Pengelolaan kelas yang efektif dan efisien merupakan syarat bagi guru agar proses pembelajaran menjadi maksimal. Firanti et al. (2022) mengemukakan "pengelolaan kelas adalah bentuk usaha yang dilakukan oleh guru, meliputi merencanakan, mengatur, dan mengoptimalkan berbagai sumber, bahan, serta sarana pembelajaran yang ada di kelas dengan tujuan menciptakan kegiatan pembelajaran yang efektif dan berkualitas bagi siswa, serta terlaksananya kegiatan belajar yang diharapkan". Mintarsih (2017) mengemukakan "pembelajaran di sekolah inklusif, dimana di kelas tersebut terdapat anak berkebutuhan khusus, menuntut perubahan dan penyesuaian oleh guru agar tidak lagi berorientasi klasikal, namun menyesuaikan pada kebutuhan siswa". Mahmudah (2016) mengemukakan "dalam sekolah inklusi, bukan peserta didik yang menyesuaikan diri dengan manajemen atau pengaturan yang ada di sekolah, namun sekolah lah yang menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik". Hisbollah et al. (2023) mengemukakan "salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan inklusif adalah sistem pengelolaan kelas yang akan memengaruhi proses pembelajaran, terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Tujuan dari sistem pengelolaan kelas adalah untuk mempermudah guru dalam melaksanakan dan mengatur pelaksanaan pembelajaran di kelas agar efektif dan efisien". Dalam kelas inklusif, kemampuan yang dimiliki siswa reguler dengan siswa ABK memiliki perbedaan, sehingga pengelolaan pembelajaran juga harus dilakukan berbeda, menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi siswa. (Mulyadi, 2022) mengemukakan "guru harus dapat mengenali dan mengidentifikasi berbagai siswa dan kenadala yang dihadapi agar dapat mudah dalam melaksanakan pembelajaran di kela, terutama di kelas inklusi, dimana terdapat siswa dengan kebutuhan khusus di dalamnya". Pembelajaran bagi siswa ABK perlu lebih disederhanakan agar lebih bermakna dan dapat dipahami dengan baik oleh siswa ABK. Oleh karena itu, seluruh elemen sekolah perlu bekerja sama dan berkolaborasi untuk menerapkan pendidikan inklusif di sekolah.
Hamidaturrohmah et al. (2023) mengemukakan terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan ketika mengelola kelas inklusif, diantaranya.
1. Faktor Mobilitas
Yaitu berkaitan dengan mobilitas, dimana kelas harus aman untuk seluruh siswa tanpa terkecuali. Selain itu, sarana dan prasarana harus aksesibel (memberi kemudahan) untuk melakukan mobilitas (bergerak). Salah satu faktor mobilitas di kelas yang perlu diperhatikan oleh guru yaitu pengaturan tempat duduk. Pengaturan tempat duduk sangat memengaruhi kegiatan atau proses belajar-mengajar. Khususnya, bagi siswa berkebutuhan khusus yang memerlukan pengawasan lebih dari guru. Firanti et al. (2022) mengemukakan "pengaturan tempat duduk bertujuan untuk meningkatkan interaksi antara guru dan siswa, sehingga guru dapat mengawasi dan mengontrol perilaku siswa dengan tujuan agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan lancar, tanpa hambatan". Wawancara yang dilakukan oleh Firanti et al. (2022) kepada salah satu wali kelas SDN 1 Wage mengungkapkan "anak berkebutuhan khusus, paling tidak duduknya harus berdampingan dengan guru, apabila ada pedampingnya, bersama pendamping. Namun, apabila tidak ada pendamping, harus berdekatan dengan guru yang mengajar".
- Pengaturan tempat duduk yang baik, yaitu sebagai berikut:
- siswa yang memiliki masalah penglihatan duduk di dekat papan tulis;
- siswa yang memiliki hambatan pendengaran duduk di baris depan agar mudah melihat dan membaca gerak bibir guru;
- siswa yang memiliki hambatan gerak duduk di baris pinggir dekat dengan pintu agar mudah keluar atau masuk kelas dan mudah meletakkan tongkat atau kursi roda.
Firanti et al. (2022) mengemukakan "pengaturan tempat duduk bertujuan untuk meningkatkan interaksi antara guru dan siswa, sehingga guru dapat mengawasi dan mengontrol perilaku siswa dengan tujuan agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan lancar, tanpa hambatan". Oleh karena itu, pengaturan tempat duduk sangat memengaruhi kegiatan atau proses belajar-mengajar. Khususnya, bagi siswa berkebutuhan khusus yang memerlukan pengawasan lebih dari guru. Wawancara yang dilakukan oleh Firanti et al. (2022) kepada salah satu wali kelas SDN 1 Wage mengungkapkan "anak berkebutuhan khusus, paling tidak duduknya harus berdampingan dengan guru, apabila ada pendampingnya, bersama pendamping. Namun, apabila tidak ada pendamping, harus berdekatan dengan guru yang mengajar".
Pada aspek kondisi fisik kelas, terdapat enam aspek meliputi keindahan, kenyamanan, sarana dan prasarana, aksesibilitas dan visibilitas. Winaputra (dalam Jannah, 2018) mengemukakan beberapa prinsip dalam penataan lingkungan fisik kelas, meliputi:
- visibility atau keluasan pandangan dengan menempatkan dan menata barang-barang yang tidak menghalangi pandangan guru serta peserta didik ketika proses pembelajaran;
- accessibility atau kemudahan peserta didik dalam menjangkau alat dan sumber belajar;
- flexibility atau keluwesan, yaitu barang-barang mudah ditata, dipindahkan, dan disesuaikan dengan kegiatan pembelajaran, seperti penataan tempat duduk dapat diubah-ubah berdasarkan kebutuhan pembelajaran;
- kenyamanan, seperti temperatur ruangan dan cahaya yang baik, suara tidak bising, dan kelas yang tidak padat;
- keindahan, yaitu penataan ruang kelas yang menyenangkan dan kondusif.
2. Faktor Interaksi Teman Sekelas
Guru harus mendorong dan merangsang siswa lain untuk mendukung siswa berkebutuhan khusus di kelas agar aktif berpartisipasi di kelas. Selain itu, guru juga perlu bekerja sama dengan orang tua untuk menciptakan kelas yang lebih hidup, mengembangkan interaksi antar teman, diskusi dengan siswa, orang tua dan keluarga agar mereka membantu mengembangkan kelas yang inklusif dan dinamis. Mintarsih (2017) mengemukakan "implementasi pendidikan inklusif menuntut penyelenggaraan sekolah yang ramah anak, kelas yang tidak diskriminatif, dan adanya pengakuan serta penghargaan terhadap semua hak anak".
Guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan inklusi dan memiliki peran penting dalam mengayomi siswa berkebutuhan khusus di kelas. Maka dari itu, guru perlu menumbuhkan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan dalam mengelola kelas inklusi. Pandangan guru terhadap pendidikan inklusi menjadi dasar bagaimana guru tersebut sadar akan adanya perbedaan kemampuan diantara siswa yang diajarnya di kelas. Untuk dapat memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan dalam mengajar siswa berkebutuhan khusus, guru dapat mengikuti pelatihan-pelatihan mengenai pendidikan inklusi. Selain itu, untuk membantu guru dalam menyusun kurikulum yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan individual peserta didik, maka guru dapat mengikuti pelatihan khusus yang diberikan kepada guru. Edward et al. (2018) mengemukakan bahwa "pelatihan dapat membantu guru dalam memahami mengenai proses penyusunan perangkat pembelajaran, sehingga proses pembelajaran inklusi dapat dilakukan oleh guru sesuai dengan kebutuhan siswa ABK". Pelatihan yang diberikan harus mampu mendorong guru untuk berinovasi dalam proses penyampaian pelajaran. Rusmono (2020) mengemukakan "pelatihan merupakan salah satu bentuk optimalisasi lingkungan belajar inklusi, dimana guru akan diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai cara merancang pembelajaran inklusi". Â Endriani & Nuraeni (2023) "pelatihan dalam menangani siswa berkebutuhan khusus bagi guru dapat membantu guru mengenali siswa berkebutuhan khusus dengan beragam karakteristiknya, seperti kelainan fisik, emosional, mental, sosial, hambatan dalam perkembangan dan pembelajaran, serta cara menanganinya, kategori dan karakteristik siswa berkebutuhan khusus serta cara belajarnya, pengelolaan, pelaksanaan pembelajaran, serta evaluasi perkembangan belajar siswa berkebutuhan khusus di kelas inklusif". Andriany et al. (2023) mengemukakan "tujuan pelatihan menangani dan menyelenggarakan pendidikan inklusif bagi guru adalah agar guru dapat memahami dan mampu membedakan berbagai jenis gangguan perkembangan dan karakteristik khusus yang dialami siswa berkebutuhan khusus, mempu membuat program pembelajaran yang efektif bagi siswa berkebutuhan khusus, memiliki kompetensi dalam menyusun, mengembangkan, dan menerapkan program pembelajaran yang sesuai dengan kondisi khusus siswa berkebutuhan khusus di sekolah". Sehingga, melalui pelatihan, diharapkan guru dapat mengembangkan profesionalitasnya, meningkatkan kompetensi, keahlian dan keterampilannya dalam mengelola kelas inklusi.
Salah satu pelatihan yang dapat diberikan kepada guru adalah pelatihan co-teaching. Co-teaching adalah metode mengajar dua guru dalam satu kelas. Co-teaching dapat mengurangi beban guru di kelas karena pembelajaran dilaksanakan oleh dua guru. Co-teaching juga dapat memberikan pengalaman lebih dalam mengajar dari menghadapi tantangan yang muncul, seperti manajamen waktu dan ketidakcocokan antara pasangan guru. Sangat penting bagi pasangan guru untuk membangun komunikasi yang baik dengan rekannya agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Jika guru yang mengajar dapat bekerja sama dengan baik, maka beban mengajar yang dirasakan akan berkurang. Selain pelatihan mengenai co-teaching, guru juga dapat mengikuti pelatihan LIRP (Lingkungan Inklusi Ramah Pembelajaran) yang melatih guru untuk menumbuhkan lingkungan belajar yang nyaman, aman dan sehat bagi siswa reguler dan berkebutuhan khusus.
Referensi: