Mohon tunggu...
Mutiara Tyas Kingkin
Mutiara Tyas Kingkin Mohon Tunggu... Freelancer - Educators

These are my collection of words to share with you. Hopefully, it will bring a good vibe to the readers.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meminum Air Darah Ibu

22 Desember 2022   17:00 Diperbarui: 22 Desember 2022   17:03 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Aku mematut diri di hadapan cermin kuno, dengan ornamen bergaya batik kawung. Bola mataku bersitatap. Binarnya redup, di barengi semburat lampu rias di ujung meja. Tulang pipi yang terlihat tegas, membuat orang-orang mengatakan kau mirip sekali dengannya. Mungkin juga dalam parafrase lain, ini sih Wulandari banget. Sifatmu sama persis denganya, sedikit keras kepala. 

Terlihat-lengkung garis bibir dengan liptstik yang masih menempel, barang pudar sedikit karena dipakai beraktivitas seharian. Mengulum senyum. Ada lengsung pipi di sebelah kiri-tepatnya di bawah bibir. Ini sih keturunan Wulandari. Lesung pipinya, hanya ia lebih cekung sedikit. 

Banyak kemiripan di antara kami. Mungkin yang tidak pernah dibilang mirip, hanya porsi tubuh. Mungkin. Yang disebut-sebut memiliki bentuk tubuh lebih ramping. Aku berisi dan tinggi. Tapi, jauh dari itu. Mereka lebih suka menyebut kami mirip secara sifat. Anehnya, kemiripan yang mereka katakan, selalu bertentangan dengan kami berdua.

Kalau saja aku membencinya, tetapi bagaimana bisa aku membenci hal yang tidak aku suka dari dirinya, sedangkan ada hal yang menaut pada diriku tentangnya?

Ah-kalau saja aku mencintainya, tetapi bagaimana bisa aku mencintai hal yang aku sendiri tidak pernah paham tentang itu darinya?

***

Sore itu seperti biasa, saat aku sudah selesai mencopot sepatu dan kaos kakiku-menaruhnya di rak di sebelah tumpukan kardus. Aku berjalan menghampiri meja makan. Tidak ada yang spesial, seperti biasanya-ada buah mangga yang sudah dikupas dan dipotong rapi. Terdengar aneh memang. Bagaimana mungkin memotong mangga serapi itu. Bahkan sama sekali tidak pernah kursus memasak. Tapi, ia melakukannya dengan sempurna.

"Bersihkan kakimu lebih dulu. Lalu, kau baru boleh mendekat ke meja makan."

Aku menurutinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Namun, seleraku untuk memakan mangga sedikit menurun-meski aku akan tetap memakannya. Itulah bila kami sedang di rumah. Di ruang yang sama. Di waktu yang sama.

Pernah suatu ketika, di luar geludhuk sedang nyaring-nyaringnya. Aku yang tengah mengerjakan PR matematika, mendadak gemetar. Angin seperti ditiup dua raksasa di luar. Aku berjalan keluar. Melihat ia, sedang duduk di mesin jahit. Kedua tangan dan pikirannya berfokus pada kain, yang dari kejauhan bermotif burung dan bunga. Aku sedikit lupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun