Oleh: Syamsul Yakin
Dosen Retorika dan Mutiara Zulfa Lathifah Mahasiswa UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta
Secara umum, sasaran retorika dakwah adalah manusia, baik yang beragama Islam, kafir, maupun munafik. Pada awal Islam, Nabi Muhammad berdakwah berdasarkan perintah Allah yang terdapat dalam al-Qur'an. Untuk memahami peta sasaran dakwah retorika, kita dapat merujuk pada respons manusia terhadap al-Qur'an.
Ayat yang menunjukkan respons manusia terhadap al-Qur'an terdapat dalam QS. Fathir/35: 32 yang berbunyi, "Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah."
Berdasarkan ayat ini, kelompok pertama merespons turunnya al-Qur'an dengan cara menganiaya diri sendiri (zalim linafsih). Frasa ini, menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, merujuk pada orang yang lalai terhadap sebagian perintah yang diwajibkan dan malah melakukan sebagian larangan yang diharamkan.
Contohnya, ketika al-Qur'an memerintahkan menyembah Allah, mereka malah menyembah berhala. Ketika al-Qur'an mewajibkan membayar zakat, mereka mengabaikannya. Namun, ketika al-Qur'an memerintahkan berbuat baik, mereka malah melakukan yang munkar. Berdasarkan respons mereka terhadap turunnya al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa mereka adalah kalangan kafir, yang menjadi sasaran pertama retorika dakwah.
Kelompok kedua merespons secara setengah-setengah atau pertengahan, yakni bimbang akan kebenaran al-Qur'an. Menurut pengarang kitab Tafsir Jalalain, mereka mengamalkannya separuh-separuh. Padahal Allah menegaskan dalam QS. al-Baqarah/2: 23, "Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Qur'an itu."
Karakter lain dari kelompok kedua ini, menurut Ibnu Katsir, adalah mereka yang menunaikan perintah yang diwajibkan dan meninggalkan larangan yang diharamkan, namun terkadang tidak mengerjakan sebagian dari perbuatan yang disunahkan dan malah mengerjakan sebagian dari perbuatan yang dimakruhkan. Secara kontekstual, ini adalah kondisi psikologis orang-orang munafik. Sikap ini yang paling ditakutkan menimpa umat Nabi, terutama ketika ada sekelompok orang yang mengaku beriman dan ikut Perang Badar, namun ketika musuh datang mereka pulang. Kaum munafik adalah sasaran kedua retorika dakwah.
Kelompok ketiga merespons dengan bersegera berbuat kebaikan (sabiq bil-khairat). Sikap kelompok ini sejalan dengan perintah Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 148, "Maka berlomba-lombalah (dalam berbuat) kebaikan." Frasa "berlomba-lomba (dalam berbuat) kebaikan" berarti segera menaati dan menerimanya, menurut pengarang kitab Tafsir Jalalain. Inilah sasaran ketiga retorika dakwah.
Itulah tiga sasaran retorika dakwah yang didasarkan pada respons mereka terhadap turunnya al-Qur'an. Yang terakhir adalah yang terbaik, karena mereka diharapkan dapat melanjutkan gerakan dakwah secara konsisten dan berkelanjutan.
Selain itu, sasaran retorika dakwah juga dapat dipetakan dari sisi pelapisan sosial, yang mencakup kelas atas secara pendidikan dan ekonomi, kelas menengah, dan kelas bawah. Lebih rinci lagi, sasaran retorika dakwah bisa dipetakan berdasarkan jenis kelamin, geografis, etnis, dan lain-lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H