Mohon tunggu...
Mutiarani Eka
Mutiarani Eka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Psikologi Universitas Malikussaleh

Saya seorang mahasiswi psikologi yang tertarik pada perilaku manusia dan bagaimana cara kita mengatasi berbagai tantangan dalam kehidupan. Saya percaya bahwa setiap orang bisa tumbuh dan berkembang, dan saya ingin berkontribusi untuk membantu orang lain mencapai kesejahteraan mental yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dari Terhubung ke Tersesat: Bagaimana Sosial Media Membentuk Kesehatan Mental Anak Muda

9 November 2024   13:46 Diperbarui: 9 November 2024   13:56 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Generasi muda saat ini merupakan generasi yang melek teknologi dan media sosial. Berbagai platform daring memungkinkan mereka untuk terlibat dalam komunikasi cepat, bertukar informasi, dan memberikan kontribusi berharga bagi kehidupan sehari-hari. Teknologi telah menjadi alat terpenting untuk belajar, bekerja, dan bahkan membangun hubungan sosial.  Media sosial khususnya menawarkan peluang untuk membentuk identitas digital dan berinteraksi dengan dunia luar, meski bukan tanpa tantangan.

Media sosial, yang awalnya bertujuan untuk menghubungkan orang-orang di seluruh dunia, kini menjadi salah satu pengaruh terbesar terhadap kesehatan mental anak muda. Mereka yang tumbuh besar dengan perangkat digital dan platform sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter, sering kali merasa terhubung lebih erat dengan dunia—tapi pada saat yang sama, mereka juga merasa terisolasi, cemas, dan tidak cukup. Fenomena ini menciptakan sebuah paradoks yang menarik namun membingungkan.

Salah satu dampak terbesar dari media sosial adalah Fear of Missing Out (FOMO), perasaan cemas yang muncul ketika seseorang merasa tertinggal atau tidak seaktif orang lain di dunia maya. Generasi Z sering kali membandingkan diri mereka dengan teman-teman atau selebriti yang seolah memiliki kehidupan yang lebih menarik, penuh petualangan, atau lebih sukses. Menyaksikan momen-momen sempurna yang dibagikan di media sosial menciptakan standar yang tidak realistis tentang bagaimana seharusnya hidup mereka, yang berujung pada perasaan kurang dan cemas. Studi menunjukkan bahwa perbandingan sosial ini dapat menurunkan harga diri dan memicu kecemasan sosial. Saat melihat postingan yang menyajikan kebahagiaan dan kesuksesan yang terkurasi, banyak yang merasa tertekan untuk mengikuti jejak tersebut, menciptakan rasa tidak puas yang mendalam terhadap diri sendiri.

Media sosial menghadirkan rasa kedekatan, namun seringkali menimbulkan perasaan terisolasi. Kaum muda terhubung dengan ribuan teman virtual, namun banyak  yang merasa semakin terisolasi dari kenyataan dan hubungan sosial yang lebih dalam. Banyak orang yang mengganti interaksi tatap muka dengan obrolan online yang kurang memiliki rasa kebersamaan. Akibatnya, mereka kehilangan keterampilan sosial yang diperlukan untuk interaksi tatap muka, yang penting untuk kesehatan mental yang stabil.

Tidak kalah penting, media sosial berperan besar dalam membentuk persepsi tubuh, dengan standar kecantikan yang sering kali tidak realistis dan memicu perasaan tidak puas terhadap penampilan fisik. Banyak anak muda merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan "gaya hidup sempurna" yang dipamerkan di platform tersebut. Persepsi yang terdistorsi tentang tubuh ini dapat menyebabkan gangguan makan, kekhawatiran berlebihan tentang penampilan, dan harga diri rendah. 

Meskipun media sosial sering dikaitkan dengan dampak negatif, seperti kecemasan dan perbandingan diri, ada sisi positif yang tak kalah penting. Banyak anak muda menemukan dukungan emosional dan kenyamanan dalam komunitas online yang membahas pengalaman serupa, khususnya terkait masalah kesehatan mental. Platform seperti Twitter dan Instagram telah menjadi ruang untuk berbicara terbuka mengenai depresi, kecemasan, dan gangguan mental lainnya, memberi mereka kesempatan untuk merasa didengar dan dimengerti. Selain itu, berbagai organisasi kesehatan mental memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi yang berguna, meningkatkan kesadaran, dan mengurangi stigma terkait penyakit mental, menciptakan ruang aman bagi mereka yang membutuhkan dukungan 

Media sosial tidak sepenuhnya berdampak negatif, tetapi pengaruhnya terhadap kesehatan mental anak muda perlu dikelola dengan hati-hati. Pendidikan tentang cara menggunakan media sosial secara sehat dan kesadaran akan dampak buruknya sangat penting agar anak muda dapat menghindari perasaan terisolasi atau tidak cukup. Di masa depan, kita harus terus berupaya menemukan cara untuk memaksimalkan manfaat positif media sosial, sambil mengurangi potensi dampak negatifnya. Dengan pendekatan yang tepat, media sosial bisa menjadi alat yang memperkaya hidup, bukan merusak kesehatan mental

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun