Berbeda dengan ulasan-ulasan saya sebelumnya yang cukup detail dalam memaparkan data-data dan beberapa pembuktian demi sebuah justifikasi yang sederhana, kali ini saya hanya ingin beretorika dengan logika. Tanpa ada latar belakang apa apa selain sebuah kejenuhan pada civil attention gather calon-calon eksekutif pemerintahan.
Ada dua bagian dalam tinjauan kali ini. Pertama tinjauan terhadap mereka yang memiliki latar belakang partai dan kedua mereka yang independen.
…
Setiap partai politik, setidaknya memiliki beberapa kekuatan pendukung utama di belakang mereka. Beberapa yang memiliki peran vital dalam menarik perhatian masyarakat khususnya dalam periode-periode seperti ini diantaranya seperti perusahaan marketing yang loyal dan kreatif, pengusaha yang setia dan selalu siap sedia, serta kyai yang selalu berpidato dihadapan para santri dan orang-orang dalam wilayah kekuasaannya yang berprinsip, kulo nderek mawon.
Partai politik terbentuk bukan secara instan. Apalagi partai-partai yang sudah berusia puluhan tahun. Mereka memiliki sumber daya dan pengalaman yang cukup memadai khususnya seperti tiga hal yang tersebut di atas. Mereka memiliki tradisi masing-masing dalam menentukan setiap langkah pengembangan partai. Jadi jangan dikira besok 2015 partai-partai itu akan diam dan hanya menikmati atau meratapi hasil pemilu, enggak lah. Begitu juga dulu waktu 2010. Ada banyak agenda yang mereka harus laksanakan untuk pemilu periode berikutnya (Jangan dikira pencalonan presiden Jokowi baru terjadi tahun 2014 ini, enggak. Tapi kan kita nggak tahu siapa aja yang bikin plan-nya. Jangan juga dikira Prabowo tidak merencanakan sejak sekitar 12 tahun lalu, dan beberapa contoh lainnya. Percayalah, tidak ada hal besar yang dilakukan tanpa sebuah persiapan yang besar). Entah mau merger ama partai lain karena mungkin hasil pemilu kurang memuaskan, entah mau ngapain lagi nggak tau deh. Yang jelas satu agenda utama ialah memperbaiki sumber daya.
Nah selalu ada setidaknya dua sisi dalam setiap hal. Nggak ada kan benda satu dimensi, kalau pun ada itu pengecualian aja. Tradisi di atas selain membuat sebuah partai kuat, juga secara langsung menghambat setiap tuntutan perubahan. Banyak keputusan yang lebih memberikan dampak negatif. Demokrasi jadi lambat berkembang. Kesalahan para politisi meningkat. Kepercayaan masyarakat menurun. Namun, dari sumber daya itu pula lah partai berusaha mendapatkan anime masyarakat kembali. Maka dari itu terjadilah perang pencitraan dalam periode-periode pemilu. Tapi beda ama perang dunia. Perang pencitraan jauh lebih halus dan tak terlihat namun sangat sistematis dan kompleks. Dari sini kita bisa tahu, tidak ada sesuatu yang instan dan partai-partai dengan tiga sumber daya yang kuat tersebut di atas, akan lebih mudah memenangkan perang.
…
Berbeda dengan calon eksekutif yang independen. Walau pun mereka naik tidak secara instan juga, mereka tetap memiliki sumber daya yang lebih kecil dari mereka yang berasal dari partai. Jadi kalau ada calon independen yang sumber dayanya besar dan bisa memenangkan perang pencitraan, seharusnya kita curiga.
Calon eksekutif yang independen memang memiliki kelebihan seperti tidak terikat dengan tradisi di partai yang saya paparkan di atas, namun kekurangannya juga, sumber daya mereka sedikit sekali. Pengalaman mereka menghadapi hal-hal yang cukup pelik di partai politik juga sangat terbatas. Logikanya, mereka akan mengalami kesulitan ketika menghadapi tradisi yang juga eksis di pemerintahan. Namun sekali lagi, itu masih asumsi logika manusia. Yang jelas jika kita menilik status quo, hamper mustahil calon-calon independen dapat berbicara dalam perang pencitraan.
Artinya apa, ada banyak praktik-praktik diluar perkiraan dan kesadaran kita yang dimainkan oleh pihak-pihak yang mengambil keuntungan dalam sistem demokrasi ini. Jika mindset kita masih berpegang pada hasil pembacaan data pihak-pihak tertentu, maka akan sulit menghilangkan pengaruh sumber daya tersebut dari tubuh calon-calon eksekutif. Kita harus baca sendiri raw datanya atau sebenarnya pendapat dan pendirian kita hanya sedang dikuasai oleh pihak-pihak tertentu.
…
Saya ingin jadi seorang value investor, layaknya cara pandang seorang value investor, saya tidak memandang dari seberapa bagus harga atau citra dari seorang tokoh. Tapi lebih pada nilai intrinsiknya sendiri. Apakah nilai tersebut di bawah harga atau citranya di pasar atau malah lebih di atas. Jadi citra bukan seharusnya menjadi sebuah ukuran bagaimana kita memandang seseorang atau si calon eksekutif. Kita harus lihat sendiri fundamental dari calon tersebut bagaimana. Ingat, kita harus lihat sendiri. Tapi masalahnya nggak semua orang yang bisa lihat tahu bagaimana menganalisa fundamental tersebut. Itu tuntutan kalau mau demokrasi di Negara kita berkembang, ya kita harus belajar buat analisa itu. Pemerintah juga harusnya lebih terbuka untuk data-data yang memang seharusnya diketahui oleh masyarakat, mengingat banyak lembaga penyedia data yang sudah terbeli idealismenya, masak idealisme pemerintah mau terbeli juga kan seharusnya enggak, makanya pemerintah aja.
Ingat, sekali lagi, citra bukan seharusnya menjadi sebuah ukuran bagaimana kita memandang seseorang atau si calon eksekutif, walau pun bukan berarti juga mereka yang nggak dicitrakan itu bagus, enggak, kemungkinan kalau mereka yang kurang pencitraannya itu kompetensinya lebih buruk malah lebih besar. Dan untuk tahu itu, kita analisa sendiri value yang sebenarnya dari calon eksekutif tersebut. Itu kalau kita mau bikin demokrasi di Negara kita berkembang, kalau enggak ya udah, jadi ikan lohan di kali ciliwung aja bro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H