Siapa tak kenal waluh, buah yang biasa dipakai untuk membuat kolak kala ramadan ini memiliki rasa yang empuk dan manis. Namun siapa sangka, dibalik rasa manisnya, waluh pernah viral di twitter beberapa waktu lalu.Â
Ini cerita tentang waluh dan potret kemiskinan
Semua bermula ketika seorang netizen twitter bernama Ainay bercerita mengenai pengalaman pahit dan sedihnya perihal waluh. Pengalaman tersebut mengukir traumatis tersendiri lantaran berhubungan dengan ibunya.
Kala itu bulan ramadan. Setiap selesai sholat Tarawih biasanya akan ada tadarus rutin yang dilakukan oleh warga. Nah tiap tadarus biasanya ada orang yang bersedekah makanan untuk orang-orang yang ngaji.
Ainay waktu itu masih anak-anak, dia mengatakan sekitar kelas 4 SD. Sebelum berangkat mengaji ke mushola, ibu Ainay sempat menitipkan baskom berisi waluh kukus pada Ainay. Kata si ibu, itu takjil yang harus diberikan ke mushola untuk teman makan orang tadarus.
Sebagai keluarga tak berpunya, Ainay sadar bahwa waluh adalah bahan satu-satunya yang bisa ibunya suguhkan. Ia tak berpikir panjang dan segera meletakkan baskom berisi waluh di antara makanan yang lain. Hingga beberapa saat, Yati, salah satu anak menatap isi baskom dan nyeletuk.Â
"Hi panganan opo iki? Mosok koyok ta*k ngene dikekno uwong?"
(Hi, makanan apaan nih? Masa bentuk kek ta* gini dikasih ke orang?)
Ainay sempat marah pada Yati karena mengatakan hal yang cukup mengganggu. Namun karena Yati lebih senior dan punya geng, jadi ia hanya bisa diam ketika diolok-olok soal sifat pemarahnya lantaran mencela waluh kukus di baskom.Â
Bagian menyedihkan bagi Ainay adalah waluh kukus yang sudah ibunya siapkan masih banyak. Hanya beberapa orang saja yang mengambilnya. Selesai mengaji, Ainay lantas membawa baskom itu kembali dengan rasa khawatir.Â
Ia khawatir bahwa ibunya akan kecewa atau sedih karena waluh kukus yang disiapkan ternyata tak ada yang mau. Padahal, saat memberikan ke Ainay, ibunya terlihat begitu semangat, berharap waluh kukus itu disukai.Â
Di perjalanan pulang, Ainay memutuskan untuk berhenti sejenak lantas memakan sebisanya waluh kukus di tangannya. Sisa waluh lainnya terjatuh dan masuk ke selokan selama perjalanan pulang dari mushola.Â
Di rumah, ketika si ibu bertanya dengan semangat perihal siapa saja yang menghabiskan waluh. Ainay berbohong dengan menyebutkan satu per satu nama temannya.Â
Semenjak saat itu, Ainay mengungkapkan bahwa ia tak pernah makan waluh lagi. Baginya, cerita mengenai waluh menjadi semacam luka gores yang sukar untuk sembuh dan selalu mengenang.Â
Keinginan untuk Berbagi meski Hidup Sederhana
Pertama kali membaca cerita dari Ainay, saya merasa begitu terhantam. Hati saya sedih dan luka. Saya membayangkan bocah sekecil itu harus berbohong demi menjaga perasaan ibunya.Â
Ibu Ainay adalah potret perempuan yang meskipun tak berpunya namun berhati emas. Dia tahu hanya memiliki simpanan waluh di dapur. Dan ia berkeinginan membagikan makanan yang menurutnya bakal disukai karena rasanya yang manis dan lembut.Â
Namun kenyataannya berbeda, anak-anak di mushola tempat Ainay mengaji lebih memilih makanan lainnya. Sebab menurut mereka, dari segi wujud dan warna, waluh kukus memang meragukan.Â
Mungkin akan berbeda bila yang disajikan kolak waluh yang dimasukan ke plastik kecil-kecil.Â
Sampai saat ini, cuitan anak perempuan itu masih legend sebagai kisah paling menyedihkan. Ribuan retweet memenuhi postingannya tersebut.Â
Bagi saya, ibu Ainay adalah sosok yang menginspirasi. Dibalik keterbatasan finansial keluarga, beliau masih sempat berpikir untuk memberi makanan kepada orang-orang yang bertadarus.
Pun dengan Ainay, saya bisa melihat kepolosan seorang bocah yang hanya ingin membuat lega ibunya. Saya sempat membayangkan bila menjadi dirinya.Â
Mungkin perasaan sedih dan marah bercampur jadi satu karena waluh kukus yang sudah disiapkan sang ibu ternyata tak ada yang berminat memakannya.
Menghargai Sebuah Pemberian
Dalam cerita yang dibagikan Ainay, Yati menjadi tokoh antagonis karena dianggap sembarangan saat berbicara perihal waluh kukus yang ia temukan.Â
Dari situlah kita bisa memetik pelajaran untuk menghargai pemberian orang dan tak sembarangan dalam berbicara, terlebih itu merupakan makanan.
Yati--yang saat itu sama-sama bocah--mungkin hanya mengungkapkan kepolosannya melihat makanan yang tak biasa. Namun cara bicara yang ceplas-ceplos ternyata juga gak baik didengar, terlebih itu di hadapan teman-teman dan di dalam mushola pula yang notabene ramai.Â
***
Dari trit viral di twitter mengenai waluh kukus itu kemudian saya belajar bahwa ketika menjadi orang tua nanti, mengajarkan anak untuk tidak sembarang mencela makanan adalah penting, walaupun dari segi tampilan terlihat kurang meyakinkan.Â
Dan satu lagi, dalam hidup, meski apa yang kita suguhkan ke orang lain tak sepenuhnya diterima dengan baik, itu tidak apa-apa. Niat tulus sudah menjadi bahan pertimbangan terbaik agar bisa memproses diri menjadi karakter yang lebih baik.Â
Semoga menginspirasi. Salam hangat dari Nurul Mutiara R.A
Sumber trit : Â Ainay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H