Mohon tunggu...
Muttia Firdasari
Muttia Firdasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hobi: membaca, olahraga, saya seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dua Tahun Tanpa Keadilan dalam Tragedi Kanjuruhan Pertandingan Sepak Bola Aremania Vs Persebaya

5 November 2024   13:34 Diperbarui: 9 November 2024   08:16 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DUA TAHUN TANPA KEADILAN DALAM TRAGEDI KANJURUHAN PERTANDINGAN SEPAK BOLA AREMANIA Vs PERSEBAYA

                          Oleh: Muttia Firdasari

Seperti yang kita ketahui di dalam dunia persepakbolaan ada yang namanya supporter untuk menyemangati pemain yang akan bertanding, pada tanggal 1 Oktober 2022, sebuah insiden yang fatal terjadi setelah pertandingan Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, kekalahan 2-3 Arema dari Persebaya membuat sekumpulan penonton turun ke dalam lapangan hijau. Kurang lebih 3.000 pendukung Arema memasuki lapangan, dari pihak polisi mengatakan bahwa para pendukung membuat kerusuhan dan menyerang para pemain dan official team sehingga para polisi ingin melindungi para pemain dan menghentikan kerusuhan yang terjadi, justru malah membuat bentrok dengan aparat keamanan. Dengan tidak berfikir panjang akhirnya polisi menembakkan gas air mata yang mengarahkan ke arah tribun  selatan yang menyebabkan para penonton berlari untuk menghindarinya hal ini menimbulkan kerumunan di pintu keluar.

Akibat kejadian tersebut memakan banyak korban dengan jumlah 125 (seratus dua puluh lima) orang suporter Arema Malang meninggal dunia dan 330 (tiga ratus tiga puluh) orang terluka dan gangguan medis seperti sesak nafas dan  dirawat di sejumlah rumah sakit di Malang. Bencana tersebut merupakan bencana paling mematikan kedua dalam sejarah sepak bola diseluruh dunia, dengan demikian bencana ini adalah yang paling mematikan di Indonesia, Asia. Berdasarkan peraturan FIFA Stadium and Security Regulation Pasal 19 menyebutkan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang umtuk mengamankan massa dalam stadion. Bahkan dalam aturan itu juga disebutkan bahwa kedua benda tersebut dilarang dibawa masuk dalam stadion. Paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar  dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernafasan serta iritasi kulit.

Potensi besar kerusuhan pertandingan sepakbola di Indonesia berakibat pada setiap pertandingan harus selalu melibatkan pengamanan dari Kepolisian Republik Indonesia dan dibantu oleh Tentara Nasional Indonesia. Lalu mengapa suatu pertandingan olahraga yang seharusnya memberikan hiburan kepada masyarakat bisa berubah menjadi bahaya. Menurut sosiolog, menjadi supporter telah berkembang menjadi identitas sosial yang membanggakan dan meningkatkan citra diri (Budianto, 2022), masuknya gas air mata ke stadion seyogyanya sudah melanggar keselamatan dan keamanan FIFA pasal 19b. Bisa masuknya gas air mata ke dalam stadion, jelas karena ada kekaliruan dari pihak koordinasi PSSI dengan pihak keamanan. Indosiar dan PT LIB pun kekeh menggelar sepak bola pada malam hari meski muncul rekomendasi dari Polres Malang agar pertandingan di laksanakan pada sore hari.

Dengan demikian saya ingin membahas keadilan dalam tragedi kanjuruhan yang sudah 2 tahun tanpa keadilan. Muncul banyak pertanyaan dari beberapa orang tentang keadilan seperti apa yang diinginkan para keluarga korban tragedi kanjuruhan. Pada intinya, siapa bersalah, dialah yang pantas dihukum. Sebab begitu banyak kesalahan dari beberapa pihak yang terlibat dalam tragedi kanjuruhan. Seperti merujuk pada laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGIPF), PSSI tidak melakukan pengawasan terhadap Match Commisioner, PT LIB tidak memperhatikan jumlah penonton yang melebihi kapasitas, dan polisi melakukan pengerahan kekuatan yang berlebihan dengan menggunakan kekerasan dan menembakkan gas air mata. "Gas air mata dimuntahkan, melumpuhkan, membinasakan, pembantaian anak-anak bangsa, yang datang membawa harap, namun pulang terperangkap dalam lingkaran kejahatan aparat". Begitu bunyi puisi berjudul "Air Mata Ibu Vs Gas Air Mata" karya Sayekti yang dibacakan Jazuli.

Laporan model B atau laporan yang dibuat masyarakat diluar petugas kepolisian yangdiajukan oleh keluaraga korban dihentikan karena dinilai tidak memenuhi unsur pembunuhan. Disisi lain mereka juga menerima intimidasi atau iming-iming agar mereka bugkam, seperti dicelakai, dibunuh, ditawari uang, bahkan diajak nikah. Saat mereka teguh pa tuntutannya agar semua pihak yang terlibat diadili, justru mereka tertekan oleh berbagai macam-macam ancaman. Penonton yang masuk ke lapangan dimungkinkan karena tidak adanya tim yang mengorganisir yang mencegah mereka. Seumpama masuk pun, turnamen yang diorganisir dengan baik, akan ditangani oleh steward dan dikenai hukuman sanksi , bukan dengan kekerasan apalagi berujung menyemprotkan gas air mata yang sudah jelas melanggar regulasi keselamatan dan keamanan FIFA pasal 19b. Pihak kepolisian memang sudah menetapkan 6 tersangka, dengan dilakukan penyidikan terhadap Ahmad Hadian Lukita mantan direktur utama  PT LIB pada waktu pertandingan, dibebaskan karena buktinya tidak mencukupi. Lalu apakah hukuman bagi lima tersangka lainnya mampu memuaskan keluarga korban?, jawabannya: tidak puas, dikarenakan prosesnya tidak terbuka, dan sidang pun dilakukan secara tertutup di Pengadilan Negeri Surabaya bukannya di Malang, lima tersangka yang terjerat  adalah Ketua Panitia Pelaksana Arema FC Abdul Haris, Security Officer Arema FC Suko Sutrisno, Komandan Kompi 1 Brimob Polda Jatim Hasdarmawan, Kepala Satuan Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Bambang Sidik Achmadi, dan Kepala Bagian Operasional Polres Malang Komisaris Wahyu S Pranoto.

Oleh Pengadilan Negeri Surabaya, pada 16 Maret 2023, Abdul Haris dan Hasdarmawan divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan Suko Sutrisno 1 tahun penjara, sedangkan Bambang Sidik dan Wahyu S Pranoto divonis bebas. Namun, Wahyu 2 tahun 6 bulan, dan hukuman Abdul Haris menjadi 2 tahun penjara. Andy Muhammad Rezaldy dari Kontras menilai, secara kasus kanjuruhan sebenarnya mudah diungkap secara tuntas lantaran karakter kasus ini memiliki banyak bukti mulai dari video, foto, CCTV, dan dokumen lain yang menunjukkan secara gamblang pelaku peristiwa itu.

Para terdakwa juga pernah dihadirkan hanya secara daring Pengadilan Negeri Surabaya melarang media menyiarkan jalannya persidangan secara langsung. Keluarga terus melawan segala ancaman dan bujukan di tengah proses pengadilan yang tidak berpihak kepada mereka. Hanya menerima ketidakadilan dan menganggap semua adalah takdir merupakan Upaya pembiaran yang membuka potensi terjadinya tragedi lain. Keadilan bagi keluarga bisa didapatkan seandainya apparat penegak hukum berlaku secara terbuka dan tidak berusaha melindungi para pelaku. Disisi lain Arema FC, PSSI, PT LIB, dan bahkan supporter mengaku bertanggung jawab atas terjadinya tragedy tersebut, sayangnya yang kita lihat justru keadialn menjauhi keluaraga korban. Mereka kehilangan sanak saudara yang tidak bisa ditukar dengan apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun