Tidak lama lagi kita akan memiliki presiden dan wakil presiden baru. Berbagai program yang mereka janjikan semoga terlaksana sebagaimana mestinya. Berhubung background saya hukum, saya lebih menginginkan kriminalisasi yang sering terjadi belakangan ini semestinya mendapat perhatian lebih oleh pemerintahan yang baru. Saya tidak dapat membayangkan kriminalisasi yang begitu menyeramkan kembali dan terus terjadi.
Saya bisa terima apabila objek krimanalisasi tersebut memang terbukti melanggar hukum sesuai pasal yang tertera, namun saat ini yang lagi trend justru para objek tidak terbukti bersalah.
Kita ambil saja salah satu contoh kriminalisasi yang terjadi terhadap para tenaga ahli PLN dimana belakangan ini menimbulkan kontroversial di mata publik. Bagaimana tidak, para tersangka tidak terbukti bersalah sesuai tuntutan primer kejaksaan namun tetap divonis hukuman penjara.
Adapun kasus tersebut berawal dari LSM yang mengadukan PLN telah melakukan tindakan KKN terkait proyek LTE GT Belawan. Jaksa menilai perbuatan para terdakwa telah merugikan negara, dalam hal ini PT PLN Persero, sekitar Rp2.344.777.441.537. Rinciannya, kerugian fisik dalam proyek ini berkisar Rp 337,4 miliar ditambah kerugian dalam bentuk energi yang seharusnya menjadi pendapatan PLN sekitar Rp 2,007 triliun lebih.
Ternyata kerugian negara yang dinyatakan oleh kejaksaan terdapat kejanggalan. Kejaksaan menentukan kerugian negara tersebut berdasarkan hasil audit dari BPKP, sedangkan berdasarkan undang-undang yang berlaku, BPKP tidak berhak melakukan audit terhadap kerugian negara. Hal ini disampaikan oleh mantan Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Pengeluaran Pusat dan Daerah Dani Sudarsono. Ia mengatakan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPKP tidak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menghitung kerugian keuangan negara.
Dalam perkara LTE GT 2.1 dan 2.2, perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP tidak bisa dijadikan landasan investigasi karena tidak menjalankan standar audit, dalam hal ini tidak sesuai SPKN. Dalam perhitungan kerugian negara juga harus bersifat pasti dan nyata.
Sementara, pakar hukum Administrasi Negara Philipus M Hadjon mengatakan, BPKP hanya dapat melakukan pemeriksaan dalam rangka pengawasan internal pemerintah, dan tidak memiliki wewenang untuk melakukan audit terhadap BUMN karena BUMN bukan bagian internal pemerintah. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentangSistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Hal tersebut memang benar adanya. Hakim pun juga ikut menyatakan bahwa para terdakwa tidak terbukti melakukan pelanggaran atas Pasal 2 UU Tipikor. Penegasan tersebut dinyatakan Ketua Majelis Hakim S.B. Hutagalung. Menurut Hutagalung, dakwaan primer Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menyatakan terdakwa melanggar Pasal 2 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Sampai disini saya salut terhadap hakim yang masih menjunjung tinggi nilai keadilan. Namun semua terasa ganjil lagi setelah Majelis Hakim tetap memutus bersalah terdakwa yang dianggap lalai dalam hal pembayaran tahap dua dan tiga kepada Mapna Co. karena tidak melaksanakan formalitas yang diatur. Adapun kelalaian yang dituduhkan merupakan permasalahan bisnis, justru hakim harus memperhatikan hal ini lebih detail dimana PLN juga terbukti telah berupaya maksimal untuk meningkatkan pasokan listrik khususnya di Sumatera Utara.
Terkesan seperti kasus ini memang titipan dan dipaksakan para terdakwa agar bersalah. Hal ini juga mendapat perhatian khusus dari ICW.
Aktivis Indonesia Corruption Watch, Fahmi Badoh menilai pemidanaan para tenaga ahli PLN tersebut akan berdampak buruk terhadap kondisi PLN.Semestinya, para tenaga ahli yang terbukti tidak melanggar pasal 2 UU Tipikor tersebut dilihat sebagai bagian dari upaya positif mereka dalam mengatasi krisis listrik khususnya di Medan, sehingga perlu perlakuan khusus.
Fahmi menjelaskan dalam pengadaan barang dan jasa untuk pelayanan publik perlu dilengkapi dengan landasan hukum yang khusus.
Menurut saya hal ini juga akan menimbulkan perasaan takut dan tidak nyaman bagi publik terkait. Hal ini dikarenakan bisa saja mereka juga akan menjadi objek hukum berikutnya. Secara kriminalisasi bisa menimpa siapa saja apabila pemerintah khususnya tidak mengambil tindakan tegas terhadap kasus serupa.
Semoga kedepannya instansi keadilan di Indonesia lebih fokus mengutamakan keadilan di setiap kasus hukum. Amin.