Mohon tunggu...
Mutmainna burhanuddin
Mutmainna burhanuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pajak 12% dan Korupsi: Ketika Beban Publik Tidak Diimbangi Dengan Transparansi

13 Januari 2025   18:07 Diperbarui: 13 Januari 2025   19:34 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pajak sebagai tulang punggung keuangan negara yang menjadi sumber utama pendanaan pembangunan. Namun, kenaikan tarif pajak menjadi 12% di tengah isu korupsi yang merajalela menciptakan keresahan publik. Banyak masyarakat merasa terbebani oleh kewajiban pajak, sementara alokasi dan penggunaannya tidak transparan. Kepercayaan publik terhadap pengelolaan pajak menjadi taruhannya. Bagaimana negara dapat memastikan bahwa setiap rupiah yang dibayar rakyat benar-benar kembali dalam bentuk kesejahteraan yang nyata?
Pemerintah Indonesia resmi menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Presiden Prabowo Subianto memutuskan pada 31 Desember 2024 malam bahwa PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang mewah, yakni yang selama ini dipungut pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), "Dengan penerapan kebijakan ini hanya menambah Rp3,2 triliun pada APBN 2025 dari potensi penerimaan Rp75 triliun apabila kenaikan PPN menjadi 12 persen diberlakukan penuh pada semua barang dan jasa," ujar Dasco di Instagram pribadinya @sufmi_dasco, Selasa (31/12).

Langkah ini diambil untuk meningkatkan pendapatan negara di tengah defisit anggaran. Namun, laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2023 menunjukkan adanya potensi kebocoran anggaran hingga Rp50 triliun akibat korupsi, termasuk kasus korupsi sepanjang tahun 2024 Thomas Trikasih Lembong oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI. Thomas tersangkut perkara dugaan tindak pidana korupsi kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) ketika menjabat, erugian Negara sekitar Rp 271 Triliun dalam Korupsi Timah
Salah satu kasus yang mengejutkan publik pada tahun ini yaitu tindak pidana korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Kejaksaan Agung menyebutkan kerugian negara berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencapai sekitar Rp 271-an triliun. Kasus pejabat pajak yang memamerkan gaya hidup mewah menjadi sorotan publik, mempertegas persepsi bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru dikorupsi.

Tantangan nyata dalam sistem perpajakan di Indonesia terletak pada kurangnya transparansi yang membuat masyarakat sulit untuk mendapatkan informasi rinci tentang alokasi dan penggunaan dana pajak. Korupsi struktural juga menjadi masalah besar, dengan sektor perpajakan sering kali menjadi ladang praktik korupsi, baik berupa gratifikasi maupun manipulasi laporan. Beban ekonomi yang semakin berat dirasakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah, terutama dengan adanya kenaikan tarif pajak yang terjadi di tengah tekanan inflasi. Krisis kepercayaan semakin memperburuk situasi, di mana skandal yang melibatkan pejabat pajak membuat masyarakat semakin skeptis terhadap manfaat nyata dari pembayaran pajak yang mereka lakukan.
Solusi praktis untuk mengatasi masalah dalam sistem perpajakan dapat dimulai dengan membangun platform daring yang memungkinkan masyarakat untuk memantau alokasi dan penggunaan dana pajak secara real-time, sehingga transparansi dapat terjaga. Penguatan regulasi dan pengawasan internal di Direktorat Jenderal Pajak juga diperlukan untuk mencegah praktik korupsi yang selama ini merusak sistem. Pemerintah perlu meningkatkan literasi pajak di kalangan masyarakat, agar mereka memahami pentingnya kontribusi pajak dan dapat ikut serta mengawasi penggunaannya.

Penerapan hukuman tegas bagi pelaku korupsi di sektor pajak juga sangat penting untuk memberikan efek jera dan meningkatkan kepercayaan publik. Selain itu, pemberian insentif pajak bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dapat meringankan beban ekonomi mereka, sehingga menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Inspirasi untuk memperbaiki sistem perpajakan datang dari berbagai pihak yang memiliki peran penting. Pemerintah harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengelola dana pajak dengan transparan dan bertanggung jawab, agar masyarakat dapat percaya pada sistem yang ada. Masyarakat juga memiliki peran krusial dalam mengawasi penggunaan pajak melalui partisipasi aktif, seperti melaporkan pelanggaran dan menuntut akuntabilitas.
 
Lembaga anti-korupsi, seperti KPK, harus lebih proaktif dalam mengawasi sektor pajak dan menindak pelanggaran dengan cara yang adil, untuk memastikan integritas sistem perpajakan terjaga. Media massa juga memegang peran penting dalam meningkatkan transparansi, dengan mengungkap kasus korupsi dan mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pajak sebagai kontribusi untuk pembangunan negara. Kenaikan tarif pajak menjadi 12% dapat menjadi peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi hanya jika diimbangi dengan pengelolaan yang transparan dan bebas korupsi. Ketika masyarakat melihat bahwa pajak mereka benar-benar digunakan untuk kepentingan publik, kepercayaan terhadap pemerintah akan tumbuh. Pajak bukan sekadar kewajiban, tetapi investasi masyarakat untuk masa depan negara yang lebih sejahtera dan berkeadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun