Kasus Indosat IM2 masih saja terus bergulir. Kasus yang telah masuk ke tingkat Mahkamah Agung (MA) ini akhirnya menempatkan Indar Atmanto, mantan Dirut IM2 sebagai terdakwa dengan kurungan penjara 8 tahun dan denda sebesarRp 300 juta. Namun tak hanya itu, IM2 sendiri selaku perusahaan juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun. Padahal kenyataannya, tidak ada dakwaan terhadap IM2 yang menyatakan jika perusahaan ini merugikan negara. (Baca:http://news.liputan6.com/read/2127003/kerugian-negara-nihil-im2-tak-tepat-bayar-uang-pengganti)
Sedikit merunut ke belakang, kasus IM2 mulai bergulir saat Indar melakukan perjanjian kerja sama dengan Indosat untuk penggunaan bersama frekuensi 2,1 GHz selama periode 2006 sampai 2012. Penggunaan bersama frekuensi tersebut menyebabkan IM2 tak membayar biaya pemakaian frekuensi. Pernyataan "negara merugi sebesar Rp 1,3 triliun" akhirnya muncul dalam hasil audit yang dikeluarkan oleh BPKP terkait hal ini.
Namun dalam prosesnya sendiri, laporan audit BPKP tersebut dicabut melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini pula yang menjadi dasar jika IM2 sendiri tidak dijadikan terdakwa dalam kasus ini. Dan tentu saja, perusahaan ini pun dinilai tidak tepat jika harus membayar uang pengganti seperti yang telah disebutkan oleh MA.
Lantas, alasan apa lagi yang menempatkan IM2 ikut tercoreng dalam kasus ini? Apakah benar kerjasama antara Indosat dan IM2 tidak sesuai dengan prosedural hukum yang berlaku? Padahal, kerjasama keduanya juga berlaku bagi perusahaan lain di industri telekomunikasi, terutama yang bergerak dalam penyediaan jasa internet (internet service provider/ISP). Kalau IM2 kena hukuman, bagaimana dengan perusahaan lain? Bukankah seharusnya perusahaan lain juga bernasib sama dengan IM2?
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) turut menyoroti sejak lama kasus ini. APJII menyatakan jika selama ini model kerjasama yang dilakukan Indosat dan IM2 (dan juga perusahaan ISP lainnya) telah berjalan sesuai dengan UU No.36 Tahun 1999. Dalam pasal 9 tercantum mengenai tata cara kerjasama antara perusahaan penyedia jasa layanan internet yang memakai jaringan dari perusahaan penyelenggara jaringan. (Baca:http://tekno.kompas.com/read/2014/10/31/10503487/Menkominfo.Didesak.Tuntaskan.Kasus.IM2)
====================
Pada akhirnya kasus ini memang perlu dilihat secara menyeluruh. Undang-undang selaku payung hukum bagi para stakeholders, malah menimbulkan polemik tersendiri. Posisi perusahaan ISP pun sepertinya akan terus berada di ujung tanduk. Selama ini mereka patuh terhadap hukum, tapi takut-takut kalau saja perusahaan mereka akhirnya dituduh korupsi. Tentu saja ini bisa mengarah kepada kriminalisasi hukum di Indonesia.
Dampaknya? Semuanya nanti akan menjadi serba tidak jelas. Dan bisa saja, kiamat internet akan melanda Indonesia. Wajar saja kalau begitu, toh payung hukumnya saja tidak ampuh menjadi alat perlindungan bagi para stakeholders yang ada. Kalau sudah begitu bagaimana bisa membawa benefit yang lebih luas kepada masyarakat lebih luas?
Dengan adanya pemerintahan baru, diharapkan kasus-kasus kriminalisasi hukum seperti kasus Indosat-IM2 ini bisa segera dituntaskan. Tentu saja presiden kita, Jokowi harus berani memimpin untuk menilik kembali hukum yang ada. Tak hanya itu saja, Jokowi harus berani mengambil sikap tegas dalam melakukan revolusi mental para penegak hukum. Jangan sampai hal-hal berbau politis, justru menjadi landasan para penegak hukum dalam memutuskan sesuatu.
Kalau tidak ada perubahan dan terus-menerus dikriminalisasi, hukum Indonesia bisa mati.