneropong Katastrofa 1965
Skenario Politik
Kalau kita membicarakan masalah politik, mengingatkan saya pada sebuah kisah tentang masa lalu yang masih berdampak hingga kini. Bukan kisah peperangan dahsyat yang menghancurkan bangunan-bangunan. Juga bukan kisah tentang sihir dunia kegelapan ataupun kisah klasik Mahabarata. Tetapi kisah yang menorehkan lubang hitam dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia. Yaitu cara-cara halus yang dimainkan dengan sangat cantik untuk menjadi penguasa. Secuil kisah dibalik kejayaan AS dan keterpurukan Indonesia.
Ibarat sebuah pertunjukan teater, AS berperan sebagai sutradara yang mampu mengendalikan setiap aktor dalam pertunjukan itu. Seperti menguasai militer angkatan darat Indonesia untuk kemudian dijadikan alat menguasai ekonomi-politik Indonesia. Juga menguasai pemimpin otoriter Indonesia untuk membuka dan menghilangkan jejak.
Peran AS sebagai sutradara menuai keberhasilan setelah agen CIA di Jakarta menyerahkan daftar 5000 nama orang-orang PKI yang harus dibunuh oleh angkatan darat (dalam hal ini eksekutornya RPKAD). Karena setelah itu tragedi yang menjadi lubang hitam bagi sejarah kemanusiaan di Indonesia terjadi. Ratusan ribu warga masyarakat Indonesia diJawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Yogyakarta, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan, dibantai secara masal.
Cribb mengemukakan bahwa satu setengah juta orang lebih (PKI dan para pendukungnya) telah ditangkap oleh tentara-tentara Soeharto yang pada saat itu menjabat Pangkostrad. Mereka digiring dan dinaikan ke truk lalu dibawa ke tempat-tempat pengasingan tanpa makanan dan hanya minum alakadarnya.
Januari 1966, komisi pencari fakta yang ditunjuk Soekarno mengatakan 78.500 orang mati dibunuh. Namun pernyataan itu dibantah oleh Oei Tjoe Tat. Salah satu dari dua orang sipil di dalam komisi itu. Ia menyampaikan kepada Soekarno, bahwa jumlah korban meninggal sebenarnya mendekati angka 500.000 atau 600.000. Pernyataan Oei Tjoe Tat itu didukung oleh hasil penelitian Karnow, seorang wartawan dari Washington Post yang memperkirakan setengah juta orang mati dibunuh. Topping, seorang penyidik dari New York Times pada tahun 1966 juga menyimpulkan bahwa jumlah korban mati seluruhnya bahkan dapat lebih dari setengah juta orang.
Tragedi pelanggaran HAM berat itu terjadi beberapa saat setelah gerakan Militer Angkatan Darat pimpinan Letkol Untung, yang lazim disebut G30S membunuh enam jendral, satu kapten, dan satu putri jendral pada 1 oktober 1965.
Dibalik Skenario itu
Ibarat sebuah lautan, Indonesia adalah lautan zamrud. Sedangkan negara seperti Uni Soviet sebagai blok komunis-sosialis, juga Inggris, Belanda, Jerman, dan AS sebagai blok imperialis dan kolonialis ibarat para penambangnya. Mereka berlomba-lomba mengeruk zamrud-zamrud itu untuk dibawa ke negaranya. Namun ada satu penambang yang memiliki skenario paling matang dan jitu untuk menguasai lautan zamrud itu selama-lamanya. Dialah AS.
Wilardjito, S.Miss, seorang bekas pengawal presiden Soekarno dalam kesaksiannya mengatakan bahwa AS sangat ingin mengelola tambang Umbilin yang kadar batubaranya sudah tua dan mengandung plutonium. Khawatir kalau dikelola sendiri oleh Indonesia akan digunakan sebagai bahan bom nuklir. AS semakin mendekati tetapi Soekarno justru menjawab, “go to hell, with your aids!” Jawaban yang sangat menyakitkan.
Hal-hal yang lebih menyakitkan dan mengagetkan bagi AS juga terjadi setelah itu. Yaitu saat Soekarno mengadakan Konferensi Asia Afrika yang berencana akan mewujudkan perserikatan negara-negara blok ketiga. Jelas bukan blok sosialis dan komunis atau kapitalis dan imperialis. Keadaan semakin memojokkan AS. Sampai-sampai para konsulat AS terpaksa dipulangkan karena tidak mendapat perlindungan keamanan yang cukup. Serangan terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah AS juga sudah sangat mengkhawatirkan. Kaum buruh mengambil alih perkebunan-perkebunan dan sumber-sumber minyak milik perusahaan AS. AS semakin terpojokkan lagi saat pemerintah Indonesia dibawah Soekarno mengancam akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing itu.
Sebuah laporan intelijen tingkat tinggi AS yang disiapkan awal September 1965 mengatakan bahwa “Indonesia dibawah Soekarno dalam hal-hal penting tertentu sudah bertindak seperti sebuah Negara komunis, dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri komunis” Laporan itu memperkirakan bahwa pemerintah Indonesia, dalam waktu dua atau tiga tahun akan sepenuhnya didominasi komunis (dalam hal ini PKI). Itulah yang mendesak AS untuk meruntuhkan PKI secepatnya. AS sudah paham betul bahwa lepasnya Indonesia dari pengaruh mereka akan menjadi kehilangan yang Jauh lebih mahal daripada lepasnya Indocina. AS menganggap Indonesia sebagai domino terbesarnya di Asia Tenggara. Sebagai sumber minyak, timah, dan karet yang melimpah. Sehingga dengan investasi lebih banyak, Indonesia akan menjadi produsen bahan mentah yang lebih besar lagi. Termasuk emas, perak, dan nikel.
Sejenak kita merujuk pada hasil pertemuan antara sekelompok kecil pejabat Departemen Luar Negeri dan Wakil Menteri Luar Negeri akhir Agustus 1965. Pada pertemuan itu, George Ball menegaskan bahwa pengambilalihan kekuasaan oleh sayap kiri di Indonesia sudah dekat. Menurut salah seorang pejabat lain yang hadir, William Bundy, mereka percaya bahwa pengambilalihan kekuasaan seperti itu akan menimbulkan efek menjepit yang sangat kuat bagi kedudukan negeri-negeri non-komunis di Asia Tenggara.
Presiden Soekarno memang terkesan membuka ruang kekuasaan bagi PKI, apalagi beliau sangat dekat dengan Ketua PKI, Aidit. Itulah yang membuat CIA yakin bahwa Soekarno akan membawa rezim komunis di Indonesia. Pernyataan CIA itu bisa dilihat dari dokumen berkategori “special report” 23 Oktober 1964 yang menyebutkan bahwa CIA khawatir Soekarno akan menjadi pemimpin sebuah rezim komunis jika masih hidup beberapa tahun lagi. Kekhawatiran itu terus berlanjut dan tercermin dalam dokumen serupa tertanggal 26 Januari 1965.
Selain itu, AS juga telah mengetahui ambisi PKI yang ingin mengambil alih kekuasaan, karena kesehatan Soekarno sudah mulai memburuk. Kalau beliau tidak meninggal, maka akan lumpuh. Dan dari semakin dekatnya Aidit dengan Soekarno, besar kemungkinan Aidit yang akan menggantikan posisi Soekarno.
Stigmatisasi AS diperparah oleh hasil pemilu pertama Indonesia (1955). PKI ternyata memperoleh jumlah suara terbesar ke-empat. Padahal sudah jelas mereka ditumpas habis-habisan pada peristiwa Madiun 1948. Sungguh diluar dugaan. Hal ini terjadi karena di dalam PKIrakyat merasakan bahwa kepentingan dan cita-cita mereka mendapatkan tempatnya. PKI menekan prinsip elitisme, yakni prinsip mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi dari orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Prinsip elitisme yang juga ditentang oleh Soekarno.
Hal itu memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi AS. Bahwa sebenarnya basis kekuatan PKI adalah rakyat biasa. Sehingga jika AS ingin meruntuhkan PKI, rakyat biasa dan seluruh anggota PKI harus dibuat takut untuk berkata PKI. Satu hal yang perlu Anda ketahui bahwa PKI adalah partai komunis terbesar di Negara non-komunis. Anggota PKI sendiri berjumlah sekitar 3,5 juta orang. Ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani BTI yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita, organisasi penulis dan artis, dan pergerakan sarjananya. Jadi sebenarnya PKI memiliki lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Menciutkan nyali PKI bukan perkara yang mudah ternyata. Terbukti saat Aidit malah menantang balik Hatta yang menuntut PKI diadili setelah pemilu pertama. Jadi satu-satunya cara cepat untuk meruntuhkan PKI sampai ke akar-akarnya adalah dengan membunuh seluruh rakyat biasa yang menjadi basis kekuatannya. AS tidak kuasa menyembunyikan kegembiraannya saat mendengar tragedi itu terjadi. Kesabaran mereka mempersenjatai militer Indonesia hingga 64 juta dollar sejak 1959 pun tidak sia-sia. Seperti yang telah dilansir di laporan Suara Pemuda Indonesia sebelum akhir tahun 1960, bahwa AS telah melengkapi 43 batalion angkatan bersenjata. Lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS. Ratusan perwira angkatan rendah juga dilatih tiap tahun pada 1956-1959.
Akhir dari Skenario
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Soeharto, seorang Pangkostrad yang berani mengambil kebijakan keras dan sadis muncul saat AS sedang mencari sosok pengganti Soekarno yang bisa mereka kendalikan. Mereka berdua (Soeharto dan AS) memiliki keinginan yang harus ditempuh dengan jalan yang sama, yakni meruntuhkan PKI dan menurunkan Soekarno. Disinilah simbiosis mutualisme antara Soeharto dan AS terjadi.
Saya harus akui ini sebagai sebuah skenario yang sangat matang.Soeharto dan AS kemudian memiliki alasan untuk membunuh Soekarno dan PKI setelah mereka memberikan kabar melalui Syam Kamaruzzaman bahwa dewan jendral akan melakukan kudeta terhadap Soekarno. Tanpa melakukan penelitian dan pengkajian informasi terlebih dahulu, mereka (blok Soekarno dan PKI) langsung mengambil tindakan dengan cara memanggil ke-tujuh jendral itu. Tetapi ternyata ke-enam jendral itu dibunuh dan satu berhasil lari.
Sekali lagi kita dipaksa mengakui kecerdikan AS. Syam Kamaruzzaman, Biro Khusus PKI yang memiliki peran sangat vital pada peristiwa itu ternyata telah direkrut menjadi anggota CIA. Hal ini dibuktikan oleh Wilardjito, S.Miss yang mendengar percakapan antara Soekarno dan Aidit. Soekarno mengatakan bahwa Aidit teledor. Kok bisa sampai tidak tahu anggotanya direkrut oleh CIA.
Syam menyuruh Aidit untuk membuat gerakan itu dengan mengatakan bahwa itulah saat yang sangat tepat, karena bantuan dari Cakrabirawa cukup besar. Tetapi ternyata jumlah pasukan bantuan Cakrabirawa tak sebesar yang dikatakan Syam. Dia kemudian juga mengatur segalanya dengan sangat bodoh (tidak membawa makanan, strategi yang semrawut), karena pada waktu itu Aidit melarikan diri dari Jakarta. Alhasil, G30 S gagal. Kegagalan yang menyenangkan AS dan Soeharto.
Peristiwa itu menjadi sangat penting, bukan karena jendral yang mati. Tetapi dampak dari matinya jendral dan gagalnya gerakan itu. Soekarno “mati”. Suatu metode yang memang sangat sistematis untuk menurunkan Soekarno.
Pertama : PKI diposisikan sebagai pelaku “pembantaian” tujuh jendral itu. Kita sebut pembantaian karena memang informasinya didramatisir oleh Soeharto yang dengan mudah berhasil menumpas gerakan itu. Sehingga PKI tak berkutik lagi.
Kedua : Memecah belah PNI menjadi PNI kanan dan PNI kiri. Kekuatan PNI memang sangat besar, terlihat saat mereka menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak. Mengalahkan Masyumi yang mendapatkan bantuan milyaran dana pemilu dari AS.
Dengan runtuhnya PKI dan pecahnya kekuatan PNI. Tidak ada lagi yang bisa menguatkan Soekarno untuk tetap duduk di kursi presiden RI. Turunlah Soekarno pada akhirnya, dan naiklah Soeharto. Betapa bahagianya AS pada waktu itu.
Walaupun AS menyangkal justifikasi dan bukti itu, Joseph Lazarsky, wakil ketua cabang CIA di Jakarta dan Edward Masters, direktur bidang politik kedubes saat itu, menyatakan bahwa CIA memang terlibat. Robert Martens (1990), bekas anggota staff bidang politik kedubes juga mengakui adanya daftar 5000 nama orang-orang PKI yang harus dibunuh itu, dengan mengatakan bahwa daftar itu sangat berguna bagi Angkatan Darat. Tentu saja untuk memudahkan mereka mencari siapa saja pendukung PKI. Daftar itu disusun dengan sangat hati-hati berdasarkan arsip-arsip CIA.
Dubes Marshall Green secara diplomatis juga mengatakan bahwa diamengetahui lebih banyak informasi (tentang PKI) daripada orang-orang Indonesia sendiri.Hal ini membuktikan bahwa besar kemungkinan yang Green maksudkan termasuk daftar nama 5000 orang yang harus dihabisi itu. Fakta ini diperkuat oleh seorang bekas agen CIA lain, Ralph McGehee. Dalam dua karangannya yang terbit di majal
ah The Nation edisi 11 April 1981 dan 24 September 1990, McGehee mengatakan secara gamblang keterlibatan CIA dalam tragedi itu, mulai dari perencanaan pembantaian hingga naiknya Soeharto menjadi presiden. Dengan disensornya karangan McGehee itu oleh CIA setelahnya, sangat membuktikan bahwa CIA memang terlibat.
Melihat semakin jelasnya keterlibatan AS, tak mengherankan jika 2001 lalu CIA dan pemerintah AS bersusah payah menarik kembali publikasi sejumlah dokumen dalam serial Foreign Relations of the United States yang berkaitan dengan keterlibatan itu.
Merefleksi diri
Tragedi pelanggaran HAM besar-besaran ini justru tidak dilakukan langsung oleh asing (AS), melainkan oleh saudara kita sendiri. Walaupun kepentingan asing (AS) sangat dominan. Sekali lagi kita dipaksa untuk menggelengkan kepala. Pengaruh AS dengan sangat mudahmasuk dan merampas potensi bangsa kita. Terlihat jelas sampai sekarang. Dominasi AS di Indonesia masih sangat kuat dalam hal ekonomi. Perusahaan-perusahaan pengelola emas seperti Freeport, Newmont, juga perusahaan-perusahaan minyak seperti McDermott, Chevron menguasai SDA Indonesia. Kita semua tentu tahu bahwa perusahaan-perusahaan AS itu mulai bermunculan dan tumbuh subur saat Soeharto memerintah. Sumber daya alam yang melimpah. Tenaga kerja murah dan loyal. Sungguh betapa senangnya AS dan para pengusahanya.
Soekarno saat itu sebenarnya menyadari pergerakan CIA dan AS. Hal itu terlihat jelas dari upayanya untuk tidak menerima bantuan asing yang disertai pamrih dan menghimbau Angkatan Darat menghentikan serangan terhadap PKI. Tetapi semuanya sia-sia, karena AS sudah berhasil mengambil hati militer Indonesia. Dengan cara memberikan bantuan dana puluhan juta dollar dan melatih para perwira tertinggi militer di AS. Jadi segala usaha yang dilakukan Soekarno tak mampu mencegah terjadinya tragedi itu. Apalagi setelah PKI dan PNI diruntuhkan.
Melihat Pembaharuan, Lebih Dekat
Membuka pemikiran dan ingatan memang menjadi tugas yang harus dipenuhi. Namun, menghidupkan ingatan sosial bukan untuk menaruh dendam dan benci pada kelicikan AS di masa lalu. Tetapi untuk membangun proyek perdamaian dan usaha mencegah terulangnya kekeliruan di masa lalu. Berkembangnya pemerintahan Indonesia membuat tragedi pelanggaran HAM 1965 ini terlihat semakin jelas. Kebebasan pers dan penghangusan buku-buku berlabel G30S/PKI, serta dilegalkannya buku-buku yang menceritakan tragedi ini dari sudut pandang korban, membuka pandangan masyarakat luas. Tentang realita yang selalu berusaha disembunyikan oleh pihak yang merasa sebagai tersangka. Itulah langkah paling efektif yang dilakukan pemerintah kita hingga sekarang.
Setidaknya lebih baik dan efektif dari pada melakukan penyidikan kasus, menemukan bukti, lalu tidak diurus hingga selesai di Mahkamah Konstitusi. Upaya baik yang menjadi tidak berguna. Sama halnya dengan upaya pembentukan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Bisa dibilang niatan yang sangat baik. Tetapi percuma. Membebankan tujuan akhir yang besar, yakni memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, tanpa memberikan kewenangan hukum yang cukup.
Walaupun sudah 46 tahun tragedi ini berlalu, dampak terhadap korbannya masih sangat terasa hingga kini. Siapa korbannya? Ya kita semua. Seluruh warga masyarakat Indonesia. Perekonomian kita yang seharusnya bisa melaju pesat dengan SDA dan SDM yang melimpah, hancur. Hutang negara menggunung. Siapa yang menerima akibatnya? Kita semua. Bahkan hingga sekarang kita masih belum mau dan mampu untuk melepaskan diri dari pengaruh asing.
Memang tidak semua orang menyadari hal itu. Saking halusnya politik yang dimainkan oleh AS. 45 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Freeport untuk merusak bumi Papua dan perekonomian Indonesia. Akankah kita berhenti dalam kediaman?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H