Wacana harga rokok yang melambung menjadi Rp 50.000,00 rupiah dicanangkan. Pemerintah masih terus mengkaji terkait dengan kebijakan ini. Ada yang pro ada juga yang kontra. Bahkan bapak dan ibu DPR pun masih berbeda suara. Belum benar-benar punya visi yang sama.
Ironis. Ketika negara-negara lain bisa dengan tegas menolak keberadaan industri batang 9 cm itu, Indonesia justru harus berpikir ulang untuk melakukannya. Kehidupan yang sudah terlanjur ketergantungan nyatanya tidak bisa begitu saja diabaikan. Tercatat tiga konglomerat terkaya di Indonesia adalah pengusaha rokok. Dua diantaranya adalah  kakak beradik Hartono dengan Djarumnya, Susilo Wonowidjojo dengan Gudang Garam yang dimilikinya(Tempo.co.id).Â
Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Bachrul Chairi menyatakan bahwa industri rokok menyumbang 1,66% total Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia, dan devisa negara melalui ekspor ke dunia yang nilainya pada 2013 mencapai US$ 700 juta.Â
Selain itu, industri rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di industri rokok secara langsung dan tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh(detik.com). Jadi harus diakui industri yang membunuh lima juta orang tiap tahunnya itu ternyata menguntungkan Indonesia. Maka perlu disadari, suka tidak suka, mau tidak mau, secara tidak langsung kita, yang bukan perokok, juga ternyata tergantung dengan rokok.
Adanya celah pada masa lalu yang dimanfaatkan ternyata justru membuat Indonesia kewalahan di masa sekarang. Andai saja industri ini sudah dipatahkan sejak awal pasti kita tidak akan sebergantung sekarang. Tapi jika berandai-andai maka tidak akan selesai masalah bukan?
Kita adalah hari ini. Hari yang bisa kita perjuangkan. Jawaban dari judul sekaligus pertanyaan saya di atas tentu bukan pengusaha rokok bukan? Bukan mereka yang memiliki republik ini. Republik yang dibeli dengan hutang ribuan nyawa. Kita adalah pemilik sejati negeri ini. Bukan pengusaha itu yang menentukan masa depan kita. Bahkan bukan juga rokoknya. Benda mati seperti itu memang bisa apa? Kita adalah pemilik sah republik ini. Hari ini dan seterusnya adalah milik kita. Bukan milik pengusaha yang bahkan tidak merokok itu. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah kompak.Â
Serempak. Berseru mengatakan kepada  presiden. Kepada para pengusaha itu. Kepada dunia. Bahwa kami baik-baik saja tanpa benda 9 senti itu. Kami baik-baik saja. Kita harus meyakinkan presiden sebagai kepala pemerintahan kita. Supaya dia tidak ragu mengambil keputusan. Tidak ambang mengambil jalan keluar.
 Dan bukan kompak berseru saja tapi kita juga harus kompak beraksi. Kompak merangkul teman-teman, saudara, keluarga kita yang sudah terjerumus di dalamnya. Di dalam lingkaran industrinya. Pengguna,pekerja atau apapun. Semua tahu bahwa ini bukanlah perkara yang mudah. Tapi Indonesia bukan milik mereka bukan? Maka jangan biarkan masa depan kita, anak cucu kita, terbeli dengan harga sebatang rokok yang mereka punya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H