Mohon tunggu...
Mutmainna burhanuddin
Mutmainna burhanuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dugaan 100 M untuk Buzzer: Efisiensi atau Pemborosan dalam Pengelolaan Dana Publik?

13 Januari 2025   19:19 Diperbarui: 13 Januari 2025   19:19 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pengelolaan dana publik selalu menjadi isu sensitif karena melibatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Namun, alokasi anggaran sebesar Rp100 miliar untuk buzzer atau influencer dalam rangka mendukung program pemerintah menimbulkan kontroversi. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa penggunaan buzzer diperlukan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi publik. Di sisi lain, kritik tajam muncul, mempertanyakan apakah anggaran tersebut benar-benar memberikan manfaat langsung bagi masyarakat, atau justru menjadi pemborosan yang tidak sesuai dengan prioritas.

Menurut laporan yang beredar di media Jawa pos, Pengadaan Aplikasi Information Respond System oleh Mabes TNI AL sempat menuai sorotan. Dalam laman resmi Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) uraian dan spesifikasi pekerjaan dengan anggaran Rp 100 miliar itu diasosiasikan dengan buzzer atau pendengung di jagat maya. Alhasil poin pengadaan itu memantik perhatian.

Pada bagian spesifikasi pekerjaan dituliskan bahwa penggiringan opini-opini ini biasanya dilakukan dengan memanfaatkan akun sosial media dengan menciptakan fenomena word of mouth atau dari mulut ke mulut di media sosial sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secara berulang dengan tujuan untuk menjangkau dan menarik perhatian audiens yang lebih luas. Metode seperti ini juga dikenal dengan sebutan Buzzer.

Secara resmi, TNI AL menjawab informasi pengadaan buzzer tersebut. Mereka menyampaikan bahwa ada kesalahan informasi pada laman tersebut. "Kami ingin mengklarifikasi bahwa terdapat kesalahan pada deskripsi pekerjaan yang menyebutkan bahwa aplikasi tersebut adalah buzzer," ungkap TNI AL. Mereka menyatakan, aplikasi yang dibangun dengan nilai miliaran rupiah itu merupakan aplikasi pengamanan informasi. Anggaran ini digunakan untuk mendukung kampanye program strategis seperti sosialisasi pajak, vaksinasi, dan pembangunan infrastruktur. Namun, kajian dari Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa pengelolaan dana publik di sektor ini sering kali kurang transparan, dengan hasil yang sulit diukur.

Sementara itu, tingkat kemiskinan pada 2023 masih berada di angka 9,4%, dan alokasi untuk pendidikan serta kesehatan masih menghadapi tantangan besar. International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional mengemukakan tingkat pengangguran Indonesia tertinggi di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini dijabarkan melalui laporan World Economic Outlook yang terbit April 2024.

Laporan ini memuat data perkembangan ekonomi secara global pada 196 negara yang tergabung sebagai anggota IMF. Di dalamnya termasuk pembahasan mengenai tenaga kerja dan tingkat pengangguran (unemployment rate), Mengutip World Economic Outlook, dari 279,96 juta penduduk Indonesia, sekitar 5,2 persennya adalah pengangguran. Posisi ini lebih rendah 0,1 persen dari data tahun lalu yakni 5,3 persen. Di bawah Indonesia ada Filipina dengan tingkat pengangguran 5,1 persen. Posisi terakhir ditempati oleh Thailand dengan 1,1 persen dan menjadi negara dengan tingkat pengangguran terendah di dunia.

Tantangan nyata dalam penggunaan anggaran untuk buzzer terletak pada minimnya transparansi dalam mekanisme pengelolaannya. Tidak adanya laporan rinci mengenai alokasi dana ini menimbulkan kecurigaan tentang kemungkinan penyalahgunaan anggaran yang seharusnya dapat digunakan untuk sektor-sektor yang lebih mendesak. Di tengah terbatasnya anggaran yang tersedia untuk sektor esensial seperti kesehatan dan pendidikan, penggunaan dana untuk buzzer semakin dipertanyakan keurgensinya. Banyak pihak merasa bahwa pengeluaran tersebut tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat yang lebih mendesak, sehingga menciptakan kesan bahwa prioritas anggaran kurang tepat sasaran.

Penggunaan buzzer juga menghadirkan efek yang sulit diukur, terutama dalam hal dampak sosial yang ditimbulkan. Dalam banyak kasus, dampaknya terhadap perubahan opini publik atau peningkatan partisipasi masyarakat sulit untuk dievaluasi secara objektif. Selain itu, ada pula masalah etika dalam komunikasi publik, karena penggunaan buzzer kerap kali melibatkan penyampaian pesan yang tidak jujur atau manipulatif. Hal ini menimbulkan dilema etis yang besar, karena dapat merusak integritas informasi yang beredar di masyarakat dan memperburuk kualitas debat publik yang seharusnya bersifat terbuka dan jujur.

Solusi praktis yang dapat diambil untuk mengatasi tantangan terkait penggunaan dana untuk buzzer adalah dengan meningkatkan transparansi anggaran. Pemerintah perlu membuka laporan rinci mengenai penggunaan dana tersebut, termasuk detail kontrak, kinerja, dan dampaknya terhadap masyarakat. Selain itu, pengalihan anggaran dari buzzer ke program-program yang lebih berdampak langsung bagi masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan UMKM, menjadi langkah yang lebih tepat.

Untuk meningkatkan efisiensi, pemerintah juga bisa memanfaatkan kanal komunikasi resmi yang lebih hemat biaya, seperti media sosial milik kementerian atau lembaga, sebagai alternatif yang lebih transparan dan terjangkau. Selain itu, edukasi masyarakat mengenai literasi digital juga menjadi solusi penting agar informasi resmi lebih mudah dipahami dan diakses.

Inspirasi untuk menyelesaikan masalah ini datang dari berbagai pihak. Masyarakat perlu lebih proaktif dalam mengawasi penggunaan anggaran publik dan menyuarakan kebutuhan prioritas secara kolektif. Pemerintah, sebagai pengambil kebijakan, harus mengutamakan kebijakan yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, bukan sekadar untuk pencitraan semata. Media massa dan jurnalis independen memiliki peran penting dalam mengungkap penggunaan anggaran yang tidak transparan, demi meningkatkan akuntabilitas publik. Sementara itu, generasi muda dapat menjadi agen perubahan dengan memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan informasi yang benar dan relevan, sehingga memperkuat upaya membangun masyarakat yang lebih cerdas dan kritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun