Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meminum Air Darah Ibu

22 Desember 2022   17:00 Diperbarui: 22 Desember 2022   17:03 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kakiku menjadi terpaku. Ada perasaan enggan untuk menghampirinya. Ternyata ia merasakan kehadiranku. Matanya terlihat sangat sayu.

"Kau takut? Bawalah bukumu dan kerjakan di sini." Lagi. Aku menurutinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Di rumah-di ruang yang sama-di waktu yang sama. Itulah kami. Aku tidak mengerti, oh-atau lebih tepatnya mungkin aku belum mengerti, atau aku bahkan tidak mengerti sama sekali. Kecanggungan ini seperti gunung es yang sudah lama sekali membeku. Apakah akan cair dengan sendirinya, atau kami berdua menikmati dinginya suasana.

Ini tidak seperti serial film yang ku tonton setiap Minggu sore. Serial itu mengisahkan seorang ibu peri yang lembut kepada anak-anaknya. Dan anak-anak juga tidak takut menceritakan apa saja pada ibu peri tersebut.

PR matematiku sudah selesai. Aku mengerjakannya dengan sungguh hingga tertidur di sofa beludru coklat kami. Di luar sudah turun hujan. Menyeruakkan hawan dingin, tetapi aku ingat tubuhku tidak sedingin itu. Sebab, tubuhku terselimuti motif bergambar beruang, dan kedua tangan itu mendekap di sampingku.

***

Orang mengatakan aku sudah beranjak dewasa. Mungkin benar-karena aku sudah tidak takut lagi pada petir, dan sudah tidak meringkung di ketiaknya saat kedinginan. Hanya saja, percakapan itu masih terjadi sangat jarang. Sama seperti biasanya. Namun, saat merayakan pergantian usiaku yang ke tujuh belas-kami berdua meniup lilin bersamaan. Melantunkan doa. Aku mencium tangannya, dan ia memelukku.

Aliran darahku mengalir hangat dan cepat. Hingga di pertengahan tahun, darah itu seakan mendidih. Aku ingin melanjutkan studiku dalam melukis. Aku ingin menjadi seorang seniman. Itu terpatri sejak usiaku 6 tahun. Ketika sekolah mengajak karya wisata dan aku melihat lukisan indah lengkap dengan filosofinya. Dilukis oleh pelukis perempuan kenamaan, berkebangsaan Portugis. Oh-jauh sebelum itu, aku suka menorehkan imajinasiku pada sampul-sampul buku.

"Mau menghidupi dirimu dengan barang-barang itu?"

"Barang apa? Itu namanya lukisan. Aku yang melukisnya."

"Ya. Tapi, penghasilannya tidak akan tetap. Berbeda jika kamu bekerja di sana."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun