Ini tahun 2024, bukan era tahun 80-an, atau 90-an, dunia sudah berubah. Negara-negara Global South sudah berani lantang mempertanyakan moralitas Negara-Negara Barat. Konflik ekonomi dan politik, terutama perang di Ukraina dan genosida di Palestina, memperlihatkan secara kasat mata bahwa Dunia Barat, yaitu AS dan Sekutunya di Eropa, tidak saja bangkrut secara finansial, tetapi juga bangkrut dari segi moral. Bangkrut moral artinya, jangankan memberikan pendapat, meminjamkannya saja sudah tidak bisa. Kita bisa melihat di berita-berita bagaimana negara-negara Global South mulai tak acuh atas permintaan Amerika dan Sekutunya. Bahkan, dalam beberapa kejadian, menteri luar negeri yang berkunjung ke mereka disambut dengan tidak ramah.
Saya menyayangkan pembuat pidato Presiden Prabowo di Konferensi D-8 yang menggunakan mindset tahuan 90-an yang sudah tidak relevan lagi. Apalagi substansi yang disampaikan sudah sering kita dengar, saking seringnya bila dirumuskan secara matematika adalah: n + 1 kali kita akan masih mendengarnya. Sebuah pernyataan klise. Lagipula, pada kenyataannya negara-negara di Selatan plus Rusia sudah bekerjasama, baik secara regional maupun global, di berbagai bidang tanpa mempedulikan Negara Barat. Kenyataan faktual di lapangan memperlihatkan banyak kemajuan yang sudah dicapai, seperti perdamaian antara Arab Saudi dan Iran, dan tidak sekedar perdamaian bahkan Arab Saudi dalam proses berinvestasi di berbagai bidang di Iran. UEA dan Turki pun merupakan negara yang mempunyai investasi yang besar di Iran. Iran pun mengeluarkan pernyataan kebijakan luar negeri yang ramah bertetangga. Investasi Negara-Negara Teluk sudah ke mana-mana, salah satunya,  lihat saja Afghanistan yang kemajuannya pesat sekali. Ini semua dilakukan tanpa mengikutsertakan Barat. Makin hari makin kuat kekompakan negara-negara Global South, kita bisa melihat  bagaimana organisasi BRICS mulai menyaingi G-7.
Kita harus pandai menterjemahkan atas persitiwa-peristiwa yang terjadi di balik layer. Dalam beberapa video perlawanan yang dirilis Hamas, kadang orang mendengar percakapan dalam Bahasa Turki di latar belakang tayangan. Di balik layar, Iran juga membantu Hamas. Di balik layar, Hezbollah memberitahu Arab Saudi untuk bersiap memulangkan warganya ketika mereka akan memulai konflik dengan Israel, bahkan yang terakhir, konon ada kesepakatan dalam pertemuan BRICS di Rusia untuk menyelesaikan krisis di Suriah dengan menurunkan Bashar al-Assad tanpa pertumpahan darah. Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa di balik layar. Dari pernyataan-pernyataan ekonom-ekonom terkenal seperti Jeffrey Sachs dan lainnya, kita mendapat impresi bahwa pemilik modal global melihat prospek Timur Tengah menjadi pusat finansial dunia. Timur Tengah baru tanpa Israel, dengan ekspetasi Lebanon tanpa Hezbollah, dan negara Palestina tanpa Hamas. Di sisi lain, Arab Saudi mulai memberikan harga mati berdirinya negara Palestina apabila Israel ingin berunding dengannya.
Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa, pernyataan-pernyataan, baik yang tersurat maupun tersirat yang menunjukan perkembangan kerjasama dan solidaritas negara-negara Global South menuju kekuatan ekonomi dan politik yang baru. Saya dapat memahami kekecewaan peserta KTT D-8 mendengar kritik Presiden Prabowo, dan melakukan walk-out. Apalagi, KTT D-8 itu pun merupakan realisasi dari kritik itu. Memang, ada benarnya juga kritik yang disampaikan Presiden Prabowo, konflik di Israel lambat penyelesaiannya karena terkesan masing-masing negara berjalan sendiri-sendiri. Tapi, kita harus ingat juga bahwa Israel adalah negara berkekuatan nuklir, dan keberadaan negara Israel didukung penuh Amerika Serikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H