Pertemuan itu bermula ketika Bapak dan Ibu pergi ke acara nikahan saudara di Jogja. Seekor kucing coklat gemuk terlihat menjilat-jilat sisa makanan di tempat sampah. Kucing coklat itu tak bertuan dan terlihat kelayapan sembarangan.Â
Melihat tingkah dan wujudnya yang menggemaskan, ibu berinisiatif membawa kucing coklat itu ke Pekalongan. Beliau berkeinginan menjadikan ia teman bagi kucingku yang lain. Si Cubit.
Menurut bibi, kucing coklat itu campuran antara kucing Anggora dan domestik. Bisa dilihat dari bentuk tubuh yang gempal dengan tulang kaki yang besar. Ia sebenarnya lahir sebagai dua bersaudara. Tapi, satu saudaranya hilang entah kemana.
Well, si kucing coklat cukup beruntung. Andai ia tak dibawa oleh ibuku hari itu, mungkin ia sudah menjadi penghuni jalanan karena dibuang oleh paman yang tak suka kucing. Yeah, he is so lucky!
Ketika sampai di rumah, si kucing coklat terlihat ketakutan. Ia hanya diam di pojok ruang dan sesekali mengeong saat kelaparan. Tapi setelah beberapa minggu mengenal lingkungan barunya, barulah ia mau didekati dan diajak bermain.
Adikku menamai si coklat dengan panggilan "Neko" yang dalam Bahasa Jepang juga berarti kucing. Neko sangat antusias. Ia cekatan. Tiap kali digendong karena gemas, ia akan mengeong.
Di rumah, Neko selalu mendapatkan makanan yang lebih dari cukup, sama seperti si Cubit. Dengan demikian, ia terlatih menjadi kucing baik yang tak pernah usil mencuri atau suka naik ke meja untuk mengendus makanan.
Siapa lagi kalau bukan ibuku yang memanjakannya. Tiap waktu, ibuku bahkan rutin memandikan Neko dan tak membiarkan ia keluyuran ke luar rumah. Takut hilang diambil orang karena letak rumah kami yang berada di dekat jalan.
Suatu malam, karena kondisi Neko yang tak betah di dalam rumah, akhirnya bapak inisiatif membiarkan ia keluar untuk bermain. Kebetulan, di depan rumah juga banyak kucing milik tetangga sehingga ia akan memiliki teman bermain.