Mengutip pernyataan Hermanto Dardak dalam Mongabay.co.id (Tahun 2014), 73 persen dari 53 sungai utama di Indonesia telah tercemar oleh bahan organik dan kimia, entah berasal dari limbah industri maupun limbah rumah tangga.
Kita tak bisa menafikan bahwa perkotaan merupakan surga bagi aneka industri, gedung-gedung sekaligus tempat impian bagi masyarakat pendatang. Kondisi ini jelas membawa dampak negatif dari aspek lingkungan. Baik industri maupun masyarakat membutuhkan tempat pembuangan limbah produksi mereka. Bisa ditebak, sungai pada akhirnya menjadi tempat berlabuh limbah-limbah itu hingga bertahun-tahun lamanya.
Dampak pencemaran sungai tak hanya berbicara mengenai air di dalamnya saja, tapi merembet ke bagian lain—memberi efek domino pada lingkungan di sekitar termasuk lahan-lahan yang ada. Bayangkan, tatkala limbah telah tertumpuk bertahun lamanya, kemudian merembes melalui pori-pori tanah. Berapa kilometer lahan yang terkena dampak dari pencemaran sungai tersebut? Tentunya tidak sedikit.
Tak heran, apabila sungai sudah parah tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga, sumber air bersih berupa sumur bor pun sudah tak bisa diyakini tingkat layak dan higienisitasnya. Sekiranya terlanjur seperti ini, cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah berkolaborasi untuk kesuksesan kegiatan menabung air hujan.
Lantas pertanyaan berikutnya, bagaimana teknis menabung air hujan itu, apakah selama hujan datang, tiap rumah menyediakan ember-ember besar atau tangki untuk menampung air yang jatuh?
Ya, secara awam memang begitu. Hanya saja, menabung air bersih yang dimaksud ialah yang memiliki nilai di masa mendatang. Layaknya investasi, ia tak hanya berfungsi untuk kegunaan jangka pendek, tapi juga jangka panjang. Menampung air hujan ke dalam ember hanya bersifat sementara. Sebab, pada akhirnya ia juga akan habis terpakai dalam beberapa hari.
Berbeda dengan menampung air hujan langsung ke ember, menabung air hujan yang dimaksud adalah mengalirkan air hujan kedalam sumur-sumur resapan yang dibangun di bawah permukaan tanah. Sumur resapan ini akan berfungsi sebagai penampung sementara yang kemudian melepaskan kembali air melalui celah-celah tanah.
Kinerjanya hampir serupa dengan pohon yang menyerap air melalui akar-akarnya. Air yang masuk melalui akar kemudian disaring dan disimpan oleh pohon sebagai cadangan minum ketika musim kemarau datang. Itu sebabnya, semakin lebat hutan di suatu wilayah, semakin banyak pula cadangan air yang tersimpan. Akar-akar pepohonan itu mengunci air agar tak mengalir ke tempat lain.
Sebenarnya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menabung air hujan. Nah, dari ke-4 cara tersebut, yang paling mungkin dilakukan di wilayah perkotaan adalah dengan membangun sumur resapan atau biopori. Alasannya karena di perkotaan, lahan yang dimiliki masyarakat jumlahnya terbatas.
Beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sempat mencanangkan pembangunan drainase vertikal berupa sumur resapan. Pembangunan drainase tersebut ditujukan untuk keperluan menabung air hujan. Lebih tepatnya, menampung rintik-rintik air yang jatuh agar tak hilang mubazir karena mengalir ke wilayah lain.