Mohon tunggu...
Mutia Saka Andini
Mutia Saka Andini Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Mahasiswa Sarjana Akuntansi - NIM 43223010023 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menjadi Sarjana dan Mencipatakan Kebahagiaan Aristotle

10 Oktober 2024   07:59 Diperbarui: 10 Oktober 2024   08:33 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam era sekarang ini mungkin banyak yang mengangap kebahagiaan itu seperti meluangkan waktu bersama teman-teman sebaya, memiliki keluarga yang terbuka, atau juga dapat berlibur di akhir pekan tanpa memikirkan pekerjaan Menjadi sarjana adalah lebih dari sekadar mendapatkan gelar akademik; itu adalah perjalanan menuju pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri dan peran yang dapat Anda berikan untuk masyarakat. Namun, konsep kebahagiaan apa menurut Aristotle? untuk memasuki diskusi tersebut tulisan ini mengangkat permasalahan. Pertama, Kebahagiaan seperti apa menurut Aristotles?. Kedua, Bagaimana Aristotles dapat menerapkan konsep kebahagiaan pada abad-21?. Ketiga, mengapa konsep Aristotles ini dapat menarik bagi manusia pada zaman sekarang? Untuk hasil dan pembahasannya, yuk simak lebih lanjut!

Konsep kebahagiaan seperti apa menurut Aristotles?

1. Eudaimonia

Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian tertinggi dari potensi manusia, yang merupakan tujuan utama dalam hidup manusia. Dia menyebut kebahagiaan "eudaimonia", yang sering diterjemahkan sebagai "kebahagiaan", tetapi lebih tepatnya mengacu pada keadaan kesejahteraan yang optimal. Hampir semua kegiatan menyatakan bahwa tujuan dicapai untuk tujuan lain.

Dalam bagian ini Eudaimonia menyatakan bahwa kebahagiaan tidak dapat didefinisikan melalui kondisi-kondisi subjektif manusia. Namun, jika kebahagiaan didefinisikan sebagai kondisi subjektif, maka akan ada banyak definisi kebahagiaan yang di karenakan setiap orang akan mendefinisikan kebahagiaan dengan cara yang berbeda-beda. Aristotle mengatakan bahwa kehidupan kontemplatif semcacm ini lebih dari sekedar manusia karena ada elemen ketuhanan yang jauh lebih besar daripada susunan alamiah manusia.

Aristotles berpendapat bahwa para dewa paling mencintai manusia yang berfokus pada kecerdasan, pendidikan, dan mempertahankan kecerdasannya. Dewa dianggap paling peduli dengan kecerdasan manusia, yang paling serupa dengan mereka sendiri. Selama bertahun-tahun, banyak orang menolak ajaran eudaimonisme Aristotles. Namun, pada kenyataannya, mereka yang menentangnya juga menganutnya dalam hidup mereka. Akibatnya, keyakinan Aristotles tentang eudaimonia diakui tidak sepenuhnya sesuai dengan dunia modern.

2. Kebahagiaan menurut Harari

Harari mengatakan bahwa ada tiga cara untuk menjelaskan apa itu kebahagiaan. Pertama, kebahagiaan tidak begitu bergantung pada kondisi objektif, melainkan pada ekspetasi manusia. Saat kondisi objektif meningkat, ekspektasi akan meningkat dan upaya untuk memperbaiki realitas akan meningkat. Kedua, ekspektasi dan kebahagiaan tidak ditentukan oleh kondisi objektif lingkungan. Sistem biokimia manusia menentukan ekspektasi dan kebahagiaan dengan menggunakan kebahagiaan sebagai alat untuk bertahan dan mempertahankan manusia. Ketiga, manusia tidak memahami apa yan dimaksud dengan kebahagiaan. Ia berusaha mendefinisikannya dari zaman ke zaman dengan berbagai pendekatan. Akan tetapi, tidak ada definisi yang cukup universal untuk menjelaskan bentuk kebahagiaan.

Harari juga menggambarkan bahwa manusia sesungguhnya tidak mengetahui kebenaran tentang diri mereka sendiri. Oleh karena itu, manusia perlu terlebih dahulu mengenali kebenaran tentang dirinya dan menemukan nilai-nilai yang sungguh bermakna dalam dirinya, bukan sekedar hasil konstruksi ideologis ataupun delusi komunal.

3. Titik Pertemuan

Relevansi konsep kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia sudah dibuktikan memlaui redefiniis konsep kebahagiaan para ahli teologi, filsafat, futuroloi dan bahkan bidang-bidang ilmu natural. Kebahagiaan sebagai tujuan senantiasa relevan. Akan tetapi, cara yang ditawarkan tidak lagi relevan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun