Bisa jadi, masyarakat yang menonton tak punya pilihan akibat produksi sinetron yang itu-itu aja. Mudahnya, daripada gak ada hiburan, mending nonton sinetron. Konfliknya banyak, bikin rame.Â
Setidaknya, itu yang ibu dan mbah saya pikirkan tiap menonton sinetron di TV. Susah sekali mau mengganti channel yang lain. Harus war remote dahulu. Btw, kalau sekarang udah gak punya TV, jadi gak war lagi hahaha.Â
Bisakah Indonesia membuat film seperti Exhuma?Â
Ketika bicara film horor, saya jadi teringat film asal Korea Selatan berjudul Exhuma. Sampai tanggal 25 Maret 2024 lalu, tercatat penontonnya telah mencapai angka 10 juta.Â
Banyak netizen memberi testimoni kalau Exhuma punya cerita menarik, cinematik apik dan akting yang ciamik. Jelas sih, soalnya para aktor dan aktris yang berperan, dikenal punya skill akting mumpuni.Â
Melihat respon positif terhadap film Exhuma, saya jadi berpikir, mengapa produser dan sutradara Indonesia tak tertarik mengangkat mengangkat tema okultisme.Â
Namun dieksekusi dari perspektif yang berbeda. Kan di Indonesia banyak tuh jenis hantu dan mitos-mitos yang berkembang di masyarakat.Â
Apa gak mau mengangkat beberapa jenis hantu di tiap daerah? Misalnya hantu di Papua, Bali, Maluku, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB atau di Pulau Jawa yang belum pernah dibahas.
Yakali, setiap lihat poster film horor, yang dikupas hantu itu-itu saja. Seperti pochi, kuntilawak, yutul dan sebagainya.Â
Itu pun tak mengambil sudut pandang yang unik dan langka. Ceritanya terlalu klise dengan jumpscare yang "Alamak", sangat mengganggu.Â
Saya akui, film horor garapan Joko Anwar bisa diacungi jempol. Ceritanya punya sudut pandang yang unik dengan plot twist di dalamnya. Saya jadi mikir, " Oalah, ternyata.... "
Seharusnya, produser dan sutradara film horor lainnya juga bisa belajar teknik membuat film horor yang sama meski eksekusinya berbeda. Jangan setiap produksi film, berkesan mirip sehingga terasa membosankan. Apalagi mengeksploitasi ibadah suatu agama melalui poster.Â