[caption id="attachment_401971" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Apa yang akan Anda lakukan saat mengetahui bahwa orang yang Anda kenal sedang mengalami masalah, mungkin dari ‘keluhan terselubung’ di balik status jejaring sosialnya? Akankah Anda mengomentari untuk menunjukkan rasa peduli Anda?
Fakta pahit baru saja membuat saya sadar belakangan ini; orang-orang tidak lagi sepeduli dulu. Kenapa saya berasumsi demikian? Bukan hanya satu atau dua orang yang menyatakan kalimat mengejutkan macam ini pada saya: “Saya enggak bakal menanyakan atau peduli lebih dulu sama orang kalau orangnya tidak memulai duluan.”
Berubah pasif dan kurang peduli? Bisa jadi.
Tapi, apa sebenarnya alasan yang membuat seseorang memutuskan untuk peduli dan pada akhirnya menolong orang lain, mungkin dengan perhatian yang diberikannya? Sebenarnya, perilaku peduli atau caring berbeda dengan perilaku menolong atau dalam istilah Psikologi dikenal dengan perilaku prososial. Untuk bisa mencoba berasumsi menjawab pertanyaan berkurangnya kepedulian, mari kita coba bahas satu per satu.
Theory of Human Caring dibawa oleh seorang dokter bernama Jean Watson setelah 20 tahun berprofesi di dunia keperawatan. Ia mencoba menghubungkan human caring dan perilaku healing untuk bisa meningkatkan kadar kepedulian bagi lingkup keperawatan. Salah satu konsep dasarnya bahwa kepedulian ini berangkat dari Transpersonal Caring, yang artinya seseorang bisa peduli pada orang lain karena adanya keinginan dan kesadaran dari diri sendiri untuk menyelami perasaan (‘soul’) orang lain, bahkan melampaui ego dirinya sendiri. Kuncinya adalah orang yang peduli akan mencoba untuk masuk ke dalam dunia orang lain dan memberikan spirit pada orang tersebut. Being and becoming. Alhasil, orang yang peduli pada orang lain kemudian akan berupaya untuk membuat orang tersebut nyaman dan merasa lebih baik. Apa pun caranya. Termasuk melalui perilaku menolong.
Nah, selanjutnya kita akan masuk ke pembahasan kedua. Helping disebut juga perilaku prososial. Ada banyak hal yang bisa menjelaskan kenapa seseorang menolong orang lain. Salah satunya dijelaskan oleh August Comte, ada dua tipe penolong di dunia ini: Orang yang menolong karena berharap balasan atau pamrih (egoistic helping) dan orang yang menolong tanpa pamrih (altruistic helping). Jadi, memang ada beberapa orang yang menolong karena mereka berpikir akan mendapatkan balasan serupa. Tapi, ada juga kok, yang menolong karena mereka sadar orang lain membutuhkan bantuan mereka; Norm of responsibility. Dan satu lagi nih, ada orang yang menolong karena anggapan bahwa orang yang ditolongnya itu memang pantas mendapatkan bantuan; Norm of justice.
Hal menarik lainnya bahwa sebenarnya mood kita sangat berpengaruh pada keputusan kita untuk menolong, loh. Penelitian yang dilakukan Alice Isen di tahun 1970 mengungkap bahwa mood yang baik membuat seseorang menjadi lebih prososial, jadi lebih ingin menolong orang lain. Penjelasannya sederhana. Ketika mood kita sedang baik, kita cenderung menilai seseorang lebih positif. Alhasil, kita jadi lebih ‘niat’ untuk menolong orang tersebut.
Nah, lain halnya kalau mood kita sedang tidak oke. Apakah lantas perilaku helping kita akan menurun? Jawabannya tergantung. Ketika mood kita sedang tidak bagus, perilaku menolong yang kita lakukan akan sangat berorientasi pada pamrih yang mungkin didapat. Kita akan lebih banyak berpikir, “Kalau saya tolong dia, saya bakal dapat apa?” Karena pada saat itu, pengharapan terhadap reward value dari perilaku menolong kita akan lebih tinggi. Kalau seseorang yang kita bantu tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi kita, maka kita akan cenderung memutuskan untuk tidak menolong.
Jadi, intinya perilaku caring dan helping menurut dua teori di atas didasari oleh dua hal yakni kesadaran untuk mau masuk ke dunia orang lain dan reward value atau penilaian kita terhadap balasan yang mungkin kita dapat. Kalau ternyata belakangan ini orang-orang di sekeliling saya berhenti untuk peduli pada masalah orang lain, saya bisa berasumsi:
Pertama, mood mereka sedang tidak oke sehingga harapan mereka akan balasan pamrih menjadi lebih tinggi. Mungkin, mereka berpikir bahwa menanggapi permasalahan orang, misalnya di jejaring sosial, tidak akan memberikan benefit apa-apa bagi mereka. So, they stopped caring. Kedua, mereka menganggap orang yang sedang bermasalah itu tidak pantas mendapatkan bantuan atau perhatian mereka. Dan ketiga, karena mereka memang tidak ingin masuk ke dunia orang lain. Mungkin dari segi intimacy dan kedekatan.
Bagaimanapun, perilaku peduli dan menolong itu juga bisa didasari kepribadian. Ada orang yang memang dari lahir sudah membawa sifat nurture atau caring, ada juga yang memang sudah cuek-bebek dari sananya. Untuk mengakhiri pembahasan kali ini, saya teringat satu perkataan Winston Churchill:
“We make living by what we get. We make life by what we give.”
Peduli itu enggak bakal bikin kita lebih miskin, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H